Sabda Allah sungguh menghidupkan!
“Gereja ada untuk mewartakan kabar gembira!” merupakan kata-kata terkenal dari Paus Paulus VI, dan tak seorang pun berani menyangkal kebenaran penting ini. Namun Gereja adalah ENGKAU dan AKU. Maka, dapatkah kita juga mengatakan, “Aku/Kita ada untuk mewartakan kabar gembira”? Sayangnya, hal ini belum menjadi realitas. Meskipun Kristianitas adalah agama misioner (tidak seperti kebanyakan agama-agama lainnya), banyak orang Kristen Katolik tidak mewujudnyatakan kekhasan semangat atau meterai “misionaritas”-nya. Aku percaya bahwa salah satu alasannya adalah bahwa dalam hidup sehari-hari kita tidak memberikan tempat yang cukup penting bagi sabda Allah, kita tidak menjadi (dalam arti sebenarnya) “orang Kristen Injili”.
Yesus menuntun para muridNya agar menemukan makanan, kekuatan, dan daya yang menghidupkan kehidupan harian orang Kristen dari dua sumber, yaitu Ekaristi dan sabda Allah. Namun faktanya, orang-orang Katolik (termasuk juga para imamnya) masih belum menganggap bahwa sumber yang kedua juga sama pentingnya dengan sumber yang pertama. Banyak orang mendapatkan penghiburan dan tuntunan dengan membaca Kitab Suci, namun ketika mereka menginginkan makanan yang sesungguhnya, “settingan dasar” mereka mengantar mereka pada Ekaristi/Sakramen yang terberkat. Di satu sisi, hal ini sungguhlah baik, dan patut mendapat pujian. Namun kapankah kita mau menyadari bahwa Yesuslah yang menginginkan agar kita mencari kekuatan dan daya hidup juga dari sabda Allah, maka Kitab Suci juga mempunyai nilai yang sama kayanya, “sama seperti” dalam sakramen Ekaristi?
40 tahun telah berlalu sejak Konsili Vatikan II mempromulgasikan salah satu dekritnya, Dei Verbum, namun dampaknya belumlah kelihatan dari hari ke hari kehidupan orang katolik pada umumnya baik itu klerus, biarawan/biarawati, maupun kaum awam :
Demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani … Seperti hidup Gereja berkembang karena Umat sering dan dengan rajin menghadiri misteri Ekaristi, begitu pula boleh diharapkan dorongan baru dalam hidup rohani karena sabda Allah yang “tinggal selama-lamanya” semakin dihormati.
Dalam kutipan tersebut, Konsili hanya mengulangi teologi Injil Yohanes, di mana dalam Bab 6 sang penginjil mengkombinasikan ajaran tentang daya kekuatan yang menghidupkan baik dari sabda Yesus dan juga dari Tubuh dan DarahNya: Roti yang turun dari surga sama dengan sabda Allah (ay 35-50) dan roti Ekaristis (ay 51-58). Penginjil menekankannya dengan menambahkan kata-kata berikut ini, “Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup” (ay 63), dan “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal!” (ay 68).
Demikian pula dalam Misa Kudus, altar dipahami baik sebagai Meja Sabda Allah maupun Meja Tubuh dan Darah Yesus. Yesus dimuliakan baik dalam Kitab Suci maupun dalam Ekaristi : “Kitab-kitab ilahi seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalu dihormati oleh Gereja, [sebab] … demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani” (DV 21).
Mengikuti keyakinan iman gereja ini, Paus kita Benediktus XVIjuga mendesak orang-orang Katolik zaman ini supaya secara pribadi menemukan kekuatan sabda Allah : “Jika praktek Lectio Divina sungguh dipromosikan dan berbuah baik, saya yakin bahwa hal itu akan menghasilkan musim semi spiritual baru dalam Gereja.” Dan beliaupun berkata pada orang-orang muda: “Aku mendesakmu supaya semakin mengenal Kitab Suci…”
Aku menduga bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara kurangnya devosi pada Sabda Allah dan kurangnya roh atau semangat “misioner”; sebaliknya, orang yang mempunyai devosi yang hidup pada sabda Allah merasakan dengan sangat kuat dorongan (motivasi batin) untuk mewartakan kabar gembira. (Kita bisa mengingat contoh dari orang Kristen modern seperti Bunda Theresa dan Ibu Graham Staines, Jean Vanier dan Billy Graham, dan banyak orang lainnya).
St. Paulus mengajarkan : “Iman timbul dari … firman Kristus” (Rom 10:17); hal itu mau mengatakan bahwa salah satu aspek penting dari daya hidup yang disampaikan melalui sabda Allah adalah pertumbuhan iman. Bagi jemaat Kristiani perdana, pewartaan kerygma (Kabar gembira pertama) –lah yang mendatangkan iman dalam hati mereka. Demikian juga di zaman ini, diperlukan adanya pewartaan segar akan kerygma yang akan menghembuskan api yang bernyala dalam rahmat iman yang telah kita terima, membuat ungkapan “Gereja ada untuk mewartakan kabar gembira!” segera menjadi nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tadi saya sempat mengatakan soal “setting dasar” orang Katolik. Sebagai tambahan atas gagasan ini, kita harus secara jujur bertanya pada diri kita sendiri seberapa banyakkah dari antara umat beriman kita yang mempunyai kemungkinan paling nyata untuk mendapatkan makanan dan daya hidup setiap hari dari Meja Perjamuan Tubuh dan Darah Kristus? Tidak hanya di daerah-daerah misi yang terpencil namun juga di paroki-paroki kota, kegiatan dan kesibukan kehidupan di dunia membuat prosentase orang-orang yang mengikuti Misa harian sungguhlah sangat kecil. Dan karena orang-orang yang tidak bisa setiap hari menghadiri Misa tidak bisa dibantu oleh para gembala mereka agar melakukan pergantian paradigma dalam pendekatan mereka pada sabda Allah (yaitu, menghormatinya sebagai sumber utama dari makanan rohani dan bukan sekedar sebagai sumber pencerahan dan tuntunan), dalam sebagian besar hidupnya, mereka tetap tidak mendapatkan makanan rohani. Maka bisa dibilang bahwa mereka harus “memenuhi tangki bahan bakarnya” untuk perjalanan hidup selama seminggu ketika mereka berpartisipasi dalam Perayaan Ekaristi (hari minggu). Dalam hal ini, coba perhatikan kata kerja “berpartisipasi dalam” dan justru bukannya “menghadiri” atau pun “mendengarkan” Misa. (Uskup Bosco Penha, Uskup Auxilier Bombay, dengan keberanian dan wawasan yang sama dengan para nabi PL, baru-baru ini menyampaikan pidato untuk mempertanyakan apakah benar bahwa kita telah menjadikan Ekaristi hanya sekedar untuk melayani kepentingan kita saja, dan justru bukannya menghadirinya dengan disposisi batin dan kerinduan yang baik sehingga Kristus sendirilah yang akan sungguh-sungguh memberi makan, menganugerahi daya hidup dan mengubah kita).
Impianku adalah bahwa Gereja memberikan lebih banyak perhatian (dalam arti tenaga penuh-waktu dan juga pendanaan) pada kerasulan kitab suci, agar secara efektif membantu perkembangan penghormatan mendalam dan cinta akan sabda Allah di antara jemaat kita, dan juga mengajar mereka untuk menafsirkannya secara Katolik. Awal yang baik telah dimulai dengan mengadakan Minggu Kitab Suci, memberikan Kitab Suci dalam bahasa daerah pada setiap keluarga katolik, menyediakan permenungan atas bacaan Misa harian, dll. Namun pergantian paradigma, yang dengannya “setting dasar” orang Katolik akan membuat kita mencari makanan rohani dan daya hidup baik dari sabda maupun sakramen, masih jauh dari kenyataan, dan dengan demikian mengundang perlunya kebulatan tekad yang baru dari dalam diri kita agar kita sungguh mengusahakannya.
Sebagai penutup, ENGKAU dan AKU adalah Gereja yang ada untuk mewartakan kabar gembira. Agar hal ini semakin menjadi kenyataan, kita harus bertumbuh dalam iman. Hal ini juga sangat terkait dengan penguatan identitas kita sebagai orang Kristen. Untuk memacu pertumbuhan ini, tidak ada cara lain selain semakin dekat baik pada Sabda Allah (roti yang turun dari surga) maupun Ekaristi (roti hidup). Semoga Gereja Katolik melakukkan perubahan paradigma ini sampai ke tingkat akar rumput, dan dengan demikian memperbaiki saluran masuk “makanan sehari-hari” yang ditawarkan Allah pada kita dalam Gereja kita sendiri yang sungguh kita kasihi. Sehingga, orang Katolik tidak perlu lagi pergi ke tempat lain jika ingin mendapatkan makanan rohani dan daya hidup.
Post a Comment