Header Ads

Terang Sabda

PORTA FIDEI

Benediktus XVI - Porta Fidei

Surat Apostolik

PORTA FIDEI

(Pintu kepada iman)

Dari Bapa Suci Benediktus XVI

Untuk mencanangkan “Tahun Iman”

 

PENGANTAR

1. “Pintu kepada Iman” (Kis. 14:27) senantiasa terbuka bagi kita, memasukkan kita ke dalam persekutuan hidup dengan Allah dan memberi tawaran untuk masuk ke dalam Gereja-Nya. Melintasi ambang pintu ini dimungkinkan apabila Sabda Allah diwartakan dan hati manusia membiarkan dirinya dibentuk oleh rahmat yang senantiasa mampu mengubah. Memasuki pintu gerbang itu berarti memulai suatu perjalanan yang akan berlangsung seumur hidup. Hal itu dimulai dari baptisan (bdk. Rom. 6:4), dengan mana kita dapat menyebut Allah sebagai Bapa kita, dan perjalanan itu akan berakhir dengan kematian yang memasukkan kita ke kehidupan kekal, buah dari kebangkitan Tuhan Yesus, yang dengan anugerah Roh Kudus, memang berkehendak menarik semua orang yang percaya kepada-Nya untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya (bdk. Yoh. 17:22). Beriman kepada Tritunggal – Bapa, Putra dan Roh Kudus – adalah percaya kepada Allah yang Mahaesa yang adalah kasih (bdk. 1Yoh. 4:8), yaitu: Bapa, yang dalam kepenuhan waktu telah mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan kita; Yesus Kristus, yang melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya, telah menebus dunia; Roh Kudus, yang membimbing Gereja mengarungi zaman sambil menantikan kedatangan Tuhan yang akan datang kembali dalam kemuliaan.

2. Sejak mulai memangku jabatan sebagai Pengganti Petrus, saya telah berbicara tentang perlunya menemukan kembali perjalanan iman kita itu, agar supaya dapat memberikan pencerahan yang lebih jelas atas kegembiraan dan semangat yang senantiasa diperbarui dari perjumpaan kita dengan Kristus. Dalam homili yang saya sampaikan pada Misa pengangkatan saya sebagai Paus saya mengatakan: “Gereja, secara keseluruhan, bersama dengan semua pastor-pastornya, seperti Kristus, harus bergerak untuk membimbing umat keluar dari padang gurun, menuju ke tempat kehidupan, ke dalam persahabatan dengan Putra Allah, kepada Dia, Sang Pemberi kehidupan, bahkan kehidupan yang berkelimpahan”. Sering sekali terjadi, bahwa Umat Kristiani lebih menaruh perhatian kepada konsekuensi-konsekuensi sosial, budaya dan politis dari komitmen mereka, karena mereka berpendapat bahwa iman-kepercayaan dengan sendirinya akan menyatakan diri secara kentara di dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal kenyataannya, anggapan sedemikian itu bukan saja tidak bisa diandaikan terjadi dengan sendirinya, tetapi cukup sering bahkan secara terang-terangan diingkari. Sementara di masa lampau sangat mungkin orang dapat mengenal kembali suatu matriks kesatuan budaya yang secara luas diterima sebagai daya tarik kepada isi iman-kepercayaan dan nilai-nilai yang lahir dari padanya. Di masa sekarang rupanya hal itu tidak terjadi lagi pada kelompok-kelompok masyarakat luas dan itu adalah akibat dari adanya krisis iman yang mendalam yang telah menimpa banyak bangsa.

3. Kita tidak dapat menerima bahwa garam menjadi tawar atau bahwa pelita ditaruh di bawah gantang (lih. Mat. 5:13-16). Orangorang zaman sekarang pun masih bisa mengalami kebutuhan pergi ke sumur, seperti wanita Samaria, untuk mendengar Yesus yang mengundang kita untuk percaya kepada-Nya serta menimba dari sumber air hidup yang memancar keluar dari dalam diri-Nya (lih. Yoh. 4:14). Kita harus menemukan kembali cita-rasa sedapnya menyantap sabda Allah, yang dengan setia telah diwariskan kepada Gereja, dan atas roti kehidupan yang telah diserahkan bagi kehidupan para murid-Nya (bdk. Yoh. 6:51). Sungguh, pada zaman ini pun ajaran Yesus masih tetap bergema kuat: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh. 6:27). Bahkan pertanyaan yang kita ajukan sekarang pun masih sama dengan pertanyaan yang diajukan oleh para pendengar pada waktu itu: "Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?" (Yoh. 6:28). Kita mengetahui jawaban Yesus: “Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah.” (Yoh. 6:29). Maka, percaya kepada Yesus Kristus adalah jalan untuk dengan pasti sampai kepada keselamatan.

4. Atas dasar semua ini, saya telah memutuskan mencanangkan suatu Tahun Iman. Tahun Iman akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, hari ulang tahun ke-50 pembukaan Konsili Vatikan II, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, pada tanggal 24 November 2013. Tanggal yang mengawali Tahun Iman itu, 11 Oktober 2012, merupakan juga hari ulang tahun ke-20 penerbitan buku Katekismus Gereja Katolik, sebuah naskah yang sudah dipromulgasikan oleh pendahulu saya, Beato Yohanes Paulus II, dengan maksud untuk memberikan kepada segenap umat beriman gambaran tentang kekuatan dan keindahan iman-kepercayaan kita. Dokumen tersebut, sebagai buah yang autentik dari Konsili Vatikan II, telah diminta oleh Sinode Luar biasa Para Uskup pada tahun 1985 untuk dijadikan sarana bantu bagi pelayanan Katekese dan telah diterbitkan dalam kerja sama dengan semua Uskup dalam Gereja Katolik. Tambahan pula, tema Sidang Umum Sinode dari Para Uskup yang telah saya undang untuk bulan Oktber 2012 adalah: “Evangelisasi Baru untuk Menyebarluaskan Iman Kristiani”. Hal itu akan menjadi kesempatan baik untuk menghantar masuk segenap Gereja ke dalam suasana refleksi khusus dan menemukan kembali imankepercayaan. Ini bukan pertama kalinya Gereja dipanggil untuk merayakan suatu Tahun Iman. Pendahulu saya Yang Mulia Hamba Tuhan Paus Paulus VI pernah memaklumkan Tahun Iman pada tahun 1976, untuk memperingati kemartiran Santo Petrus dan Santo Paulus pada peringatan sembilan belas abad tindakan yang paling luhur dari kesaksian mereka. Menurut hemat beliau itulah saat yang paling mulia bagi seluruh Gereja untuk menyatakan “suatu pengakuan autentik dan tulus dari iman-kepercayaan yang sama”. Apalagi beliau menghendaki bahwa hal itu masih dikuatkan lagi dengan cara “baik pribadi maupun bersama-sama, baik secara bebas namun bertanggung jawab, baik secara lahir maupun secara batin, dengan rendah hati dan berterus-terang”. Beliau berpendapat bahwa dengan cara demikian seluruh Gereja dapat memulihkan kembali “pemahaman yang tepat atas imankepercayaan itu, sehingga dengan demikian juga menguatkannya, memurnikannya, dan mengakuinya”. Perayaan besar-besaran Tahun itu semakin menunjukkan perlunya perayaan semacam itu. Tahun Suci itu ditutup dengan Pengakuan Iman Umat Allah , yang dimaksudkan untuk menunjukkan betapa banyak isi hakiki iman, yang selama berabad-abad telah membentuk warisan segenap umat beriman, perlu ditegaskan, dipahami dan diselidiki lagi secara baru, agar supaya memberikan kesaksian iman yang konsisten dalam situasi historis yang sangat berbeda dengan masa lampau.

5. Dalam arti tertentu, Yang Mulia Pendahulu saya melihat Tahun Iman ini sebagai suatu “konsekuensi dan kebutuhan dari masa pascakonsili” , sambil menyadari sepenuhnya tentang kesukarankesukaran zaman yang serius, teristimewa yang berkaitan dengan pengakuan iman yang sejati dan penafsirannya yang benar. Menurut hemat saya saat pencanangan Tahun Iman yang bertepatan dengan ulang tahun ke-50 pembukaan Konsili Vatikan II itu akan memberikan kesempatan yang sangat bagus untuk membantu umat memahami, bahwa naskah-naskah yang diwariskan oleh para Bapa Konsili, dengan kata-kata Beato Yohanes Paulus II, “sama sekali belum kehilangan nilai dan kecemerlangannya”. Naskah-naskah itu perlu dibaca dengan benar, ditangkap dengan akal budi secara luas dan dicamkan di dalam hati secara mendalam sebagai dokumen yang penting dan mengikat dari Magisterium Gereja dalam jalur Tradisi Gereja … Saya merasa lebih dari sebelumnya berkewajiban untuk menyatakan bahwa Konsili merupakan rahmat agung yang dicurahkan Allah kepada Gereja Abad Kedua puluh, di mana kita dapat menemukan penunjuk arah untuk dapat mengarungi abad yang sekarang baru akan mulai”. Saya juga ingin menekankan dengan sangat sekali lagi, apa yang sudah saya katakan tentang Konsili beberapa bulan setelah saya terpilih sebagai Pengganti Petrus: ”Apabila kita menafsirkan dan mengimplementasikan Konsili dengan bimbingan suatu hermeneutika yang benar, maka Konsili bisa dan akan menjadi semakin berdaya bagi pembaruan Gereja yang senantiasa diperlukan”.

6. Pembaruan Gereja juga bisa dicapai melalui kesaksian yang diberikan oleh hidup umat beriman, yakni justru melalui keberadaan nyata mereka di dunia ini, Umat Kristiani dipanggil untuk memancarkan sabda kebenaran yang diwariskan Tuhan kepada kita. Konsili sendiri, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, mengatakan ini: Sedangkan “Kristus, yang ‘suci, tanpa kesalahan, tanpa noda’ (Ibr. 7:26), tidak mengenal dosa (lih. 2Kor. 5:21), melainkan datang hanya untuk menebus dosa-dosa rakyat (lih. Ibr. 2:17), Gereja merangkum pendosa-pendosa dalam pangkuannya sendiri. Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan. ‘Dengan mengembara di antara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah’ Gereja maju, sambil mewartakan salib dan wafat Tuhan hingga Ia datang (lih. 1Kor. 11:26). Sementara itu Gereja diteguhkan oleh daya Tuhan yang telah bangkit, untuk dapat mengatasi sengsara dan kesulitannya, baik dari dalam maupun dari luar, dengan kesabaran dan cinta kasih, dan untuk dengan setia mewahyukan misteri Tuhan di dunia, kendati dalam kegelapan, sampai ditampakkan pada akhir zaman dalam cahaya yang penuh”.

Dari perspektif ini Tahun Iman adalah suatu panggilan kepada pertobatan yang autentik kembali kepada Tuhan, satu-satunya Juruselamat dunia. Melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya, Allah telah menyatakan di dalam kepenuhannya Kasih yang menyelamatkan dan memanggil kita kepada pertobatan hidup melalui pengampunan dosa (lih. Kis. 5:31). Bagi Santo Paulus, Kasih ini mengantar kita masuk ke dalam suatu kehidupan baru: “Kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom. 6:4). Melalui imankepercayaan, hidup yang baru ini membentuk seluruh keberadaan manusiawi kita dari akar-akarnya sesuai dengan keadaan baru sebagai buah kebangkitan. Sejauh manusia dengan bebas bekerja sama, maka pikiran dan perasaan-perasaannya, mentalitas dan perilakunya perlahan-lahan dimurnikan dan diubah, dalam suatu perjalanan yang tidak akan pernah sepenuhnya selesai di dalam hidup ini. “Hanya iman yang bekerja oleh kasih” (Gal. 5:6) akan menjadi kriteria baru bagi pemahaman dan tindakan yang mengubah seluruh hidup manusia (bdk. Rom. 12:2; Kol. 3:9-10; Ef. 4:20-29; 2Kor. 5:17).

7. “Kasih Kristus menguasai kita” (2Kor. 5:14): Kasih Kristuslah yang memenuhi hati kita dan mendorong kita untuk berevangelisasi. Sekarang ini, seperti juga dulu, Kristus mengutus kita ke lorong-lorong dunia ini untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa di bumi (bdk, Mat, 28:16). Melalui kasih-Nya, Yesus Kristus menarik kepada diri-Nya sendiri orang-orang dari segala keturunan: dalam setiap zaman Dia menghimpun Gereja sambil memercayakan kepada Gereja pewartaan Injil dengan perintah-Nya yang senantiasa baru. Pada zaman sekarang pun dirasa adanya kebutuhan akan komitmen Gereja yang lebih kuat bagi suatu evangelisasi baru, agar supaya orang menemukan kembali kegembiraan dalam percaya dan kegairahan dalam mengomunikasikan iman. Dalam menemukan kembali kasih-Nya dari hari ke hari, kesiap-sediaan untuk diutus dari orang beriman mendapatkan kekuatan dan kegairahan yang tak akan pernah bisa pudar. Iman tumbuh apabila dihayati sebagai pengalaman kasih yang sudah diterima, juga bila dikomunikasikan sebagai suatu pengalaman rahmat dan sukacita. Iman membuat kita berbuah subur, sebab memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang juga menghidupkan: memang, iman membuka hati dan budi siapa saja yang mendengar dan menjawab undangan Tuhan untuk tetap setia kepada sabda-Nya dan menjadi murid-Nya. Orang yang percaya, demikian Santo Agustinus mengatakannya, “menguatkan dirinya sendiri dengan kepercayaannya itu”. Uskup suci dari Hippo itu memiliki alasan yang sungguh tepat untuk mengungkapkan dirinya seperti itu, karena sebagaimana kita ketahui, hidupnya merupakan suatu pencarian terus-menerus akan keindahan iman-kepercayaan sampai hatinya menemukan istirahat dalam Allah. Karya tulisnya yang sangat ekstensif, di mana Agustinus memberi penjelasan tentang pentingnya percaya dan tentang kebenaran iman, sampai sekarang tetap merupakan warisan kekayaan yang tiada bandingannya, dan tetap menjadi sarana bantu bagi banyak orang yang mencari Allah untuk menemukan jalan yang benar menuju “pintu iman”.

Karena itu, hanya melalui percaya, iman dapat bertumbuh dan menjadi kuat; tidak ada kemungkinan lain untuk mendapatkan kepastian yang berkaitan dengan kehidupan seseorang, selain daripada meninggalkan diri sendiri, dalam suatu peningkatan (crescendo) yang terus-menerus, masuk ke dalam tangan-tangan kasih yang sepertinya terus bertumbuh tanpa henti karena berasal dari Allah.

8. Pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya ingin mengundang saudara-saudara saya para Uskup dari seantero dunia untuk bergabung bersama dengan Pengganti Petrus selama masa yang penuh dengan rahmat spiritual yang dianugerahkan Tuhan kepada kita, untuk mengingat anugerah iman yang sangat berharga. Kita hendak merayakan Tahun ini secara pantas dan menghasilkan buah. Renungan-renungan tentang iman hendaknya diintensifkan, untuk membantu segenap umat yang beriman kepada Kristus untuk semakin sadar dan semakin bersemangat melekatkan diri pada Kabar Gembira, khususnya ketika sedang terjadi perubahan mendalam seperti yang sedang dialami oleh umat manusia pada saat ini. Kita akan mendapat kesempatan untuk mengakui iman-kepercayaan kita akan Tuhan yang bangkit di gereja-gereja katedral kita dan di dalam gereja-gereja di seluruh dunia; juga di rumah-rumah kita dan di antara kaum keluarga kita, sehingga setiap orang akan merasakan betapa perlunya pemahaman yang lebih baik dan kemudian untuk meneruskannya kepada generasi yang akan datang iman-kepercayaan segala zaman tersebut. Komunitas-komunitas religius seperti juga komunitaskomunitas paroki, dan semua lembaga-lembaga gerejawi, baik yang lama maupun yang baru, semuanya harus menemukan cara untuk, sepanjang Tahun ini, mengakui secara publik Credo kita.

9. Pada tahun ini kita hendak membangkitkan dalam diri setiap orang beriman aspirasi untuk mengakui iman-kepercayaannya dalam kepenuhannya dan dengan keyakinan yang baru, juga dengan penuh kepercayaan dan harapan. Tahun ini juga akan menjadi sebuah kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan perayaan iman di dalam liturgi, teristimewa di dalam perayaan Ekaristi, yang adalah “puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja, dan sekaligus sumber segala daya-kekuatannya”. Pada saat yang sama, kita berdoa juga agar kesaksian hidup umat beriman semakin dapat tumbuh dalam kepercayaan. Untuk menemukan kembali isi iman yang diakui, dirayakan, dihayati dan didoakan , dan untuk merenungkan kembali kegiatan iman adalah tugas yang setiap umat beriman harus menjadikannya tugasnya sendiri, khususnya selama Tahun Iman ini.

Bukan tanpa alasan umat Kristiani pada abad-abad pertama dituntut untuk menghafalkan pengakuan iman-kepercayaannya itu. Pengakuan itu berfungsi sebagai doa harian mereka setiap hari, agar mereka tidak melupakan komitmen yang telah mereka ikrarkan ketika mereka dibaptis. Dengan kata-kata yang sarat dengan makna, Santo Agustinus berbicara tentang hal ini dalam homili beliau tentang redditio symboli, tentang pewarisan imankepercayaan, katanya: “Pengakuan iman akan misteri-misteri kudus yang bersama-sama telah kalian terima dan yang pada hari ini telah kalian ucapkan kembali satu demi satu, adalah kata-kata di mana iman-kepercayaan Bunda Gereja didirikan dengan kokoh di atas landasan yang tak tergoyahkan, yaitu Kristus Tuhan. Kalian telah menerimanya dan menyerukannya, namun kalian harus tetap memeliharanya di dalam akal budi dan hati sanubari kalian, kalian harus tetap mengulang-ulangnya di tempat tidur kalian, tetap mengingatingatnya di tempat-tempat keramaian, tidak melupakannya selama makan, bahkan ketika kalian sedang tidur pun, kalian harus tetap memperhatikannya dengan hati kalian”.

10. Sekarang saya ingin memberikan gambaran secara garis besar suatu jalan yang dimaksudkan untuk membantu kita memahami secara lebih mendalam bukan saja isi iman-kepercayaan, tetapi juga tindakan yang kita pilih untuk memercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah dalam kebebasan penuh. Pada kenyataannya memang ada kesatuan yang mendalam antara tindakan yang mengungkapkan iman kita dan isi iman yang kita setujui. Santo Paulus membantu kita memasuki kenyataan ini ketika dia menulis: “Dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom. 10:10). Hati menunjukkan bahwa tindakan pertama yang membawa seorang kepada iman adalah anugerah Allah dan tindakan rahmat yang bekerja dan mengubah seseorang dari dalam.

Dalam kaitan ini secara khusus contoh dari Lydia menjadi sangat berarti. Santo Lukas menceriterakan, bahwa ketika berada di Filipi, pada suatu hari Sabbat, Paulus memberitakan Injil kepada beberapa wanita, di antaranya adalah Lydia dan “Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memerhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus” (Kis. 16:14). Di dalam ungkapan itu terkandunglah suatu makna yang penting. Santo Lukas mengajarkan, bahwa memahami muatan isi dari yang harus diimani tidaklah mencukupi, apabila hati, yakni tempat kudus autentik dalam diri seseorang, tidak turut dibuka oleh rahmat yang membuat mata bisa melihat apa yang ada di bawah permukaan dan memahami, bahwa yang sedang diberitakan itu adalah sabda Allah sendiri.

“Pengakuan dengan bibir” itu pada gilirannya menunjukkan, bahwa “beriman” itu mengandung juga pengertian “kesaksian secara publik” serta sebuah komitmen. Seorang kristiani tidak pernah boleh berpikir bahwa beriman itu adalah urusan pribadi saja. Beriman berarti memilih untuk memihak kepada Allah dan dengan demikian berada dengan Dia juga. “Memihak kepada Dia” ini ke depan menunjuk kepada pemahaman akan alasan-alasan untuk percaya. Iman-kepercayaan, justru karena dia adalah suatu tindakan bebas, juga menuntut pertanggungjawaban sosial atas apa yang diimaninya. Pada hari Pentakosta Gereja menunjukkan dengan sejelas-jelasnya dimensi publik dari keberimanan ini dan memberitakan dengan tanpa takut iman-kepercayaan seseorang kepada setiap orang. Anugerah Roh Kuduslah yang telah membuat kita siap untuk diutus dan menguatkan kesaksian kita, serta menjadikannya terus-terang dan berani.

Pengakuan iman adalah suatu tindakan yang sekaligus bersifat perorangan, tetapi juga secara bersama-sama. Gerejalah yang menjadi subjek utama iman-kepercayaan. Di dalam imankepercayaan komunitas kristiani, setiap pribadi menerima baptisan, suatu tanda efektif masuknya ke dalam kalangan umat beriman untuk memperoleh keselamatan. Dalam buku Katekismus Gereja Katolik, kita membaca: “’Aku percaya’ ialah iman Gereja yang diakui secara pribadi oleh setiap orang beriman, terutama pada waktu pembaptisan. ‘Kami percaya’ ialah iman Gereja yang diakui oleh para Uskup yang berkumpul dalam konsili atau lebih umum oleh umat beriman yang berkumpul dalam perayaan liturgi. ‘Aku percaya’ juga iman Gereja, bunda kita, yang menjawab kepada Tuhan dengan iman seperti yang diajarkannya kepada kita untuk mengatakan ‘aku percaya’ dan ‘kami percaya’”.

Jelas sekali, pengetahuan akan isi iman-kepercayaan adalah hakiki bagi seseorang untuk dapat memberikan persetujuannya sendiri, artinya untuk mengikatkan diri sepenuhnya, dengan segenap akal budi dan kehendaknya, kepada apa yang ditawarkan oleh Gereja. Pengetahuan akan iman-kepercayaan ini membuka pintu masuk ke dalam kepenuhan misteri karya penyelamatan yang diwahyukan oleh Allah. Persetujuan yang kita berikan itu berarti pula, bahwa ketika kita percaya, kita menerima dengan bebas seluruh misteri iman-kepercayaan, sebab penjamin dari kebenarannya adalah Allah sendiri, yang mewahyukan diri-Nya sendiri dan mengizinkan kita mengetahui misteri cinta kasih-Nya.

Di pihak lain, kita tidak boleh melupakan, bahwa di dalam konteks budaya kita, ada banyak bangsa, yang meskipun tidak menyatakan memiliki anugerah iman, namun secara tulus mereka mencari makna tertinggi dan kebenaran definitif hidup dan dunia mereka. Pencarian ini merupakan “pendahuluan” autentik kepada imankepercayaan, justru karena menuntun orang pada jalan yang membawanya kepada misteri Allah. Sebenarnya akal budi manusia mengandung di dalam dirinya tuntutan pada “apa yang selamanya sahih dan langgeng”. Tuntutan ini mengandung suatu panggilan tetap yang terpatri secara tak-terhapuskan di dalam hati manusia, yang membuatnya bergerak mencari Dia yang tak akan kita cari apabila Dia tidak lebih dulu mulai mendapatkan kita. Pada perjumpaan inilah iman-kepercayaan mengundang kita dan membuka diri kita sepenuh-penuhnya.

11. Untuk sampai pada pemahaman sistematis isi imankepercayaan, semua orang dapat menemukannya di dalam buku Katekismus Gereja Katolik, suatu sarana-bantu yang sangat berharga dan sangat diperlukan. Dokumen itu adalah satu dari buah-buah terpenting Konsili Vatikan Kedua. Dalam Konstitusi Apostolik Fidei Depositum, yang ditandatangani, bukan karena kebetulan, pada Hari Ulang Tahun yang ketiga puluh Pembukaan Konsili Vatikan Kedua. Beato Yohanes Paulus II menulis: ”Katekismus ini akan menjadi suatu kontribusi yang sangat penting bagi karya pembaruan seluruh kehidupan Gereja … Maka saya menyatakan katekismus itu menjadi suatu sarana-bantu yang sah dan legitim bagi persekutuan gerejawi dan menjadi norma yang pasti bagi pengajaran iman”.

Dalam arti inilah Tahun Iman itu harus mengupayakan suatu usaha terpadu untuk menemukan kembali dan untuk mempelajari isi fundamental iman-kepercayaan yang sekarang disintesiskan secara sistematis dan secara organis di dalam Katekismus Gereja Katolik. Di sinilah sebenarnya kita melihat kekayaan ajaran yang telah diterima oleh Gereja, dijaga dan diwartakan sepanjang dua ribu tahun sejarah keberadaannya. Dari Kitab Suci sampai ke para Bapabapa Gereja, dari para pakar teologi sampai ke para kudus sepanjang segala abad, Katekismus ini memberikan rekaman tetap dari banyak cara yang dipergunakan Gereja untuk merenungkan iman dan berkembang maju dalam ajaran, sehingga memberi kepastian bagi umat dalam kehidupan beriman mereka.

Dalam strukturnya yang seperti itu Katekismus Gereja Katolik mengikuti perkembangan iman-kepercayaan langsung kepada tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halaman demi halaman kita temukan, bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam Gereja. Pengakuan iman diikuti oleh penerimaan kehidupan sakramental di mana Kristus hadir, bekerja dan terus membangun Gereja-Nya. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan iman itu akan kehilangan efektivitasnya, sebab akan kehilangan rahmat yang mendukung kesaksiannya secara kristiani. Melalui kriterium yang sama, ajaran Katekismus tentang kehidupan moral mendapatkan artinya yang penuh, apabila memang ditempatkan dalam kaitannya dengan iman-kepercayaan, liturgi dan doa.

12. Maka dari itu, dalam Tahun Iman ini Katekismus Gereja Katolik akan dipergunakan sebagai sarana-bantu untuk memberikan dukungan nyata bagi iman-kepercayaan, terutama bagi mereka yang terkait dengan pembinaan umat kristiani, yang berada dalam situasi sangat krusial dalam konteks budaya kita. Untuk maksud itu saya telah mengundang Kongregasi Untuk Ajaran Iman, dalam kesepakatan dengan Dikasteri-dikasteri Takhta Suci yang kompeten, untuk mempersiapkan sebuah Nota, yang akan memberikan arahan-arahan kepada Gereja dan umat beriman perseorangan tentang bagaimana harus menghayati Tahun Iman itu dengan seefektif dan setepat mungkin bagi kepentingan imankepercayaan dan pewartaan.

Lebih dari masa lampau, sekarang ini iman dihantam dengan serangkaian pertanyaan yang muncul dari suatu perubahan sikap dasar, yang, khususnya dewasa ini, membatasi bidang kepastiankepastian rasional pada bidang penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi. Namun demikian, Gereja tidak pernah merasa takut untuk tetap menunjukkan, bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara iman dan ilmu yang sejati, sebab keduanya, kendatipun jalur yang ditempuh berbeda, mengarah menuju kebenaran.

13. Satu hal yang akan sangat penting dalam Tahun Iman ini adalah, menelusuri kembali sejarah iman kita, yang sungguh ditandai dengan misteri tak-terkatakan keterjalinan antara kesucian dan dosa. Sementara yang pertama menyoroti kontribusi besar yang telah dilakukan oleh laki-laki atau perempuan bagi pertumbuhan dan perkembangan persekutuan melalui kesaksian hidup mereka, yang kedua harus menantang setiap orang untuk suatu usaha pertobatan yang tulus dan terus-menerus agar dapat mengalami belas-kasih Bapa, yang ditawarkan kepada semua orang.

Sekarang ini kita harus tetap memandang Yesus Kristus, “yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:2): di dalam Dia, semua kekhawatiran dan semua kerinduan hati manusia mendapatkan pemenuhannya. Sukacita kasih, jawaban atas drama penderitaan dan kesakitan, kekuatan pengampunan di hadapan sebuah penghinaan yang diterima dan kemenangan hidup atas kehampaan kematian: semuanya itu mendapatkan kepenuhannya di dalam misteri Inkarnasi-Nya, ketika Dia menjadi manusia, ketika Dia mengambil bagian dalam kelemahan manusiawi kita, sehingga semuanya itu diubah-Nya melalui kekuatan kebangkitan-Nya. Di dalam Dia yang telah wafat lalu bangkit kembali demi keselamatan kita, contoh teladan iman-kepercayaan yang telah menandai dua ribu tahun sejarah keselamatan kita mendapatkan pencerahan yang sepenuh-penuhnya.

Dengan iman, Maria menerima kata-kata Malaikat dan percaya kepada pesan bahwa dia akan menjadi Bunda Allah dalam ketaatan kesalehannya (bdk. Luk. 1:38). Ketika mengunjungi Elizabet, dia melambungkan madah pujiannya kepada Yang Mahatinggi karena karya ajaib yang telah dikerjakan-Nya di dalam diri mereka yang menaruh kepercayaan kepada-Nya (bdk. Luk. 1:46-55). Dengan sukacita dan kegentaran ia melahirkan Anaknya yang tunggal, dengan keperawanannya yang tetap tak ternoda (bdk. Luk.2:6-7). Sambil tetap memercayai Yusuf, suaminya, ia membawa Yesus ke Mesir untuk menyelamatkan-Nya dari pengejaran Herodes (bdk. Mat, 2:15-17). Dengan kepercayaan yang sama, ia mengikuti Tuhan dalam pewartaan-Nya dan tetap menyertai-Nya sampai ke Golgota (bdk. Yoh. 19:25-27). Dengan iman-kepercayaannya Maria mengecap buah-buah kebangkitan Yesus dan sambil tetap menyimpan setiap kenangan di dalam hatinya (bdk. Luk. 2:19,51). Ia meneruskannya kepada Keduabelas Rasul yang berkumpul di ruang atas untuk menerima Roh Kudus (bdk. Kis. 114-2:1-4).

Karena iman, para rasul telah meninggalkan semuanya dan mengikuti Tuhan mereka (bdk. Mat. 10:28). Mereka percaya kepada kata-kata yang diwartakan-Nya tentang Kerajaan Allah yang telah datang dan dipenuhi di dalam diri-Nya (bdk. Luk. 11:20). Mereka hidup dalam persekutuan dengan Yesus yang membina mereka dengan ajaran-Nya, dengan mewariskan kepada mereka suatu peraturan hidup baru, dengan mana mereka akan dikenal sebagai murid-murid-Nya setelah kematian-Nya (bdk. Yoh. 13:34- 35). Karena iman, mereka pergi ke seluruh dunia, mengikuti perintah-Nya untuk mewartakan Kabar Gembira kepada semua ciptaan (bdk. Mrk. 16:15) dan dengan tanpa takut mereka mewartakan kepada semua orang sukacita kebangkitan. Merekalah saksi-saksi setia kebangkitan itu.

Karena iman, para murid membentuk komunitas pertama, yang berhimpun di sekeliling ajaran para rasul, di dalam doa, di dalam perayaan Ekaristi, sambil mempertahankan kepunyaan mereka sebagai milik bersama, sehingga mereka memenuhi kebutuhan saudara-saudara (bdk. Kis. 2:42-47).

Karena iman, para martir menyerahkan hidup mereka, sambil memberi kesaksian pada kebenaran Injil yang telah mengubah hidup mereka dan membuat mereka mampu mendapatkan anugerah terbesar cinta kasih: yakni pengampunan kepada para penganiaya mereka.

Karena iman, pria dan wanita telah membaktikan hidup mereka bagi Kristus dengan meninggalkan segala sesuatu, sehingga dapat mengha-yati ketaatan, kemiskinan dan kemurnian dalam kesederhanaan injili, sebagai tanda nyata dari penantian mereka akan kedatangan Tuhan yang tidak akan tertunda. Karena iman, tak terbilang banyaknya orang kristiani telah memperjuangkan keadilan dan dengan demikian melaksanakan sabda Tuhan, yang datang untuk mewartakan pembebasan dari segala penindasan dan mewartakan kedatangan suatu tahun penuh kebaikan bagi semua orang (bdk. Luk. 4:18-19).

Karena iman, sepanjang abad pria dan wanita dari segala usia, yang namanya tercatat di dalam Kitab Kehidupan (bdk.Why. 7:9; 13:8), telah mengakui keindahan mengikuti Tuhan Yesus, kemana pun mereka dipanggil, untuk memberi kesaksian pada kenyataan, bahwa mereka adalah orang-orang kristiani: di dalam keluarga, di tempat kerja, dalam kehidupan publik, dalam menjalankan karisma dan pelayanan yang menjadi panggilan hidup mereka.

Karena iman, kita juga hidup: dengan menghayati pengakuan kita kepada Tuhan Yesus, yang hadir di dalam hidup dan sejarah kita.

14. Tahun Iman juga akan menjadi suatu kesempatan bagus untuk mengintensifkan kesaksian amal-kasih, sebagaimana diingatkan oleh Santo Paulus kepada kita: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1Kor. 13:13). Dengan kata-kata yang lebih tegas, ‒yang senantiasa menjadi kewajiban bagi orang Kristiani,‒ Santo Yakobus mengatakan: “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: ‘Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!’, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: ‘Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan’, aku akan menjawab dia: ‘Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatanperbuatanku’" (Yak. 2:14-18).

Iman tanpa kasih tidak akan menghasilkan buah, sedang kasih tanpa iman hanya akan merupakan suatu perasaan yang senantiasa berada di bawah kuasa kebimbangan. Iman dan kasih saling membutuhkan satu sama lain, sedemikian sehingga yang satu akan membiarkan yang lain untuk tampil menurut jalurnya sendirisendiri. Memang banyak orang kristiani membaktikan hidupnya dengan kasih bagi yang kesepian, terpinggirkan atau tersisihkan, sebagaimana juga bagi mereka yang pertama-tama menuntut perhatian kita dan yang paling penting bagi kita untuk dibantu, sebab justru di dalam diri merekalah tampak cerminan wajah Kristus sendiri. Melalui iman kita dapat mengenal wajah Tuhan yang bangkit di dalam diri mereka yang meminta kasih kita. “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Kata-kata ini haruslah menjadi peringatan yang tidak boleh dilupakan dan harus menjadi undangan terus-menerus bagi kita untuk membalas kasih, dengan mana Tuhan telah senantiasa memperhatikan kita. Imanlah yang memampukan kita mengenal Kristus dan kasih-Nyalah yang mendorong kita untuk membantu-Nya kapan saja Dia menjadi sesama yang kita jumpai dalam perjalanan hidup kita. Dikuatkan oleh iman, marilah kita memandang dengan harapan kepada komitmen kita di dunia ini sambil menantikan “surga baru dan dunia baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:13; bdk. Why. 21:1).

15. Ketika sampai pada akhir hidupnya, Santo Paulus meminta Timotius muridnya untuk “mengejar iman” (lih. 2Tim. 2:22) dengan kesetiaan yang sama seperti ketika ia masih muda (bdk. 2Tim. 3:15). Kita mendengar undangan ini ditujukan juga kepada masingmasing kita, supaya jangan ada di antara kita yang menjadi malas di dalam iman. Iman yang menjadi pendamping seumur hidup inilah yang membuat kita mampu untuk memahami, setiap kali secara baru, karya-karya ajaib Tuhan bagi kita. Sambil senantiasa peka terhadap tanda-tanda zaman yang terhimpun dalam sejarah masa sekarang ini, iman membuat kita masing-masing menjadi tanda dari kehadiran Tuhan yang bangkit di dunia kita ini. Apa yang secara khusus dibutuhkan oleh dunia kita sekarang ini adalah kesaksian yang dapat dipercaya dari orang-orang yang mendapatkan pencerahan di dalam budi dan hatinya oleh sabda Tuhan dan kemudian mampu membuka hati dan budi bagi banyak orang lain untuk merindukan Allah dan hidup yang sejati, hidup yang kekal abadi.

“Supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes. 3:1): semoga Tahun Iman membuat hubungan kita dengan Krsitus, Tuhan, semakin bertambah kuat, karena hanya di dalam Dialah ada kepastian untuk memandang masa depan dan ada jaminan kasih yang sejati dan lestari. Semoga kata-kata Santo Petrus ini dapat memberikan seberkas cahaya terakhir atas iman: “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1Ptr. 1:6-9) Hidup umat kristiani mengenal baik pengalaman sukacita maupun pengalaman penderitaan. Betapa banyak orang-orang kudus yang hidup di dalam kesunyian! Betapa banyak umat beriman, juga sampai pada hari ini, dicobai oleh berdiamnya Allah, ketika mereka lebih ingin mendengar suara-Nya yang menghibur. Seraya membantu kita untuk memahami misteri salib dan turut mengambil bagian dalam penderitaan Kristus (bdk. Kol. 1:24), percobaan-percobaan hidup juga menjadi suatu pendahuluan kepada sukacita dan harapan, ke mana iman mengarahkan: “jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:10). Kita percaya dengan kepastian yang kokoh bahwa Tuhan Yesus telah mengalahkan kejahatan dan kematian. Dengan kepercayaan yang pasti ini kita memercayakan diri kita kepada-Nya: Dia, yang hadir di tengahtengah kita, mengalahkan kekuatan si jahat (bdk. Luk. 11:20) dan Gereja, persekutan yang nampak dari belas-kasih-Nya, tinggal di dalam Dia sebagai suatu tanda rekonsiliasi definitif dengan Bapa.

Marilah kita memercayakan saat rahmat ini kepada Bunda Allah, yang diwartakan sebagai yang “berbahagialah ia, yang telah percaya“ (Luk. 1:45).

Dikeluarkan di Roma, dari Basilika Santo Petrus, pada tanggal 11 Oktober 2011, tahun kepausan saya yang ke tujuh.


BENEDIKTUS XVI, PAUS

 

 

Sumber Teks ini :
Seri Dokumen Gerejawi No. 91 : Porta Fidei, Dokpen KWI

#Evangelisasi #Katekese #PintuIman #PortaFidei