Header Ads

Terang Sabda

Evangelii Nuntiandi

Paus Paulus VI - Evangelii Nuntiandi

EVANGELII NUNTIANDI

SERUAN APOSTOLIK
BAPA SUCI PAULUS VI
TENTANG
KARYA PEWARTAAN INJIL DALAM ZAMAN MODERN

 

PENGANTAR

Saudara-Saudara yang terhormat,
Putera-Puteri yang terkasih,
Salam dan berkat apostolik.

Keterlibatan secara khusus terhadap Penginjilan

1. Tak dapat diragukan lagi bahwa usaha untuk mewartakan Injil kepada umat manusia zaman sekarang ini, yang didukung oleh suatu pengharapan namun sekaligus juga kerap kali diliputi perasaan tertekan karena ketakutan dan kecemasan, merupakan suatu pelayanan yang diberikan kepada jemaat kristen dan juga kepada seluruh umat manusia.

Oleh karena itu, tugas meneguhkan hati para saudara merupakan suatu tugas yang telah kami terima dari Tuhan, bersama dengan jabatan sebagai pengganti Petrus[1], dan bagi kami merupakan “pemikiran kami sehari-hari"[2], sebuah program kehidupan dan kegiatan, serta merupakan tugas fundamental dalam jabatan kami sebagai Paus. Tugas tersebut di atas kiranya bagi kita semua menjadi lebih mulia dan penting bila hal ini menyangkut soal memberikan dukungan kepada saudara-saudara dalam perutusan mereka sebagai penginjil-penginjil agar supaya dalam masa sekarang ini yang tidak menentu dan penuh kekacauan, mereka dapat menunaikan tugas ini dengan cinta kasih yang semakin bertambah, dengan penuh semangat dan suka cita.

Dalam kesempatan menyambut tiga peristiwa

2. Justru inilah yang ingin kami lakukan di sini, pada akhir Tahun Suci ini di mana selama itu Gereja, yang “berusaha mewartakan injil kepada segala bangsa"[3] mempunyai satu tujuan tunggal untuk memenuhi tugasnya sebagai utusan Kabar Baik Yesus Kristus-Kabar Baik yang diwartakan melalui dua perintah pokok: “kenakanlah manusia baru"[4] dan “berdamailah dengan Allah”.[5]

Kami ingin melakukan hal itu pada ulang tahun kesepuluh Penutupan Konsili Vatikan Kedua, yang tujuannya secara definitif dirumuskan dalam suatu hal ini: membuat Gereja yang hidup pada abad kedua puluh menjadi semakin sesuai untuk mewartakan Injil kepada umat manusia abad keduapuluh ini.

Kami juga ingin melakukan hal ini setahun sesudah Sidang Umum Ketiga Sinode Para Uskup, yang seperti telah diketahui dikhususkan untuk membahas penginjilan. Dan kami pun semakin senang melakukan hal ini sebab telah diminta oleh para Bapa Sinode sendiri. Sesungguhnya, pada akhir Sidang yang penuh kenangan itu, para Bapa uskup yang hadir dalam Sinode memutuskan untuk mengembalikan kepada para gembala dari seluruh Gereja, dengan penuh kepercayaan dan kesederhanaan, hasil-hasil segala kerja mereka, seraya menyatakan bahwa mereka menantikan dari Dia suatu dorongan untuk maju yang segar, yang mampu untuk menciptakan dalam Gereja suatu periode baru penginjilan yang berakar lebih kokoh dalam kekuatan yang tak pernah mati dan kekuatan Pentakosta.[6]

Suatu tema yang kerap kali diulang-ulangi selama jabatan kami sebagai Paus

3. Kami telah menekankan pentingnya tema tentang evangelisasi (penginjilan) ini pada banyak kesempatan, yang terjadi sebelum Sinode berlangsung. Pada tanggal 22 Juni 1973 kami berkata kepada Dewan Para Kardinal: “Situasi masyarakat di mana kita hidup mengharuskan kita semua untuk meninjau kembali metode-metode, untuk mencoba dengan berbagai cara mempelajari bagaimana kita dapat membawa warta kristiani kepada manusia modern. Karena hanyalah dalam pewartaan kristiani manusia modern dapat menemukan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaannya dan menemukan energi bagi keterlibatannya dalam solidaritas umat manusia.”[7] Dan kami menambahkan bahwa untuk memberikan suatu jawaban yang tepat yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan konsili, yang menuntut perhatian kita, maka mutlak perlulah bahwa kita memperhatikan warisan iman yang harus dijaga kemurniannya yang tak bercela oleh Gereja. Gereja juga wajib menyampaikan warisan iman tadi kepada umat manusia pada zaman kita sekarang ini, dengan suatu cara yang dapat dimengerti dan sedapat mungkin bisa meyakinkan.

Dalam garis Sinode 1974

4. Kesetiaan baik kepada pewartaan, yang harus kita abdi, maupun kepada umat manusia, yang harus mendapat pewartaan dari kita secara hidup dan utuh, merupakan poros sentral penginjilan. Hal ini menimbulkan tiga persoalan hangat, yang terus menerus diperingatkan oleh Sinode tahun 1974:

  • Pada zaman kita sekarang ini, apakah yang telah terjadi terhadap daya tersembunyi dari Kabar Baik, yang dapat mempunyai suatu pengaruh yang kuat pada hati nurani manusia?
  • Sejauh manakah dan dengan cara bagaimanakah kekuatan injil dapat sungguh-sungguh merubah manusia pada abad sekarang ini?
  • Metode-metode apakah yang harus diikuti agar supaya kekuatan Injil dapat mempunyai pengaruh?

Pada dasarnya pertanyaan-pertanyaan ini mengeksplisitkan pertanyaan fundamental yang diajukan oleh Gereja pada dirinya sendiri pada zaman sekarang ini dan mungkin dapat diungkapkan dengan kata-kata berikut ini: sesudah Konsili dan berkat Konsili, yang merupakan suatu waktu yang diberikan kepada Gereja oleh Tuhan pada titik balik sejarah sekarang ini, apakah Gereja menemukan dirinya dilengkapi dengan lebih baik untuk mewartakan injil dan menyampaikannya ke dalam hati umat manusia dengan keyakinan, kebebasan roh dan secara efektif? Ataukah justru Gereja tidak menemukan dirinya demikian?

Ajakan untuk merenung

5. Kita semua dapat melihat betapa mendesaknya kita harus memberikan jawaban yang tulus, penuh kerendahan hati dan penuh kebranian terhadap pertanyaan ini dan bertindak selaras dengannya.

Di dalam “kecemasan kami terhadap seluruh Gereja-Gereja”[8], untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kata-kata kami berasal dari kekayaan sinode dan dimaksudkan agar menjadi suatu renungan mengenai penginjilan. Semoga hal tadi berhasil mengajak seluruh Umat Allah, yang berkumpul di dalam Gereja, agar melakukan renungan yang sama. Dan mudah-mudahan kata-kata tadi dapat memberikan suatu dorongan yang segar kepada setiap orang, lebih-lebih mereka “yang rajin dalam pewartaan dan pengajaran”[9] agar supaya mereka masing-masing dapat mengikuti “jalan yang lurus dalam menyampaikan kebenaran”[10], dan dapat bekerja sebagai seorang pewarta Injil dan melakukan pelayanannya dengan sempurna.

Dorongan semacam ini menurut hemat kami adalah suatu hal yang penting karena penyampaian pesan Injil bukanlah merupakan sesuatu sumbangan sukarela dari Gereja. Menyampaikan pesan Injil adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada Gereja berdasarkan perintah Tuhan Yesus, agar supaya umat dapat percaya dan diselamatkan.

Pesan tersebut sungguh-sungguh penting, sesuatu yang unik, tidak dapat digantikan. Tak boleh orang bersikap acuh tak acuh terhadapnya, bersikap sinkretis atau mengadakan penyesuaian. Pesan ini menyangkut keselamatan umat manusia. Pesan Injil merupakan keindahan perwahyuan yang digambarkannya. Pesan Injil disertai dengan kebijaksanaan yang bukan berasal dari dunia ini. Pesan Injil dapat membangkitkan iman, - iman yang bersandar pada kekuatan Allah.[11] Pesan injil adalah kebenaran. Maka patutlah bahwa para rasul mengorbankan seluruh waktu mereka dan seluruh tenaga mereka demi Injil, dan juga korban demi Injil, bahkan bila perlu mengorbankan hidup mereka sendiri.


BAB I
DARI KRISTUS PEWARTA INJIL KEPADA GEREJA YANG MEWARTAKAN INJIL

Kesaksian dan perutusan Yesus

6. Kesaksian yang diberikan Tuhan mengenai diri-Nya sendiri dan yang dikumpulkan bersama-sama oleh Santo Lukas dalam Injilnya “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah”[12] – tak dapat diragukan lagi mempunyai konsekuensi yang amat besar, sebab merupakan ringkasan seluruh perutusan Yesus: “Sebab untuk itulah Aku diutus”[13]. Kata-kata tadi mempunyai arti sepenuh-penuhnya jika dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya, di mana Kristus baru saja menerapkan bagi diriNya sendiri kata-kata Nabi Yesaya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin.”[14]

Dengan pergi dari satu kota ke kota lain, sambil mewartakan kepada kaum termiskin, yang kerap kali justru yang paling siap menerima, kabar gembira mengenai terpenuhinya janji-janji dan perjanjian yang diberikan Allah, itulah perutusan Yesus. Yesus menyatakan bahwa untuk itulah Dia telah diutus oleh Bapa. Dan segala segi dari misteri-Nya tadi ialah penjelmaan itu sendiri, mukjizat-mukjizatnya, ajarannya, berkumpulnya para murid-Nya, perutusan dua belas Murid, Salib dan Kebangkitan, kehadiran-Nya yang tetap di tengah-tengah murid-murid-Nya.

Yesus, Penginjil pertama

7. Selama Sinode, para Uskup kerap kali menunjukan kepada kebenaran ini: Yesus sendiri, Kabar Baik Allah,[15] merupakan penginjil Pertama dan Terbesar. Ia sangatlah sempurna, bahkan sampai bersedia mengorbankan hidup duniawi-Nya.

Mewartakan Injil: apakah arti perintah ini bagi Kristus? Sudah barang tentu tidak mudahlah merumuskan dalam suatu sintesa yang lengkap arti, isi dan cara-cara penginjilan seperti yang dimengerti oleh Yesus dan dipraktikkan-Nya. Setidaknya usaha untuk membuat sintesa semacam itu tidak pernah selesai. Maka cukuplah kalau kita mengingat kembali beberapa segi yang hakiki.

Mewartakan Kerajaan Allah

8. Sebagai seorang pewarta Injil, Kristus pertama-tama mewartakan suatu kerajaan, Kerajaan Allah; dan hal ini begitu penting, sehingga bila dibandingkan segala sesuatu yang lain menjadi “sisa”, yang “diberikan sebagai tambahan”.[16] Hanya kerajaanlah yang bersifat mutlak, dan menjadikan setiap hal lainnya bersifat relatif. Tuhan dengan senang hati menggambarkan dengan banyak cara kebahagiaan masuk ke dalam Kerajaan ini (suatu kebahagiaan yang bersifat paradoks yang terdiri dari hal-hal yang tolak oleh dunia).[17] Juga digambarkan-Nya tuntutan-tuntutan Kerajaan dan “Magna Charta” Kerajaan itu[18], pewarta-pewarta Kerajaan[19], misteri-misteri Kerajaan[20], anak-anak Kerajaan[21], kesiapsiagaan dan kesetiaan yang dituntut dari siapa pun saja yang menantikan kedatangan yang pasti dari kerajaan itu.[22]

Pewartaan tentang Penebusan yang membebaskan

9. Sebagai poros dan pusat Kabar Baik-Nya Kristus mewartakan penebusan. Kurnia besar berasal dari Allah ini merupakan pembebasan dari setiap hal yang menindas manusia tapi lebih-lebih pembebasan dari dosa dan kejahatan. Juga sukacita karena mengenal Allah dan dikenal oleh Allah, karena melihat-Nya, dan karena diserahkan kepada-Nya. Semua hal ini selama hidup Kristus dan secara definitif disempurnakan dengan Kematian-Nya dan Kebangkitan-Nya. Tapi hal ini haruslah dengan sabar dilanjutkan sepanjang perjalanan sejarah, supaya dapat terlaksana sepenuhnya hari kedatangan Kristus yang terakhir, yang saatnya tidak diketahui oleh seorangpun juga, kecuali oleh Bapa.[23]

Dengan bayaran berupa usaha memikul salib

10. Kerajaan dan keselamatan ini, yang merupakan kata-kata kunci dalam pewartaan Injil Yesus Kristus, tersedia bagi setiap manusia sebagai rahmat dan belas kasih. Namun pada saat yang sama tiap-tiap individu harus memperolehnya dengan perjuangan – sebab hal itu direbut dengan kekerasan, demikian kata Tuhan,[24] - melalui jerih payah dan penderitaan, melalui hidup yang dihayati sesuai dengan Injil, melalui penyangkalan dan salib, melalui semangat Sabda Bahagia. Tapi lebih-lebih setiap individu memperolehnya melalui suatu pembaharuan batin yang menyeluruh, yang oleh Injil disebut metanonia. Metanonia ialah suatu pertobatan yang radikal, perubahan pikiran dan hati yang mendalam.[25]

Dengan Khotbah yang tak kenal lelah

11. Kristus melaksanakan pewartaan tentang Kerajaan Allah ini melalui khotbah yang tak kenal lelah, tentang satu kata yang tak ada bandinganya, demikian akan dikatakan oleh orang-orang: “Suatu ajaran yang baru, dan dengan satu wibawa di belakangnya”[26]. “Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya.”[27] “Belum pernah seorang manusia berkata seperti orang itu”[28] Kata-kata-Nya mengungkapkan rahasia Allah, rencana-Nya dan janji-Nya, dan oleh karenanya merubah hati manusia dan nasibnya.

Dengan tanda-tanda injili

12. Tetapi Kristus juga melaksanakan pewartaan ini dengan banyak tanda yang tak terhitung jumlahnya, yang membuat heran orang banyak dan sekaligus juga menarik mereka kepada-Nya untuk mendengarkan Dia, melihat Dia dan membiarkan diri mereka diubah oleh-Nya. Orang sakit disembuhkan, air diubah menjadi anggur, roti diperbanyak, orang mati dihidupkan kembali. Di antara tanda-tanda ini ada satu tanda yang dianggap-Nya penting: Orang rendah hati dan orang miskin mendapat pewartaan Injil, menjadi murid-murid-Nya dan berkumpul bersama “dalam nama-Nya” dalam jemaat besar dari mereka yang percaya kepada-Nya. Karena Yesus inilah, yang menyatakan “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah”[29], adalah Yesus yang sama, yang dikatakan oleh Yohanes Pemandi bahwa Dia telah datang dan harus mati “untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai-berai”.[30] Dengan demikian Ia melaksanakan perwahyuan-Nya, menggenapinya dan meneguhkannya dengan seluruh perwahyuan yang telah Ia lakukan mengenai diri-Nya, dengan kata-kata dan perbuatan-perbuatan, tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat, dan lebih-lebih lagi dengan kematian-Nya, kebangkitan-Nya dan dengan mengutus Roh Kebenaran.[31]

Bagi suatu jemaat yang harus menerima pewartaan dan menyampaikan pewartaan

13. Mereka yang dengan tulus menerima Kabar Baik, berkat daya yang berasal dari penerimaan ini dan iman yang telah mereka miliki, kemudian berkumpul bersama atas nama Yesus untuk bersama-sama mencari Kerajaan, dan membangunnya serta menghayatinya. Mereka membentuk suatu jemaat, yang pada gilirannya juga mewartakan Injil. Perintah yang diberikan kepada Kedua Belas Rasul untuk pergi ke luar dan mewartakan Injil juga berlaku untuk semua orang Kristen, meskipun dengan cara yang berbeda. Justru karena alasan inilah maka Petrus menyebut orang-orang kristen “suatu bangsa yang terpilih untuk menyampaikan puji-pujian kepada Allah”[32], perbuatan-perbuatan ajaib ini yang dapat didengarkan oleh masing-masing orang dalam bahasanya sendiri.[33] Lagipula Injil Kerajaan yang akan datang dan telah mulai, dimaksudkan untuk semua orang di segala zaman. Mereka yang telah menerima Kabar Baik dan telah dikumpulkan olehnya dalam jemaat yang telah ditebus, dapat dan harus meneruskannya dan menyebarluaskan Injil.

Mewartakan Injil: panggilan yang khas bagi Gereja

14. Gereja mengetahui hal ini. Gereja mempunyai kesadaran yang hidup mengenai kenyataan bahwa kata-kata Sang Penebus, “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah”,[34] berlaku juga sebenarnya untuk Gereja. Gereja dengan senang hati akan menambahkannya–bersama-sama Santo Paulus: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.”[35] Sungguh menyenangkan dan memberikan hiburan bahwa pada akhir Sidang Pleno tahun 1974 kita mendengar kata-kata yang menggembirakan ini: “Kami ingin menegaskan sekali lagi bahwa tugas untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa merupakan perutusan hakiki dari Gereja”.[36]

Ini merupakan suatu tugas dan perutusan, yang semakin lebih mendesak karena perubahan-perubahan yang meluas dan mendalam di dalam masyarakat zaman sekarang ini. Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada untuk mewartakan Injil, yakni untuk berkhotbah dan mengajar, menjadi saluran kurnia rahmat, untuk mendamaikan para pendosa dengan Allah dan untuk mengabadikan kurban Kristus di dalam Misa, yang merupakan kenangan akan kematian dan kebangkitan-Nya yang mulia.

Mata rantai yang timbal-balik antara Gereja dan Pewartaan Injil

15. Setiap orang membaca kembali dalam Perjanjian Baru asal usul Gereja, mengikuti sejarahnya langkah demi langkah dan melihat hidupnya dan kegiatannya, melihat bahwa Gereja berhubungan erat dengan pewartaan Injil dalam hakekatnya yang terdalam.

- Gereja lahir dari kegiataan pewartaan Injil dari Yesus dan kedua belas rasul. Gereja adalah hasil yang paling wajar, yang diharapkan, hasil yang paling langsung dan paling kelihatan dari kegiatan ini: “Oleh karena itu pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku”[37] Sekarang “mereka menerima perkataannya dan dibaptis. Pada hari itu kira-kira tiga ribu orang ditambahkan pada jumlah itu. Tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang-orang yang diselamatkan.”[38]

- Setelah dilahirkan sebagai hasil perutusan, maka Gereja pada gilirannya juga diutus oleh Yesus. Gereja tetap di dunia pada saat Tuhan kemuliaan kembali kepada Bapa. Gereja tetap menjadi tanda, yang sekaligus kabur namun juga bercahaya, dari kehadiran baru Yesus, dari keberangkatan-Nya dan kehadiran-Nya yang tetap. Gereja merupakan perpanjangan Yesus dan meneruskan kehadiran Yesus. Dan lebih-lebih perutusan Yesus dan kedudukan-Nya sebagai seorang penginjil, yang harus diteruskan oleh Gereja berdasarkn panggilannya.[39] Karena jemaat kristen tidak pernah tertutup pada dirinya sendiri. Hidup mendalam dari jemaat ini, yaitu kehidupan mendengarkan Sabda dan ajaran para Rasul, cinta kasih yang dihayati secara persaudaraan, saling berbagi roti[40], hanyalah mendapatkan makna sepenuh-penuhnya bila merupakan suatu kesaksian, bila kehidupan tersebut membangkitkan kekaguman dan pertobatan, dan bila kehidupan tadi merupakan khotbah dan pewartaan Kabar Baik. Demikianlah seluruh Gerejalah yang menerima perutusan untuk mewartakan Injil, dan pekerjaan masing-masing anggota secara individual penting untuk keseluruhan.

- Gereja adalah Pewarta Injil, namun dia mulai hal ini dengan menerima pewartaan itu sendiri. Gereja adalah jemaat kaum beriman, jemaat pengharapan yang dihayati dan dikomunikasikan, jemaat kasih persaudaraan. Gereja perlu mendengarkan terus menerus apa yang mesti dipercayainya, alasan-alasannya untuk berharap, perintah baru cinta kasih. Gereja adalah umat Allah yang diceburkan dalam dunia ini, dan kerapkali digoda oleh dewa-dewa, dan dia selalu butuh mendengarkan pewartaan “Karya-karya agung dari Allah”[41] yang mempertobatkan dia kepada Tuhan. Gereja selalu perlu dipanggil bersama-sama kembali oleh Tuhan dan dikumpulkan kembali. Dengan secara singkat, ini berarti Gereja ingin menjaga kesegaran, keteguhan dan kekuatan untuk mewartakan Injil. Konsili Vatikan Kedua mengingatkan kembali[42] dan Sinode tahun 1974 dengan giat mengambil lagi tema tentang Gereja yang mendapatkan pewartaan Injil dengan pertobatan terus menerus dan pembaharuan, supaya dapat mewartakan Injil kepada dunia dengan kredibilitas (dapat dipercaya).

- Gereja ialah yang dipercaya untuk menjaga Kabar Baik yang harus diwartakan. Janji-janji Perjanjian Baru dalam Yesus Kristus, ajaran Tuhan dan para Rasul, Sabda Kehidupan, sumber-sumber rahmat dan keramahan Allah yang penuh kasih, jalan menuju ke keselamatan. Semua hal tadi telah dipercayakan kepada Gereja. Isi Injil, dan oleh karenanya pewartaan Injil, yang disimpan oleh Gereja sebagai suatu warisan hidup yang berharga, bukan untuk dijaganya agar tetap tersembunyi tapi untuk diteruskan atau dikomunikasikan.

- Setelah diutus dan diberi pewartaan Injil, maka Gereja sendiri mengutus para pewarta Injil. Gereja meletakan dalam bibir-bibir mereka Sabda yang menyelamatkan. Gereja menerangkan kepada mereka pesan yang disimpannya. Gereja memberikan kepada perintah, yang telah diterima sendiri oleh Gereja, dan mengutus mereka untuk pergi mewartakan. Untuk mewartakan bukan diri mereka sendiri atau gagasan-gagasan pribadi mereka[43], tapi suatu Injil, yang tidak dikuasai secara mutlak baik oleh Gereja maupun mereka, pun juga tidak mereka miliki. Pun pula mereka tidak boleh menyampaikannya sesuka hati mereka, tapi mereka harus menyampaikan sebuah Injil, di mana mereka menjadi pelayan-pelayannya, agar mereka menyampaikannya dengan kesetiaan sepenuh-penuhnya.

Gereja tak terpisahkan dari Kristus

16. Demikianlah ada hubungan yang mendalam antara Kristus, Gereja dan pewartaan Injil. Dalam masa gereja, di mana kita hidup di dalamnya, menjadi tugas Gerejalah untuk mewartakan Injil. Perintah ini tidak dapat terlaksanakan tanpa Gereja, apalagi bertentangan dengan Gereja.

Tentulah tepat sekali kita kenangkan kembali kenyataan ini pada saat seperti sekarang ini, di mana terjadi sesuatu yang menyedihkan yakni kita dapat mendengar orang-orang yang terus menerus menyatakan bahwa mereka mencintai kristus tapi tanpa mencintai Gereja, bahwa mereka mendengarkan Kristus tapi tidak mau mendengarkan Gereja, menjadi milik Kristus tapi berada di luar Gereja. Tentu kita percaya bahwa orang-orang tadi punya maksud baik tapi jelas keliru dalam sikap mereka. Kekaburan dari “dikotomi” ini dengan jelas nampak dalam kalimat Injil ini: “Barangsiapa menolak kamu ia menolak Aku”[44]

Bagaimanakah seseorang dapat ingin mencintai Kristus tanpa mencintai Gereja, bila kesaksian yang terbaik mengenai Kristus ialah kalimat yang berasal dari Santo Paulus: “Kristus telah mengasihi Gereja dan mengorbankan diri-Nya untuk Gereja"?[45]


BAB II
APAKAH EVANGELISASI ITU?

Kompleksnya kegiatan mewartakan Injil

17. Di dalam kegiatan Gereja untuk mewartakan Injil memang ada unsur-unsur tertentu dan segi-segi tertentu yang secara khusus harus ditekankan. Beberapa unsur dan segi tadi sedemikian penting sehingga ada suatu kecenderungan untuk mengindentikkan hal-hal tadi dengan kegiatan mewartakan Injil. Dengan demikian maka ada kemungkinan orang merumuskan penginjilan (evangelisasi) dengan rumusan seperti misalnya mewartakan Kristus kepada mereka yang belum mengenal-Nya, berkhotbah memberikan katekese, memberikan Baptis dan Sakramen-sakramen lainya.

Setiap rumusan yang berat sebelah dan fragmentaris, yang mencoba menyajikan kenyataan evangelisasi dengan segala kekayaannya, kompleksitasnya dan dinamismenya, menempuh risiko bahwa akan memiskinkan, bahkan menyelewengkan evangelisasi. Tak mungkinlah orang memahami konsep mengenai pewartaan Injil bila orang tidak mencoba memperhatikan semua unsurnya yang hakiki.

Unsur-unsur ini dengan sangat kuat ditekankan dalam Sinode tahun 1974, dan masih merupakan bahan studi yang kerap kali diadakan, sebagai salah satu hasil karya Sinode. Kami bergembira karena ternyata unsur-unsur ini secara dasariah mengikuti garis-garis yang diberikan kepada kita oleh Konsili Vatikan Kedua, lebih-lebih dalam Lumen Gentium, Gaudium et Spes dan Ad Gentes.

Pembaharuan umat manusia

18. Bagi Gereja, penginjilan (evangelisasi) berarti membawa Kabar Baik kepada segala tingkat kemanusiaan, dan melalui pengaruh Injil merubah umat manusia dari dalam dan membuatnya menjadi baru: “Lihatlah Aku menjadikan segala sesuatu baru”[46]. Tapi tidak ada kemanusiaan yang baru bila terlebih dahulu tidak ada pribadi-pribadi baru, yang diperbaharui oleh Baptis[47] dan oleh kehidupan yang dihayati menurut Injil.[48] Maksud dari penginjilan ialah perubahan batin ini. Dan bila hal ini harus dirumuskan dalam satu kalimat maka cara terbaik untuk menyatakannya ialah dengan mengatakan bahwa Gereja melaksanakan penginjilan bila Gereja berusaha mempertobatkan[49], semata-mata berkat kuasa ilahi dari pewartaan yang diwartakannya, baik hati nurani perorangan maupun kolektif orang-orang, kegiatan-kegiatan di mana mereka terlibat, serta kehidupan dan lingkungan konkret yang mereka miliki.

Dan segala lapisan umat manusia

19. Lapisan-lapisan umat manusia yang harus diubah: kriteria penilaian umat manusia, nilai-nilai yang menentukan, bidang-bidang minat, garis-garis pemikiran sumber-sumber inspirasi dan model-model kehidupan, yang bertentangan dengan Sabda Allah dan rencana penyelamatan. Bagi Gereja yang menjadi soal bukan hanya mewartakan Injil dalam kawasan geografis yang lebih luas atau jumlah manusia yang lebih banyak, tapi juga bagaimanakah mempengaruhinya dan menjungkirbalikannya dengan kekuatan Injil.

Evangelisasi kebudayaan-kebudayaan

20. Semua hal ini dapat diungkapkan dalam kata-kata berikut ini: hal penting yang harus diperhatikan dalam evangelisasi kebudayaan manusia dan kebudayaan-kebudayaan (bukan hanya sebagai suatu perhiasan seperti menempelkan suatu kayu lapis tipis, tapi secara vital, secara mendalam dan tepat pada akar-akarnya), dalam arti yang seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya yang selalu digunakan oleh Gaudium et Spes[50] ialah selalu memperhatikan pribadi manusia sebagai titik pangkal dan selalu kembali ke hubungan antara umat manusia dengan diri mereka dan hubungannya denga Allah.

Injil, dan oleh karenanya penginjil, tentu saja tidak identik dengan kebudayaan, dan bersifat independen terhadap semua kebudayaan. Meskipun begitu, Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Injil dihayati oleh manusia-manusia yang secara sangat mendalam terikat pada suatu kebudayaan. Dan pembangunan Kerajaan Allah tak dapat tidak harus meminjam unsur-unsur dari kebudayaan manusia atau kebudayaan-kebudayaan. Meskipun tidak tergantung dari kebudayaan, Injil dan penginjilan tidak harus bertentangan dengan kebudayaan. Malahan dapat merasuki kebudayaan tanpa menjadi tunduk terhadapnya.

Perpisahan antara Injil dan kebudayaan tak dapat diragukan lagi merupakan suatu drama untuk zaman kita, seperti halnya untuk zaman-zaman lain. Oleh karenanya setiap usaha harus dilakukan untuk menjamin penginjilan kebudayaan sepenuhnya, atau lebih tepat kebudayan-kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan harus dilahirkan kembali dalam suatu pertemuan dengan Injil. Namun pertemuan ini tidak akan terjadi bila Injil tidak diwartakan.

Pentingnya kesaksian hidup

21. Lebih-lebih Injil harus diwartakan melalui kesaksian. Ambilah seorang kristen atau sejumlah orang kristen, yang di tengah-tengah masyarakat mereka sendiri, menunjukkan kemampuan mereka untuk memahami dan menerima, untuk membagi hidup dan nasibnya dengan orang lain, solidaritas mereka serta usaha mereka untuk melakukan semua hal luhur dan baik. Marilah kita andaikan bahwa, di samping itu, mereka dengan secara sederhana dan tidak terpengaruhi, memancarkan iman mereka dalam nilai-nilai yang di luar nilai-nilai yang sedang berlaku. Dan harapan mereka ialah pada sesuatu yang tidak kelihatan dan tak seorangpun berani membayangkannya. Melalui kesaksian tanpa kata-kata ini orang-orang Kristen membangkitkan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dihalang-halangi dalam hati orang-orang, yang melihat bagaimanakah orang-orang kristen hidup: Apakah sebabnya mereka seperti ini? Mengapakah mereka hidup secara demikian ini? Apa atau siapakah yang mengilhami mereka? Sebab apakah mereka ada di tengah-tengah kita? Kesaksian semacam ini sudah merupakan suatu pewartaan Kabar Baik dengan secara diam-diam dan suatu hal yang sangat berpengaruh dan efektif. Di sini kita lakukan langkah awal untuk penginjilan. Pertanyaan-pertanyaan tadi mungkin akan merupakan hal pertama yang akan ditanyakan oleh kebanyakan orang-orang bukan kristen, entah ini mereka merupakan bangsa, yang tidak pernah mendapat pewartaan tentang Kristus, atau oleh orang-orang yang dibaptis namun tidak pernah melakukan agamanya. Atau pun hal itu dilakukan oleh orang-orang yang hidup sebagai orang kristen “nominal” namun hidup berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sekali bukan kristiani, atau orang-orang, yang mencari dan kerap kali dengan susah payah, sesuatu atau seseorang yang dapat mereka rasakan tapi tidak dapat mereka sebutkan. Pertanyaan-pertanyaan lain akan muncul, lebih mendalam dan lebih bersifat menuntut, pertanyaan yang dibangkitkan oleh kesaksian yang melibatkan kehadiran, ikut berbagi, solidaritas, dan sesuatu yang hakiki dan pada umumnya merupakan hal yang pertama, di dalam penginjilan.[51]

Semua orang kristen dipanggil untuk memberikan kesaksian ini, dan dengan cara demikian dapat sungguh menjadi penginjil-penginjil sejati. Kami berpikir lebih-lebih mengenai tanggung jawab yang ada pada para imigran di dalam negeri yang menerima mereka.

Perlunya pewartaan yang eksplisit

22. Meskipun begitu hal ini tetap tidak cukup, sebab bahkan kesaksian yang terbagus pun ternyata tidak efektif dalam jangka panjang, jika tidak dijelaskan, diberi alasan dan dieksplisitkan dengan suatu pewartaan tentang Yesus yang jelas dan tidak akan menimbulkan salah paham. Inilah yang disebut Petrus “siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan-jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan-jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada pada kamu”[52]. Kabar Baik yang diwartakan dengan kesaksian hidup, cepat atau lambat, haruslah diwartakan dengan sabda kehidupan.

Tidak adalah penginjilan yang sejati, bila nama, ajaran, hidup dan janji-janji, Kerajaan Allah dan misteri Yesus dari Nazaret, Putera Allah tidak diwartakan. Sejarah Gereja, sejak dari Pidato Petrus pada pagi Pentakosta dan seterusnya telah bercampur dan diidentikkan dengan sejarah pewartaan ini. Pada setiap tahapan baru dalam sejarah manusia, Gereja yang terus menerus dicekam oleh keinginan untuk mewartakan Injil, hanya punya suatu pemikiran pokok: Kepada siapakah Gereja diutus untuk mewartakan misteri Yesus? Bagaimanakah misteri ini harus diwartakan? Bagaimanakah orang dapat memastikan bahwa pewartaan itu akan bergaung dan mencapai mereka semua yang seharusnya mendengarnya? Pewartaan ini - “kerygma”, khotbah atau katekese menduduki tempat yang penting di dalam evangelisasi sehingga kerap kali menjadi sinonim dengannya; namun hal tadi hanyalah salah satu segi dari evangelisasi.

Supaya diterima dalam hidup dan diterima secara menjemaat

23. Sesungguhnya pewartaan hanya mencapai perkembangan sepenuhnya bila didengarkan, diterima dan dicerna, dan bila hal itu yang membangkitkan keinginan untuk mengikuti secara tulus dari orang yang telah menerima pewartaan itu. Mengikuti kebenaran-kebenaran yang telah diwahyukan Tuhan dalam belaskasih-Nya. Lebih-lebih suatu kesediaan untuk mengikuti suatu rencana hidup, suatu rencana hidup yang telah diperbaharui, yang diajukan oleh Tuhan. Dalam satu kata mengikuti Kerajaan Allah, yaitu “suatu dunia baru”, hal-hal baru, cara hidup yang baru, hidup dalam jemaat, yang dimaklumkan Injil. Kesediaan untuk mengikuti tadi, yang tidak boleh hanya bersifat abstrak dan tidak menjelma, secara konkret menampakkan diri dengan secara kelihatan dengan masuk dalam suatu jemaat kaum beriman. Demikianlah mereka yang hidupnya telah diubah masuk ke dalam suatu jemaat, yang dari dirinya sendiri merupakan suatu tanda perubahan, suatu tanda pembaharuan hidup: yaitu Gereja, Sakramen Keselamatan yang kelihatan.[53] Namun masuk ke dalam jemaat gerejani ini pada gilirannya akan diungkapkan melalui banyak tanda lain, yang memperpanjang dan membentangkan tanda Gereja. Di dalam dinamisme penginjilan, seorang pribadi yang menerima Gereja sebagai sabda yang menyelamatkan[54], biasanya menerjemahkannya dalam kegiatan kegiatan sakramental berikut ini: tunduk kepada Gereja, menerima sakramen-sakramen, yang menampakan dan mendukung ketaatan tadi melalui rahmat yang mereka berikan.

Melibatkan bentuk kerasulan baru

24. Akhirnya: orang yang telah menerima pewartaan Injil, ia juga kemudian mewartakan Injil pada orang-orang lain. Di sinilah terletak ujian kebenaran, batu uji penginjilan: Tak dapat dibayangkan bahwa seseorang menerima Sabda dan memberikan dirinya bagi Kerajaan Allah tanpa menjadi seorang pribadi yang memberikan kesaksian mengenai Kerajaan Allah dan pada gilirannya mewartakannya.

Untuk melengkapi pemikiran-pemikiran mengenai makna evangelisasi, haruslah dilakukan suatu pengamatan terakhir, sesuatu hal yang kami anggap akan membantu menjernihkan refleksi-refleksi berikut ini.

Evangelisasi atau penginjilan, seperti telah kami kemukakan, adalah suatu proses yang kompleks, yang terdiri dan macam-macam unsur: pembaharuan kemanusiaan, kesaksian, pewartaan yang eksplisit, ketaatan batin, masuk dalam jemaat, menerima tanda-tanda, berinisiatif dalam merasul. Unsur-unsur ini mungkin kelihatan bertentangan, bahkan saling meniadakan. Namun sesungguhnya saling melengkapi dan saling memperkaya. Masing-masing harus dilihat dalam hubungannya dengan yang lain. Nilai dari sinode yang baru lalu (tahun 1974) ialah bahwa terus menerus mengajak kita untuk menghubungkan unsur-unsur ini dan bukannya menempatkannya satu melawan yang lain, agar mencapai pemahaman yang penuh mengenai kegiatan Gereja dalam evangelisasi.

Visi menyeluruh, global, inilah yang ingin kami gariskan, dengan memeriksa isi penginjilan dan metode-metode penginjilan dan dengan menjernihkan untuk siapa pesan Injil ditujukan dan siapakah yang pada zaman sekarang ini bertanggung jawab untuk penginjilan tersebut.


BAB III
ISI EVANGELISASI

Isi pokok dan unsur-unsur sekunder

25. Di dalam pesan yang disampaikan Gereja tentu ada banyak unsur-unsur yang sekunder. Penyajiannya sangat tergantung dari situasi-situasi yang berubah. Unsur-unsur ini juga berubah-ubah. Tetapi ada isi pokok, hakiki, subtansi yang hidup, yang tidak boleh diubah-ubah ataupun disangkal, karena secara serius pasti merubah hakikat evangelisasi itu sendiri.

Kesaksian yang diberikan mengenai kasih Bapa

26. Bukanlah suatu yang berlebihan untuk mengingat kembali butir-butir berikut ini: Mewartakan Injil pertama-tama berarti memberikan kesaksian, secara sederhana dan langsung, mengenai Allah yang diwahyukan oleh Yesus Kristus, dalam Roh Kudus. Memberikan kesaksian bahwa dalam Putera-Nya Allah telah mengasihi dunia – bahwa sabda-Nya Yang Menjadi Daging, Allah telah menciptakan semua hal dan telah memanggil umat manusia ke dalam hidup kekal. Mungkin kesaksian mengenai Allah ini bagi banyak orang ialah Allah yang tidak dikenal[55], yang mereka sembah tanpa menyebut nama-Nya, atau yang mereka cari melalui suatu panggilan rahasia dari hati, pada saat mereka mengalami kekosongan semua berhala. Namun sepenuhnya merupakan evangelisasi dengan menyebutkan kenyataan bahwa bagi seorang manusia sang pencipta bukanlah suatu kekuasaan yang anonim dan jauh. Sang pencipta ialah Bapa, “sehingga kita lalu disebut sebagai anak-anak Allah, dan memang demikian adanya.”[56] Dan dengan demikian kita yang satu bagi yang lain merupakan saudara-saudara dan saudari-saudari dalam Allah.

Merupakan pokok pewartaan: Penebusan dalam Yesus Kristus

27. Penginjilan juga selalu harus memuat–sebagai dasar, pusat dan sekaligus puncak dari dinamismenya–suatu pewartaan yang jelas, bahwa dalam Yesus Kristus, Putera Allah yang menjadi manusia, yang wafat dan bangkit dari kematian, penebusan ditawarkan kepada segala manusia, sebagai suatu kurnia rahmat dan belas kasih Allah.[57] Bukan suatu penebusan yg imanen, yang memenuhi kebutuhan material atau malah spiritual, yang terbatas dalam kerangka hal-hal duniawi dan sepenuhnya disamakan dengan keinginan-keinginan duniawi, harapan-harapan, masalah dan perjuangan duniawi, tapi suatu penebusan yang mengatasi segala batas ini agar mencapai pemenuhan dalam suatu persatuan dengan Yang Mutlak dan Yang Ilahi: suatu penebusan yang transendens dan eskatologi yang memang dimulai di dalam hidup sekarang ini tapi yang dipenuhi di keabadian.

Di bawah tanda harapan

28. Sebagai konsekuensinya, evangelisasi mau tak mau menyangkut juga pewartaan profetis tentang hari akhirat, panggilan manusia yang mendalam dan definitif, baik dalam keseimbangannya dan terpisahnya dengan situasi sekarang ini: melampaui waktu dan sejarah, melampui realitas dunia ini yang bersifat sementara, melampaui hal-hal di dunia ini. Dimensi tersembunyi dunia ini suatu ketika akan dinampakkan melampaui manusia sendiri, yang nasibnya yang sebenarnya hanya dibatasi dalam segi duniawi ini tapi akan dinampakkan dalam hidup di masa mendatang.[58] Oleh karena itu evangelisasi juga mencakup pewartaan tentang harapan akan janji-janji yang dibuat oleh Allah dalam Perjanjian Baru dalam Yesus Kristus, pewartaan tentang kasih Allah kepada kita dan kasih kita kepada Allah. Evangelisasi juga mencakup pewartaan tentang kasih persaudaraan terhadap semua orang–kemampuan untuk memberikan dan mengampuni, penyangkalan diri, membantu saudara dan saudari–yang berasal dari kasih kepada Allah, merupakan benih Injil. Begitu pula pewartaan misteri kejahatan dan usaha mencari kebaikan secara aktif termasuk dalam evangelisasi. Dan yang selalu mendesak pula pewartaan mengenai mencari Allah sendiri melalui doa, yang secara prinsipial berupa penyembahan dan ucapan syukur, tapi juga melalui kesatuan dengan tanda lahiriah pertemuan dengan Allah, yaitu Gereja Yesus Kristus. Persatuan tadi pada gilirannya diungkapkan dengan menerapkan tanda-tanda lain dari Kristus yang hidup dan berkarya di dalam Gereja, yaitu sakramen-sakramen. Menghayati sakramen-sakramen dengan cara demikian ini, yang mencapai kepenuhannya dengan dirayakan, bukanlah menghambat evangelisasi atau menyelewengkan evangelisasi, seperti yang dikatakan oleh sementara orang. Penghayatan sakramen-sakramen justru untuk melengkapi evangelisasi. Karena di dalam kepenuhannya, evangelisasi – di atas dan lebih dari penyampaian suatu pesan –terwujud di dalam “menanamkan” Gereja, yang tidak akan ada tanpa adanya daya pendorong yang berupa hidup sakramental yang memuncak di dalam Ekaristi.[59]

Pesan yang menyentuh hidup sebagai keseluruhan

29. Namun penginjilan atau evangelisasi tidak akan lengkap bila tidak memperhitungankan interaksi yang terus menerus antara Injil dan hidup manusia yang konkret, baik dalam kehidupan pribadi maupun hidup sosial. Itulah sebabnya evangelisasi mencakup suatu pesan yang jelas, eksplisit, yang disesuaikan dengan macam-macam situasi yang terus menerus dilaksanakan, mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban setiap manusia, mengenai hidup keluarga, sebab tanpa hidup keluarga pertumbuhan dan perkembangan pribadi hampir tidak mungkin terlaksana.[60] Juga pewartaan tentang hidup di dalam masyarakat, mengenai hidup internasional, perdamaian, keadilan dan perkembangan – suatu pesan yang secara khusus bersemangat pada zaman sekarang ini mengenai pembebasan.

Sebuah pesan tentang pembebasan

30. Kita mengetahui dengan baik bagaimanakah banyak Uskup dari semua benua telah bicara pada Sinode tahun 1974, lebih-lebih para Uskup dari Dunia Ketiga, dengan suatu nada pastoral, yang menyuarakan suara jutaan putera dan puteri Gereja yang membina orang-orang ini. Orang-orang yang terlibat dengan seluruh tenaganya dalam usaha dan perjuangan mengatasi segala hal yang menghukum mereka untuk tetap dalam ambang kehidupan: kelaparan, penyakit kronis, buta huruf, kemiskinan, ketidakadilan dalam hubungan internasional dan lebih dalam hubungan perdagangan, situasi ekonomi dan budaya neokolonialis, kadang-kadang sama kejamnya dengan kolonialisme kuno di bidang politik. Gereja, seperti yang dikatakan berulang kali oleh para Uskup, mempunyai kewajiban untuk mewartakan pembebasan jutaan umat manusia, kebanyakan dari mereka itu adalah anak-anaknya sendiri. Gereja mempunyai tugas membantu lahirnya pembebasan ini, untuk memberi kesaksian mengenai hal itu, untuk menjamin bahwa hal tadi lengkap. Semua hal ini bukanlah sesuatu yang asing bagi evangelisasi.

Yang perlu dihubungkan dengan kemajuan umat manusia

31. Antara evangelisasi dan kemajuan manusia–perkembangan dan pembebasan sesungguhnya ada ikatan yang mendalam. Hal ini mencakup ikatan atau hubungan dalam bidang antropologis, karena manusia yang harus diberi pewartaan Injil bukan sesuatu yang abstrak tapi dipengaruhi oleh persoalan-persoalan sosial dan ekonomi. Juga termasuk hubungan dalam bidang teologis, sebab tak dapat dipisahkan bidang penciptaan dari bidang penebusan. Penebusan menyentuh situasi yang sangat konkret dari ketidakadilan yang harus diperangi dan keadilan yang harus dipulihkan. Evangelisasi dan kemajuan juga mencakup hubungan-hubungan yang sangat erat dengan perintah Injil, yaitu cinta kasih. Bagaimanakah sesungguhnya orang dapat mewartakan perintah baru tanpa mengusahakan kemajuan umat manusia dalam keadilan dan perdamaian sehingga kemajuan tadi bersifat benar dan otentik? Kami sendiri telah berusaha untuk menunjukan hal ini, dengan mengingatkan bahwa tak mungkinlah menerima “bahwa di dalam evangelisasi seseorang dapat atau akan mengingkari pentingnya soal-soal yang begitu banyak dibicarakan pada zaman sekarang ini, mengenai keadilan, pembebasan, perkembangan dan perdamaian dunia. Sebab berarti melupakan ajaran yang datang kepada kita dari Injil mengenai kasih kepada sesama yang menderita dan kekurangan”.[61]

Suara-suara yang sama, yang selama Sinode menyentuh tema yang hangat ini penuh semangat, pengertian dan keberanian telah melengkapinya dengan prinsip-prinsip yang menjelaskan untuk memahami dengan lebih baik perlunya dan makna yang lebih mendalam dari kebebasan, seperti yang diwartakan dan dicapai oleh Yesus dari Nazaret dan seperti yang diajarkan oleh Gereja. Hal tadi sangat menggembirakan kami.

Tanpa mengurangi atau mengaburkannya

32. Kita tak boleh mengingkari kenyataan bahwa banyak orang, bahkan orang-orang kristen yang dermawan yang peka terhadap persoalan-persoalan dramatis yang terkandung dalam persoalan pembebasan, di dalam keinginan mereka untuk melibatkan Gereja dalam usaha pembebasan kerap kali tergoda untuk mempekecil perutusan Gereja hanya kepada dimensi-dimensi yang berasal dari suatu proyek yang semata-mata bersifat duniawi. Mereka mengurangi tujuan-tujuan Gereja hanya kepada suatu tujuan yang berpusat pada manusia belaka. Penebusan, yang diwartakan oleh Gereja, dipersempit hanya menjadi suatu kesejahteraan material belaka. Kegiatan Gereja, yang mengabaikan semua kepentingan rohani dan religius, akan merupakan langkah pertama di bidang politik atau sosial. Jika demikianlah yang terjadi, maka Gereja akan kehilangan maknanya yang fundamental. Pesan Gereja mengenai pembebasan tidak akan lagi mempunyai orisinalitas dan dengan sangat mudah akan terbuka monopoli dan manipulasi oleh sistem-sistem ideologi dan partai-partai politik. Gereja tidak akan lagi mempunyai kewibawaan untuk mewartakan kebebasan atan nama Allah. Itulah sebabnya kami ingin menekankan, dengan sapaan yang sama seperti pada pembukaan sinode, “perlunya menyatakan kembali dengan jelas tujuan yang khas keagamaan dari evangelisasi. Hal ini akan kehilangan alasannya untuk ada jika evangelisasi menyimpang dari poros keagamaan yang menuntutnya: Kerajaan Allah, di atas segala hal lainnya, dalam arti teologis yang sepenuh-penuhnya…”[62]

Pembebasan menurut Injil

33. Sehubungan dengan pembebasan yang diwartakan oleh Injil dan dicoba untuk dilaksanakan di dalam praktik, seharusnya dirumuskan demikian ini:

- Pembebasan tersebut tidak boleh dibatasi hanya pada dimensi yang semata-mata dan secara terbatas bersifat ekonomis, politis dan sosial atau hidup budaya. Pembebasan harus mencakup seluruh manusia, dalam segala seginya, selaras dan termasuk keterbukaannya terhadap yang mutlak, bahkan terhadap Yang Ilahi Yang Mutlak;

- Karena itu pembebasan terikat pada suatu konsep tertentu tentang manusia, terhadap suatu pandangan tentang manusia yang tak pernah boleh dikorbankan demi keperluan strategi manapun, kebiasaan atau efisiensi yang berjangka pendek.

Yang berpusat pada Kerajaan Allah

34. Oleh karena itu, bila mewartakan pembebasan dan menggabungkan diri dengan mereka yang bekerja dan menderita untuk pembebasan, Gereja tentu saja tidak mau membatasi perutusannya hanya di bidang keagamaan dan memisahkan diri dari persoalan-persoalan duniawi manusia. Meskipun begitu, Gereja menegaskan kembali bahwa dia harus lebih mengutamakan panggilan rohaninya dan menolak untuk mengganti pewartaan Kerajaan Allah dengan pewartaan mengenai bentuk-bentuk pembebasan manusiawi. Gereja bahkan menegaskan bahwa sumbangannya bagi pembebasan tidaklah lengkap bila ia mengabaikan pewartaan penebusan dalam Yesus Kristus.

Berdasar pada suatu konsep Injil tentang manusia

35. Gereja menghubungkan pembebasan manusia dan penebusan dalam Yesus Kristus, tapi Gereja tidak pernah menyamakan penebusan dengan pembebasan. Karena Gereja tahu melalui perwahyuan, pengalaman sejarah dan refleksi iman bahwa tidak setiap gagasan tentang pembebasan sesuai dan cocok dengan pandangan injili tentang manusia, tentang barang-barang dan peristiwa-peristiwa. Gereja juga tahu bahwa agar supaya Kerajaan Allah datang tidak cukuplah hanya mengadakan pembebasan dan menciptakan kemakmuran dan perkembangan.

Dan lagi pula, Gereja punya keyakinan yang teguh bahwa semua pembebasan duniawi, semua pembebasan politik, meskipun diusahakan untuk mencari pembenarannya dalam halaman ini atau itu dari perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, meskipun dinyatakan sebagai dasar ideologisnya dan norma-norma tindakananya data-data dan kesimpulan teologis, dalam dirinya mengandung benih yang menyangkal dirinya dan gagal untuk mencapai ideal yang dikemukakannya. Ini akan terjadi bila motifnya yang terdalam bukanlah berasal dari keadilan dalam cinta kasih, bila semangatnya tidak mempunyai dimensi yang sungguh-sungguh rohaniah dan bilamana tujuan terakhirnya bukanlah penebusan dan kebahagiaan di dalam Allah.

Melibatkan suatu pertobatan yang mutlak diperlukan

36. Gereja berpendapat tak diragukan lagi pentingnya membangun struktur-struktur yang lebih manusiawi, lebih adil, lebih menghormati hak-hak pribadi dan tidak begitu menekankan dan tidak begitu memperbudak. Tapi Gereja sadar bahwa struktur-struktur yang terbaik dan sistem-sistem yang paling ideal dengan cepat akan menjadi manusiawi bila kecenderungan-kecenderungan yang kurang manusiawi dari hati manusia tidak disehatkan, jika mereka yang hidup dalam struktur-struktur ini atau mengaturnya tidak mengalamai pertobatan hati dan pandangan.

Tidak menggunakan kekerasan

37. Gereja tidak dapat menerima kekerasan, lebih-lebih kekuatan senjata, yang tidak dapat dikontrol sekali hal ini dibiarkan longgar. Gereja juga tidak dapat menerima kematian yang tanpa pandang bulu sebagai jalan menuju pembebasan, sebab Gereja tahu bahwa kekerasan selalu membangkitkan kekerasan dan tak dapat dihindari lagi akan melahirkan bentuk-bentuk baru penindasan dan perbudakan yang kerap kali berat untuk ditanggung dari pada penindasan dan perbudakan yang mereka nyatakan dibebaskan. Kami menyatakan hal ini dengan jelas dalam perjalanan kami ke Kolumbia: “Kami mendorong kamu untuk tidak menaruh kepercayaan pada kekerasan dan revolusi. Hal ini bertentangan dengan semangat kristiani, dan juga dapat menunda, bukannya memajukan kenaikan tingkat sosial yang dengan sah kamu dambakan.”[63] “Kami harus mengatakan dan menegaskan kembali bahwa kekerasan tidak sesuai dengan Injil, bahwa kekerasan bukanlah sesuatu yang bersifat kristiani. Bahwa perubahan-perubahan struktur yang mendadak atau berdasarkan kekerasan adalah suatu yang menipu, tidak efektif, dan tentu saja tidak sesuai dengan martabat manusia.”[64]

Sumbangan yang khas dari Gereja

38. Setelah mengatakan hal ini, kami bergembira bahwa Gereja menjadi semakin sadar akan caranya sendiri dan sarana-sarana yang khas injili yang dimiliki, untuk bekerja sama dalam membebaskan banyak orang. Dan apakah yang dilakukannya? Gereja berusaha untuk semakin dorong sejumlah besar orang kristen untuk membaktikan diri bagi pembebasan manusia-manusia. Gereja melengkapi “pembebas-pembebas” kristen ini dengan inspirasi-inspirasi iman, motivasi kasih persaudaraan, suatu ajaran sosial Gereja yang harus diketahui oleh orang kristen sejati dan yang harus dijadikannya dasar kebijaksanaannya dan pengalamannya untuk menerjemahkannya secara konkret dalam bentuk-bentuk kegiatan, partisipasi dan keterlibatan. Semua hal ini harus memberi corak khusus pada semangat seorang kristen yang terlibat, tanpa dikacaukan oleh sikap-sikap taktis atau karena ingin mengabdi suatu sistem politik. Gereja selalu berusaha untuk memasukkan perjuangan kristen bagi pembebasan di dalam rencana penebusan yang universal yang diwartakan sendiri oleh Gereja.

Apakah yang baru saja kami kemukakan muncul lebih dari sekali di dalam debat-debat Sinode. Sesungguhnya untuk tema ini kami telah menyampaikan beberapa kata penjelasan di dalam sambutan kami kepada para Bapa Sinode pada akhir sidang.[65]

Diharapkan bahwa segala pertimbangan ini akan membantu untuk menghilangkan kekaburan yang kerap kali muncul dari kata-kata “pembebasan” dalam ideologi-ideologi, sistem-sistem politik atau kelompok-kelompok. Pembebasan yang diwartakan oleh evangelisasi dan disiapkannya adalah pembebasan yang diwartakan oleh Kristus sendiri dan diberikan-Nya kepada manusia dengan pengorbanan-Nya.

Kebebasan agama

39. Perlunya menjamin hak-hak azasi yang fundamental tidak dapat dipisahkan dari pembebasan yang benar, yang berhubungan erat dengan evangelisasi dan yang berusaha untuk membuat struktur-struktur yang menjamin kebebasan manusia. Di antara hak-hak manusiawi yang fundamental ini, kebebasan agama menduduki tempat yang utama. Kami baru-baru ini bicara tentang relevansinya hal ini, seraya menekankan “bagaimanakah dewasa ini masih banyak orang kristen, justru karena mereka orang-orang kristen, karena mereka orang-orang Katolik, hidup tertekan oleh pengejaran sistematis. Drama kesetiaan kepada Kristus dan kebebasan agama berlangsung terus, meskipun diselubungi dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendukung hal-hak pribadi dan hidup di dalam masyarakat.”[66]


BAB IV
METODE-METODE EVANGELISASI

Mencari sarana-sarana yang cocok

40. Pentingnya isi evangelisasi yang jelas yang tidak boleh menyebabkan kita lalu mengabaikan pentingnya cara-cara dan sarana-sarana untuk menyampaikannya.

Persoalan “bagaimanakah melakukan evangelisasi” tetap selalu relevan, karena metode-metode evangelisasi bermacam-macam, sesuai dengan situasi waktu yang berbeda-beda, situasi tempat dan budaya, dan karena itu menimbulkan tantangan tertentu terhadap kemampuan kita untuk menemukannya dan mengadaptasikannya.

Secara khusus pada kitalah, sebagai Gembala-gembala Gereja, terletak tanggung jawab untuk mencari bentuk sarana-sarana yang paling sesuai dengan efektif untuk menyampaikan pesan Injil kepada para pria dan wanita zaman sekarang. Usaha ini hendaknya dilakukan dengan berani dan bijaksana, namun tetap setia sepenuhnya kepada isi evangelisasi.

Dalam renungan kali ini, cukuplah menyebutkan sejumlah metode yang karena salah satu alasan, secara mendasar sangatlah penting.

Kesaksian hidup

41. Tanpa mengulangi setiap hal yang telah kami sebutkan, maka tepatlah untuk pertama-tama menekankan butir berikut ini: Bagi Gereja sarana utama bagi penginjilan adalah kesaksian hidup Kristen yang otentik, yang diberikan pada Allah dalam suatu persekutuan, yang tak dapat dibinasakan oleh apapun juga, dan sekaligus juga diberikan kepada sesamanya dengan semangat yang tak mengenal batas. Seperti yang belum lama ini kami katakan kepada kelompok kaum hawa, “Manusia modern lebih senang mendengarkan kesaksian daripada para pengajar. Dan bila mereka mendengarkan para pengajar, hal itu disebabkan karena para pengajar tadi merupakan saksi-saksi”[67]. Santo Petrus mengungkapkan hal ini dengan baik ketika ia menyebutkan bahwa teladan yang berasal dari hidup yang terhormat dan murni akan berhasil meyakinkan mereka yang menolak untuk tunduk pada Sabda, kendati hal ini dilakukan tanpa perkataan.[68] Oleh karena itu, pertama-tama melalui tingkah laku dan hidupnya Gereja akan mewartakan Injil kepada dunia. Dengan kata lain, dengan melalui kesaksian berupa kesetiaan kepada Tuhan Yesus, kesaksian berupa kemiskinan dan sikap tidak melekat pada apapun, sikap bebas terhadap para penguasa dunia ini, dengan secara ringkas, kesaksian kesucian.

Suatu khotbah yang hidup

42. Kedua, tak berlebihanlah menekankan perlunya dan pentingnya khotbah. “Dan bagaimanakah mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia? Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?... Jadi iman muncul dari apa yang didengar dan apa yang didengar muncul dari pewartaan tentang Kristus.”[69] Hukum ini yang sekali diletakkan oleh Rasul Paulus, tetap berlaku sepenuhnya hingga zaman sekarang ini.

Khotbah, pewartaan dengan memakai kata-kata mengenai suatu pesan, selalu harus ada. Kita semua menyadari benar-benar bahwa manusia modern sudah jenuh dengan omongan. Dia kelihatannya bosan mendengarkan, dan yang lebih jelek lagi tak tergerak oleh kata-kata. Kita juga menyadari bahwa banyak ahli ilmu jiwa dan para sosiolog mengungkapkan pandangan mereka bahwa manusia modern telah melampaui peradaban kata, yang sekarang ini tidak efektif dan tidak berguna, bahwa sekarang ia hidup dalam peradaban simbol atau lambang. Fakta-fakta ini tentu saja hendaknya mendorong kita untuk menggunakan sarana-saraa modern yang telah dihasilkan oleh peradaban sekarang ini dengan maksud untuk menyampaikan pesan Injil. Usaha-usaha yang sangat positif di dalam bidang ini sesungguhnya telah dilakukan. Mau tak mau kita memuji mereka dan mendorong perkembangannya lebih lanjut. Kebosanan yang ditimbulkan pada zaman sekarang ini oleh begitu banyak omong kosong dan relevansi banyak bentuk komunikasi lainnya tidak mengurangi kekuatan kata-kata yang tetap ada, atau menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadapnya. Kata-kata tetap selalu relevan, lebih-lebih bila membawa kekuatan Allah.[70] Itulah sebabnya aksioma Santo Paulus, “Iman muncul dari apa yang didengar”[71] juga tetap relevan: Sabda yang didengar, menyebabkan orang percaya.

Liturgi Sabda

43. Khotbah yang bertujuan menyampaikan Injil ada macam-macam bentuknya, dan semangat kita akan memberikan inspirasi untuk mencari bentuk-bentuknya, yang hampir tak ada batasnya. Sesungguhnya ada banyak sekali kejadian-kejadian dalam hidup dan situasi-situasi manusiawi yang memberikan kesempatan untuk membuat suatu pernyataan yang bijaksana tapi tajam mengenai apa yang akan dikatakan Tuhan dalam situasi demikian atau situasi yang khusus. Cukuplah mempunyai kepekaan rohani yang sejati untuk membaca pesan Allah dalam peristiwa-peristiwa. Tetapi pada zaman di mana liturgi yang telah diperharui oleh Konsili telah memberikan nilai tambah yang besar kepada Liturgi Sabda, kelirulah untuk tidak melihat dalam homili suatu alat yang penting dan sangat mudah disesuaikan untuk evangelisasi. Tentu saja perlulah diketahui dan digunakan dengan sebaik-baiknya tuntutan-tuntutan dan kemungkinan-kemungkinan dari homili, sehingga dapat dicapai efektivitas pastoral sepenuh-penuhnya. Tapi lebih dari itu semua, perlulah kita yakin akan hal ini dan membaktikan diri bagi homili dengan cinta kasih. Khotbah, yang dimasukkan secara unik dalam perayaan ekaristi, dari mana ia menerima kekuatan dan daya yang khusus, tentu saja mempunyai peranan yang khusus dalam evangelisasi, sejauh khotbah itu mengungkapkan iman yang mendalam dari pelayanan suci dan diresapi dengan cinta kasih. Kaum beriman yang berkumpul sebagai suatu Gereja Paskah, yang merayakan Tuhan yang hadir di tengah-tengah mereka, mengharapkan banyak dari khotbah. Mereka akan memperoleh manfaat yang besar darinya, asalkan khotbah tadi sederhana, jelas, langsung, selaras dengan kebutuhan. Juga khotbah tadi hendaknya secara mendalam bersumber pada ajaran Injil dan setia pada Kuasa Mengajar Gereja. Khotbah hendaknya dijiwai dengan semangat kerasulan yang seimbang, yang muncul dari hakikatnya yang khas, penuh pengharapan, menunjang iman, menghasilkan kedamaian dan kesatuan. Banyak jemaat paroki atau kelompok-kelompok lainnya yang hidup dan dipersatukan berkat khotbah pada hari Minggu, asalkan khotbah tersebut mempunyai sifat-sifat seperti yang sudah disebutkan tadi.

Baik pula kami tambahkan, bahwa berkat pembaharuan liturgi yang sama, perayaan Ekaristi bukanlah merupakan satu-satunya kesempatan yang tepat untuk mengadakan homili. Homili mempunyai tempat dan tidak boleh diabaikan dalam perayaan semua sakramen-sakramen, di dalam “para-liturgi”, dan dalam pertemuan-pertemuan kaum beriman. Selalu akan ada kesempatan khusus untuk menyampaikan Sabda Tuhan.

Katekese

44. Salah satu sarana evangelisasi yang tidak boleh diabaikan ialah pengajaran katekese. Kecerdasan seseorang, lebih-lebih milik anak-anak dan kaum remaja, perlu dikembangkan melalui pelajaran agama yang sistematis. Perlu dipelajari ajaran-ajaran pokok, isi yang hidup dari kebenaran yang ingin disampaikan oleh Gereja untuk diungkapkan secara lebih kaya, selama perjalanan sejarah yang cukup panjang dari Gereja. Tak seorangpun yang akan menolak bahwa pelajaran ini perlu diberikan untuk membentuk pola-pola hidup kristen dan bukan hanya tetap tinggal berupa pengetahuan belaka. Sesungguhnya usaha untuk melakukan evangelisasi akan mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya bila. Mereka yang memberikan pelajaran katekese mempunyai teks-teks yang cocok, disesuaikan dengan bijaksana dan dengan keahlian, di bawah kewibawaan para Uskup. Hal ini hendaknya dilakukan dalam pengajaran katekese yang diberikan di gereja, di sekolah-sekolah, bila itu mungkin, dan juga tiap-tiap keluarga kristen. Metode-metode yang digunakan harus sesuai dengan usia, kebudayaan dan sikap pribadi-pribadi yang bersangkutan. Haruslah selalu diusahakan agar di dalam ingatan, pikiran dan hati mereka dapat tertanam kebenaran-kebenaran hakiki yang harus meresapi seluruh hidup mereka. Lebih-lebih yang diperlukan ialah menyiapkan pengajar-pengajar yang baik–katekis-katekis paroki, para guru, orang tua–yang berhasrat menyempurnakan diri mereka dalam seni yang luhur ini, yang memerlukan sekali dan membutuhkan pelajaran agama. Di samping itu pula, tanpa mengabaikan pendidikan anak-anak kecil, kita tahu bahwa keadaan zaman sekarang menyebabkan semakin mendesaknya lagi pelajaran katekese, dalam bentuk katekumenat, untuk begitu banyak kaum muda dan orang-orang dewasa. Tersentuh oleh rahmat, perlahan-lahan mereka menemukan wajah Kristus dan merasakan perlunya memberikan diri mereka kepada-Nya.

Menggunakan media massa

45. Abad kita ditandai dengan media massa atau sarana-sarana komunikasi sosial, dan pewartaan yang pertama, katekese atau pendalaman iman lebih lanjut tak dapat dilakukan tanpa menggunakan media-media ini, seperti yang telah kami tekankan. Bila alat-alat ini digunakan untuk melayani Injil, alat-alat tadi dapat memperluas wilayah di mana Sabda Allah dapat didengar, hampir tanpa batas. Juga alat-alat tadi dapat menyebabkan Kabar Baik menjangkau jutaan manusia. Gereja akan merasa bersalah di hadirat Tuhan jika ia tidak memanfaatkan sarana-sarana yang ampuh ini, yang dari hari ke hari semakin disempurnakan oleh keterampilan manusia. Melalui alat-alat tadi Gereja mewartakan “dari atas atap-atap rumah”[72] pesan yang diserahkan kepada Gereja untuk dijaga. Di dalam alat-alat tadi Gereja menemukan penjabaran secara modern dan efektif mimbar. Berkat alat-alat ini Gereja berhasil berbicara kepada banyak orang.

Meskipun begitu pemakaian alat-alat komunikasi sosial untuk evangalisasi menimbulkan suatu tantangan. Melalui alat-alat tadi pesan Injil akan menjangkau sejumlah besar orang, tapi dengan kemampuan menembus hati nurani setiap individu, menanamkan dalam hatinya seolah-olah dia sendirilah satu-satunya orang yang disapa, dengan segala sifat-sifatnya yang paling individu dan pribadi, dan membangkitkan ketaatan dan keterlibatan pribadi.

Kontak pribadi yang tak dapat tidak harus ada

46. Oleh karena alasan inilah, maka berdampingan atau di samping pewartaan Injil yang bersifat kolektif, bentuk penyampaian yang lain, dari pribadi ke pribadi, tetap sah dan penting. Tuhan kerap kali menggunakan hal itu (misalnya dengan Nikodemus, Zakeus, wanita Samaria, Simon orang Farisi), dan demikian pula yang dilakukan oleh para Rasul. Dalam jangka jauh, masih adakah jalan lain untuk menyampaikan Injil daripada menyampaikan kepada orang lain pengalaman iman seseorang? Tak bolehlah terjadi bahwa kebutuhan yang mendesak untuk mewartakan Kabar Baik kepada banyak orang akan menyebabkan kita melalaikan bentuk pewartaan ini, di mana suara hati pribadi seseorang dijangkau dan disentuh oleh perkataan yang sepenuhnya unik, yang diterimanya dari sesorang lain. Kita tidak akan pernah dapat memuji dengan secukupnya para imam yang melalui sakramen pengakuan dosa atau melalui percakapan pastoral, memperlihatkan kesediaan mereka untuk membimbing umat seturut cara-cara Injil. Mereka membantu umat di dalam usaha-usahanya, membangkitkan umat bila mereka jatuh, dan selalu membantu umat dengan kemampuan untuk membeda-bedakan dan kesediaan untuk menolong.

Peranan Sakramen-sakramen

47. Namun tidak pernahlah cukup hanya menekankan bahwa evangelisasi tidak hanya terdiri dari khotbah dan mengajarkan suatu doktrin. Karena evangelisasi harus menyentuh kehidupan: kehidupan kodrati, yang diberi suatu arti yang baru, berkat perspektif-perspektif Injil yang diwahyukannya. Hidup adikodrati, bukan merupakan penyangkalan tapi pemurnian dan pengangkatan hidup kodrati.

Hidup adikodrati ini menemukan ungkapannya yang hidup dalam tujuh sakramen dan di dalam pancaran rahmat yang mengagumkan dan kesucian yang dimiliki sakramen-sakramen.

Demikianlah evangelisasi melaksanakan kemampuannya sepenuh-penuhnya bila menghasilkan hubungan yang amat akrab atau lebih baik suatu komunikasi timbal-balik dan tetap, antara Sabda dan sakramen-sakramen. Dalam arti tertentu kelirulah mempertentangkan antara evangelisasi dan penerimaan sakramen-sakramen, seperti yang kadang-kadang terjadi. Memang betullah bahwa cara tertentu dalam melayani sakramen-sakramen, tanpa dukungan yang kuat dari katekese mengenai sakramen-sakramen dan suatu katekese yang global, dapat berakhir dengan merampas dari umat efektivitas, penerimaan sakramen-sakramen. Peranan evangelisasi justru mendidik orang-orang di dalam iman sedemikian rupa, sehingga membimbing tiap-tiap individu kristen untuk menghayati Sakramen-sakramen sebagai sakramen-sakramen iman–dan bukannya untuk menerima sakramen-sakramen secara pasif tapi untuk berpatisipasi di dalam penerimaan sakramen-sakramen.

Kesalehan yang merakyat

48. Di sini kita menyentuh salah satu segi evangelisasi yang tak boleh menyebabkan kita tidak peka. Kami ingin bicara mengenai suatu hal yang pada zaman sekarang ini kerapkali disebutlah “religiositas yang merakyat”.

Kita menemukan di antara umat ungkapan-ungkapan khusus dalam mencari Allah dan mencari iman, baik di dalam wilayah-wilayah di mana Gereja telah didirikan selama berabad-abad maupun di daerah di mana Gereja sedang dibangun. Ungkapan-ungkapan ini cukup lama dianggap kurang murni dan kadang-kadang diremehkan, tapi pada zaman sekarang ini, hal ini hampir di mana-mana ditemukan kembali. Selama Sinode tahun 1974 para Uskup mempelajari maknanya dengan semangat dan realisme pastoral yang mengagumkan.

“Religiositas yang merakyat” tentu saja mempunyai batas-batasnya. Kerap kali disusupi oleh banyak penyimpangan dalam agama dan bahkan takhyul. Kerap kali hal ini hanya pada tingkat bentuk-bentuk ibadat, tidak melibatkan penerimaan yang sejati berdasarkan iman. Bahkan bisa menyebabkan timbulnya sekte-sekte dan membahayakan jemaat gerejani yang sejati.

Tetapi bila religiositas tadi diarahkan dengan baik, lebih-lebih dengan pedagogi evangelisasi, kaya dalam nilai-nilai. Religiositas ini menampakkan kehausan terhadap Allah, yang hanya dapat dikenal oleh orang sederhana dan miskin. Ia juga membuat orang-orang mampu bersikap murah dan rela berkorban bahkan bersikap sebagai pahlawan, bila menyangkut soal menampakkan iman. Religiositas yang merakyat juga menyebabkan adanya kesadaran yang tajam terhadap sifat-sifat Allah yang mendalam: Kebapaan, Penyelenggaraan Ilahi, Kasih dan Kehadiran-Nya yang terus menerus. Juga hal itu melahirkan sikap-sikap batin, yang jarang-jarang nampak di tempat yang lain, dalam kadar atau tingkat yang sama: kesabaran, kesadaran akan adanya Salib dalam hidup sehari-hari, sikap lepas bebas, keterbukaan terhadap orang lain, devosi. Oleh karena segi-segi tadi, maka kami dengan senang hati menyebutnya “kesalehan yang merakyat” yaitu agama rakyat, umat, dan bukannya religiositas, perasaan keagamaan.

Cinta kasih pastoral haruslah menjadi pegangan semua orang, yang oleh Tuhan telah diangkat menjadi pemimpin-pemimpin jemaat-jemaat gerejani agar mempunyai sikap yang tepat dalam menghadapi kenyataan ini, yang begitu kaya namun juga begitu mudah tercemari. Lebih-lebih kita harus peka terhadapnya, tahu bagaimanakah menangkap dimensi-dimensinya yang mendalam dan nilai-nilainya yang tak dapat disangkal, bersedia membantunya untuk mengatasi bahaya-bahaya penyelewengan. Bila kesalehan yang merakyat tadi diarahkan dengan baik, maka dapat semakin merupakan suatu pertemuan yang sejati Allah dalam Yesus Kristus bagi kebanyakan umat kita.


BAB V
ORANG-ORANG YANG MENDAPAT MANFAAT DARI EVANGELISASI

Ditujukan kepada setiap orang

49. Kata-kata Yesus yang terakhir dalam Injil Santo Markus memberikan sifat universal yang tanpa batas terhadap evangelisasi yang diserahkan oleh Tuhan kepada para Rasul-Nya: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk”.[73] Kedua Belas Rasul dan generasi pertama orang-orang kristen memahami dengan baik-baik pelajaran dari teks ini dan teks-teks lain yang serupa. Teks-teks tadi mereka jadikan program kegiatan mereka. Bahkan pengejaran, yang menceraiberaikan para Rasul, membantu meluaskan Sabda dan membangun Gereja di wilayah-wilayah yang lebih jauh. Diterimanya Paulus ke dalam kalangan para Rasul, membantu meluaskan Sabda dan membangun Gereja di wilayah-wilayah yang lebih jauh. Diterimanya Paulus ke dalam kalangan para Rasul dan karismanya untuk berkhotbah kepada orang-orang kafir (yang bukan Yahudi) mengenai kedatangan Kristus masih lebih menggarisbawahi sifat universal tadi.

Meskipun adanya semua rintangan

50. Di dalam perjalanan sejarah selama duapuluh abad, generasi-generasi umat kristen telah secara periodik menghadapi macam-macam rintangan untuk melakukan perutusannya yang universal ini. Di satu pihak, pada para penginjil sendiri, ada selalu godaan, dengan bermacam-macam alasan untuk menyempitkan medan kegiatan misioner mereka. Di lain pihak kerap kali ada perlawanan yang tak mungkin diatasi, yang berasal dari orang-orang dan ditujukan kepada para penginjil. Lebih jauh lagi kita harus mencatat dengan sedih hati bahwa karya evangelisasi dari Gereja dengan cukup kuat ditentang, jika tidak dilarang, oleh para penguasa umum tertentu. Bahkan pada zaman sekarang ini terjadilah bahwa para pengkhotbah Sabda Allah dirampas hak-haknya, dikejar-kejar, diancam atau diusir, hanya semata-mata karena mewartakan injil Yesus Kristus dan Injil-Nya. Tapi kami percaya bahwa kendati ada cobaan-cobaan yang menyedihkan ini, kegiatan para rasul tadi tidak akan pernah mengalami kegagalan yang menentukan di bagian mana pun.

Kendati ada perlawanan-perlawanan semacam ini Gereja terus menerus memperbaharui inspirasinya yang terdalam, yang datang kepada Gereja langsung dari Tuhan: ke seluruh dunia. Kepada segala mahkluk. Sampai ke ujung-ujung bumi! Gereja melakukan hal itu sekali lagi pada Sinode terakhir, sebagai suatu seruan untuk tidak membelenggu pewartaan Injil dengan membatasinya pada salah satu corak kebudayaan. Beberapa contoh dapat menjelaskan hal ini.

Pewartaan yang pertama kepada mereka yang jauh

51. Mempermaklumkan Yesus Kristus dan Injil-Nya kepada mereka yang belum mengenal-Nya, sejak pagi Pentakosta, merupakan program pokok yang oleh Gereja dianggap diterimanya dari pendirinya. Seluruh Perjanjian Baru, dan secara khusus Kisah Para Rasul, memberikan kesaksian mengenai saat yang khusus dan dalam arti tertentu merupakan saat yang patut dicontoh dalam usaha misioner, yang kemudian hari akan meninggalkan bekasnya pada keseluruhan sejarah Gereja.

Gereja melakukan pewartaan mengenai Yesus yang pertama kali dengan suatu kegiatan yang kompleks dan beraneka macam, yang kadang-kadang disebut dengan istilah “pre-evangelisasi”. Tapi sebenarnya, meskipun baru dalam tahap awal dan belum lengkap, sederetan sarana-sarana yang hampir tanpa batas dapat digunakan untuk maksud ini: khotbah yang eksplisit, tentu saja, tetapi juga karya seni, pendekatan ilmiah, riset filosofis dan menggunakan secara sah perasaan-perasaan hati manusia.

Pewartaan yang diperbaharui kepada suatu dunia yang tidak Kristen lagi

52. Pewartaan pertama-tama ditujukan lebih-lebih kepada mereka yang tidak pernah mendengar Kabar Baik Yesus, atau kepada anak-anak. Tetapi sebagai salah satu akibat dari situasi yang acapkali karena dekristianisasi pada zaman sekarang ini, ternyata sama juga perlunya bagi banyak orang yang telah dibaptis tapi hidup di luar kehidupan kristen. Juga diperlukan untuk orang-orang sederhana yang tentu mempunyai iman namun pengetahuan yang tidak sempurna mengenai dasar iman. Dibutuhkan kaum intelektual yang merasa perlu mengetahui Yesus Kristus dalam suatu cahaya yang berbeda dengan pengajaran yang mereka terima ketika mereka masih kanak-kanak, dan juga bagi banyak orang lainnya.

Agama-agama bukan Kristen

53. Pewartaan juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan kristen. Gereja menghormati dan menghargai agama-agama nonkristen sebab merupakan ungkapan hidup dari jiwa kelompok besar umat manusia. Agama-agama tadi mengandung gema usaha mencari Allah selama ribuan tahun, suatu usaha mencari yang tidak pernah lengkap tapi kerap kali dilakukan dengan ketulusan yang besar dan kelurusan hati. Agama-agama bukan kristen tadi juga menyimpan suatu harta warisan yang sangat mengagumkan yang terdiri dari teks-teks keagamaan yang mendalam. Juga agama-agama tadi telah mengajar generasi-generasi umat manusia bagaimanakah berdoa. Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan “benih-benih Sabda”[74] yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu “persiapan bagi Injil”[75] yang benar, demikianlah kutipan dari istilah yang digunakan oleh Konsili Vatikan Kedua dan yang dipinjam dari Eusebius dari Caesarea.

Situasi semacam ini tentu saja akan menimbulkan persoalan-persoalan kompleks dan penting, yang harus dipelajari dalam cahaya tradisi kristen dan Kuasa Mengajar Gereja, untuk memberikan kepada para misionaris baik yang berasal dari masa kini maupun masa mendatang cakrawala-cakrawala baru dalam kontak-kontak mereka dengan agama-agama bukan kristen. Kami mau menunjukan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi. Demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan kristen. Sebaliknya, Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misterius Kristus.[76] Kekayaan dalam mana seluruh umat manusia dapat menemukan, secara penuh dan tak dapat diragu-ragukan lagi, setiap hal yang secara meraba-raba mereka cari-cari, hal yang berkaitan dengan Allah, manusia dan tujuannya, hidup dan mati, dan kebenaran. Bahkan berhadapan dengan ungkapan-ungkapan keagamaan alami, yang patut dihormati, Gereja menemukan dukungan dalam kenyataan bahwa agama Yesus, diwartakan oleh Gereja melalui evangelisasi, secara objektif menempatkan manusia dalam hubungan dengan rencana Allah, dengan kehadiran-Nya yang hidup dan dengan tindakan-Nya. Demikianlah Gereja menyebabkan suatu pertemuan dengan misteri Kebapaan Ilahi, yang berpaling pada umat manusia. Dengan kata lain agama kita secara efektif membina hubungan yang otentik dan hidup dengan Allah, yang tidak berhasil dilakukan oleh agama-agama lain, meskipun mereka telah membentangkan lengan-lengan mereka ke arah surga.

Itulah sebabnya Gereja tetap memelihara semangat misionernya tetap hidup, bahkan ingin mengintensifkannya dalam saat sejarah di mana kita hidup. Gereja merasa bertanggung jawab terhadap seluruh orang. Gereja tidak akan beristrahat sebelum dia melakukan tugasnya sebaik-baiknya untuk mewartakan Kabar Baik dari Yesus Penebus. Gereja selalu menyiapkan generasi baru rasul-rasul. Marilah kita beritahukan kenyataan ini dengan sukacita pada saat di mana banyak orang yang berpikir bahkan mengatakan bahwa gairah dan semangat kerasulan sudah habis, dan bahwa zaman misi telah lewat. Sinode telah menjawab bahwa pewartaan misioner tidak pernah berhenti dan bahwa Gereja selalu akan berusaha untuk memenuhi pewartaan ini.

Dukungan untuk iman kaum beriman

54. Kendati begitu, Gereja tidak merasa dirinya terbebas dari kewajiban untuk juga memberikan perhatian secukupnya kepada mereka yang telah menerima iman dan telah berkenalan dengan Injil, kerap kali sudah selama beberapa generasi. Maka Gereja berusaha untuk memperdalam, memperkokoh, memupuk dan membuat semakin matang iman mereka yang telah disebut kaum beriman atau orang-orang yang percaya, agar supaya mereka menjadi semakin lebih beriman lagi.

Iman tadi pada zaman sekarang ini seolah-olah tak terlindungi menghadapi sekularisme, juga terhadap ateisme yang militan. Iman yang selalu menghadapi cobaan-cobaan dan tantangan-tantangan, dan lebih-lebih lagi iman yang terkepung dan secara gigih ditentang orang-orang. Ada risiko bahwa iman tersebut akan lenyap karena tercekik atau karena kelaparan, bila tidak cukup dipupuk dan didukung setiap hari. Evangelisasi berarti kerap kali memberi “makanan” yang cukup dan bekal yang diperlukan oleh iman kaum beriman, lebih-lebih melalui suatu katekese yang penuh dengan vitalitas Injili dan diberikan dengan suatu bahasa yang cocok dengan orang-orang dan situasi.

Gereja juga punya keprihatinan yang sungguh-sungguh terhadap orang-orang kristen yang tidak ada dalam persatuan yang penuh dengan Gereja. Seraya mempersiapkan bersama dengan mereka kesatuan yang dikehendaki oleh Kristus, dan justru untuk merealisir kesatuan ini dalam kebenaran, Gereja sadar bahwa dia mengabaikan tugasnya yang penting bila Gereja tidak memberikan kesaksian kepada orang-orang kristen tadi kepenuhan wahyu yang dijaga oleh Gereja.

Orang-orang yang tidak percaya

55. Juga patut dicatat perhatian Sinode tahun 1974 terhadap dua suasana yang sangat berbeda, tapi yang sekaligus juga sangat dekat oleh karena tantangan yang mereka timbulkan terhadap evangelisasi, masing-masing dengan cara tersendiri.

Suasana yang pertama ialah yang dapat disebut semakin meningkatkan ketidakpercayaan dalam dunia modern ini. Sinode mencoba menggambarkan dunia modern ini demikian: Betapa banyaknya aliran pikiran, nilai-nilai dan nilai-nilai tandingan, aspirasi-aspirasi tersembunyi atau benih-benih kebinasaan, keyakinan lama yang musnah dan keyakinan-keyakinan baru yang muncul, yang disebut dengan nama umum tadi.

Dari segi pandangan rohani, dunia modern seolah-olah semakin tenggelam dalam suatu keadaan yang oleh seorang pengarang modern disebut dengan istilah “drama humanisme ateis”.[77]

Di lain pihak, orang terpaksa mencatat bahwa justru di dalam inti dari dunia modern ini fenomena yang mempunyai ciri yang sangat mencolok: sekularisme. Kami tidak bicara mengenai sekularisasi, yang pada dasarnya merupakan suatu usaha yang layak dan sah dan dapat diselaraskan dengan iman atau agama. Sekularisme adalah usaha untuk menemukan di dalam ciptaan, di dalam tiap hal atau tiap kejadian dalam semesta alam, bukan hukum-hukum yang mengaturnya dengan otonomi tertentu, tapi dengan keyakinan batin bahwa Sang Pencipta telah meletakkan hukum-hukum ini di sana. Konsili yang lalu dalam arti ini meneguhkan otonomi yang sah dari kebudayaan dan lebih-lebih otonomi ilmu pengetahuan.[78] Di sini kami berpikir tentang sekularisme sejati: suatu konsep tentang dunia, di mana dikatakan bahwa dunia dapat menerangkan dirinya sendiri, tidak membutuhkan Allah, yang dianggap berlebihan dan merupakan suatu penghalang. Sekularisme semacam ini untuk mengakui kekuatan manusia, menyingkirkan Allah, bahkan menyangkal-Nya.

Bentuk-bentuk ateisme yang baru agaknya muncul darinya: Ateisme yang berpusat pada manusia, tidak lagi abstrak dan metafisik tapi pragmatis, sistematis dan militan. Bersamaan dengan sekularisme yang ateis ini, setiap hari, dengan bentuk yang bermacam-macam, kita berhadapan dengan suatu masyarakat yang konsumtif di mana mengejar kenikmatan merupakan suatu nilai tertinggi, begitu pula keinginan untuk berkuasa dan mendominasi, dan diskriminasi dalam segala bentuk: kecenderungan-kecenderungan yang kurang manusiawi dalam “humanisme” ini.

Di lain pihak, dan ini merupakan suatu yang paradoks, dalam dunia modern yang sama, tak dapat disangkal adanya batu pijak yang nyata bagi agama kristen dan juga nilai-nilai injili, sekurang-kurangnya dalam bentuk perasaan kosong atau nostalgia. Bukanlah suatu yang berlebih-lebihan untuk mengatakan bahwa muncul suatu daya tarik yang kuat dan tragis untuk diberi evangelisasi.

Orang yang tidak menjalankan agamanya

56. Suasana yang kedua ialah berasal dari mereka yang tidak lagi menjalankan agamanya. Pada zaman sekarang ini sangat besar jumlah orang-orang yang telah dibabtis, yang kebanyakan tidak secara formal menolak baptis mereka, tapi bersikap acuh tak acuh terhadap baptisnya dan hidup tidak selaras dengan baptis yang diterimanya. Gejala adanya orang kristen yang tidak menjalankan agamanya adalah sesuatu yang sangat kuno di dalam sejarah agama kristen. Hal ini merupakan salah satu akibat dari suatu kelemahan yang kodrati, suatu sikap yang bertentangan, yang mendalam, yang sayangnya ada pada kita semua secara mendalam. Namun pada zaman sekarang ini menunjukan ciri-ciri tertentu yang baru. Kerap kali hal tersebut merupakan akibat dari perasaan tersebut dari akarnya, sesuatu yang khas pada zaman kita. Hal tersebut juga muncul dari kenyataan bahwa orang-orang kristen hidup sangat dekat dengan orang-orang tidak beriman dan terus-menerus merasakan akibat-akibat dari ketidakpercayaan. Lebih lanjut, orang-orang kristen yang tidak menjalankan agamanya, pada zaman sekarang lebih dari pada masa-masa sebelumnya, berusaha menerangkan dan mencari pembenaran mengenai keadaan mereka dengan menggunakan dalih atau mengatasnamakan suatu agama yang batiniah, berdasarkan kemerdekaan pribadi atau otentisitas atheis pribadi. Demikianlah kita di satu pihak menghadapi orang-orang atheis dan orang-orang yang tidak beriman, serta di lain pihak, mereka yang tidak menjalankan agamanya. Dan kedua kelompok ini cukup menentang evangelisasi. Perlawanan dari orang-orang ateis dan orang-orang yang tak beriman berupa penolakan tertentu dan ketidakmampuan untuk menangkap tata-nilai baru, arti baru dari dunia ini, dari kehidupan dan sejarah. Hal semacam ini tidak mungkin kalau orang tidak bertitik tolak dari suatu Yang Mutlak Yang Ilahi. Penolakan dari kelompok kedua, yaitu orang-orang yang tidak menjalankan agamanya, berupa sikap lamban dan sikap yang agak bermusuhan, yang berasal dari pribadi yang merasa bahwa dirinya termasuk anggota keluarga, yang menyatakan bahwa mereka mengetahui semuanya dan telah mencoba semuanya, namun tidak mau percaya lagi.

Sekularisme ateis dan sikap tidak mau menjalankan kehidupan agama terdapat di antara orang-orang dewasa dan kaum muda, di antara para pemimpin masyarakat dan di antara orang-orang biasa, pada semua tingkat pendidikan, baik di dalam umat gereja kuno maupun di dalam umat gereja-gereja muda. Kegiatan Gereja dalam evangelisasi tak dapat mengingkari adanya dua “dunia” ini, pun pula tidak boleh berdiam diri bila menghadapinya. Gereja harus terus menerus mencari sarana-sarana yang tepat dan bahasa yang tepat untuk menyajikan, atau menyajikan kembali wahyu Allah dan iman terhadap Yesus Kristus, kepada mereka itu.

Pewartaan kepada orang banyak

57. Seperti Kristus selama dalam masa pewartaan-Nya, pun pula seperti Kedua Belas Rasul pada pagi Pentakosta, Gereja yang melihat di hadapannya sejumlah besar orang-orang yang membutuhkan Injil dan punya hal untuk menerima Injil, karena Allah “yang mengkehendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran”.[79]

Gereja sepenuhnya sadar akan kewajibannya untuk mewartakan keselamatan kepada semua orang. Menyadari bahwa pesan Injil tidak dikhususkan untuk sekelompok kecil orang-orang terpilih tapi dimaksudkan untuk semua orang maka Gereja ikut merasakan kecemasan Kristus menyaksikan kelompok orang banyak yang berkeliaran dan kecapaian “seperti domba-domba tanpa seorang gembala”. Gereja kerap kali mengulangi kata-kata Kristus: “Aku merasa kasihan terhadap semua orang ini”.[80] Tetapi Gereja juga menyadari kenyataan ini bahwa supaya pewartaan injil bisa efektif, Gereja harus menyampaikan pesannya ke hati orang banyak, kepada jemat-jemat kaum beriman, yang kegiatannya dapat dan pasti menjangkau orang-orang lain.

“Komunitas basis” gerejani

58. Sinode tahun 1974 memberi perhatian yang cukup terhadap “jemat-jemat kecil” atau “communautés de base”, sebab hal ini kerap dibicarakan dalam Gereja dewasa ini. Apakah “komunitas basis”, dan mengapakah mereka akan menjadi penerima khusus dari evangelisasi dan sekaligus juga menjadi penginjil-penginjil.

Menurut macam-macam pernyataan yang terdengar dalam Sinode, komunitas-komunitas semacam ini berkembang kurang lebih di seluruh Gereja. Memang mereka sangat berbeda di antara mereka sendiri, baik dalam wilayah yang sama, lebih-lebih antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.

Di beberapa wilayah, komunitas basis ini muncul dan berkembang di dalam Gereja, punya solidaritas dengan hidup Gereja, karena dibekali dengan ajaran Gereja dan bersatu dengan pastor-pastornya. Dalam kasus serupa ini komunitas basis muncul karena kebutuhan untuk menghayati hidup Gereja dengan lebih insentif, atau karena keinginan dan usaha mencari suatu dimensi yang lebih manusiawi, yang sukar didapat dari jemaat-jemaat gerejani yang lebih besar, lebih-lebih di kota-kota modern yang besar yang menyebabkan mereka sendiri hidup di dalam massa dan anonim. Komunitas-komunitas semacam ini, menurut cara mereka sendiri, dapat merupakan suatu perpanjangan pada tingkat spiritual dan religius–ibadat, pendalaman iman, kasih persaudaraan, kontak dengan para pastor–yang terjadi di jemaat yang kecil secara sosiologis, seperti misalnya desa dan lain-lain. Atau maksud mereka mungkin, demi untuk mendengarkan dan merenungkan Sabda Tuhan, menerima Sakramen-sakramen dan ikatan cinta kasih, mengumpulkan kelompok-kelompok orang terikat oleh usia, budaya, status sipil atau situasi sosial: pasangan suami-istri, kaum muda, orang-orang profesional dan lain-lain, orang-orang yang kebetulan sudah dipersatukan dalam perjuangan untuk keadilan, bantuan persaudaraan terhadap kaum miskin, kemajuan manusia. Di dalam situasi-situasi yang lain komunitas-komunitas basis dapat mengumpulkan orang-orang kristen bersama-sama di tempat-tempat di mana karena kekurangan iman, tidak mungkinlah adanya hidup jemaat paroki yang normal. Ini semua diandaikan terjadi di dalam jemaat-jemaat yang dibangun oleh Gereja, lebih-lebih Gereja-gereja setempat dan paroki-paroki.

Di lain pihak, di wilayah-wilayah lain, communautés de base muncul bersamaan dengan suatu semangat untuk mengkritik secara pedas Gereja, yang dengan cepat mereka beri cap sebagai “lembaga”. Terhadap Gereja mereka menempatkan diri secara berlawanan sebagai jemaat-jemaat karismatis, yang bebas dari struktur-struktur dan diberi inspirasi semata-mata oleh Injil. Dengan demikian ciri mereka yang mencolok ialah suatu sikap yang suka mencari-cari kesalahan dan menolak hal-hal yang berhubungan dengan penampakan lahiriah Gereja: hirarki Gereja dan tanda-tandanya. Mereka secara radikal menentang Gereja. Dengan mengikuti garis-garis tadi maka inspirasi pokok mereka dengan sangat cepat menjadi bersifat ideologis, dan jaranglah bahwa mereka tidak dengan cepat jatuh menjadi korban suatu pilihan politis atau suatu aliran pikiran, dan kemudian jatuh pada suatu sistem, bahkan suatu partai, dengan segala risikonya, yaitu menjadi alat mereka.

Perbedaan yang ada sudah jelas kelihatan: komunitas-komunitas yang karena semangat oposisi memisahkan diri mereka dari Gereja dan yang kesatuannya mereka lukai, memang dapat disebut sebagai communautés de base (komunitas basis), tapi dalam kasus semacam ini lebih tepat sebagai suatu istilah sosiologis. Mereka ini tidak dapat disebut communautés de base gerejani, bila orang tidak menyalahgunakan istilah tersebut. Pun pula bila mereka itu menyatakan diri mereka tetap dalam kesatuan dengan Gereja, karena mereka bermusuhan dengan hirarki. Nama ini menjadi milik kelompok-kelompok lain, yakni mereka yang datang bersama dengan Gereja, untuk mempersatukan diri dengan Gereja dan menyebabkan Gereja bertumbuh.

Jemaat-jemaat tadi akan merupakan tempat untuk evangelisasi, bermanfaat untuk jemaat-jemaat yang lebih besar, lebih-lebih Gereja-gereja secara perorangan. Dan seperti yang kami katakan dalam Sinode tahun 1974 mereka merupakan suatu harapan bagi Gereja universal, asalkan atau sejauh:

  • bahwa mereka mencari santapan mereka dalam Sabda Allah dan tidak membiarkan diri mereka dalam Sabda Allah dan tidak membiarkan diri mereka dijerat oleh polarisasi politis atau ideologi-ideologi yang sedang menjadi mode, yang siap untuk mengeksploitasi potensi manusiawi mereka yang besar;
  • bahwa mereka menghindari godaan yang ada sekarang ini untuk secara sistematis mengadakan protes dan sikap yang terlalu kritis, dengan dalih sikap otentik dan semangat mau bekerja sama.
  • bahwa mereka dengan teguh tetap melekat pada gereja lokal di mana mereka masuk menjadi anggotanya, serta Gereja universal. Dengan demikian mereka menghindari bahaya yang sangat riil untuk menjadi terisolir dalam diri mereka sendiri, sehingga kemudian percaya bahwa merekalah yang merupakan satu-satunya Gereja Kristus yang otentik, dan lalu mengutuk jemaat-jemaat gerejani yang lain.
  • bahwa mereka memelihara kesatuan yang tulus dengan para pastor yang oleh Tuhan diberikan kepada Gereja-Nya, dan bersama dengan magisterium, yang oleh Roh Kudus Kristus telah dipercayakan kepada para gembala tadi,
  • bahwa mereka tidak pernah memandang diri mereka sebagai satu-satunya pelaksana evangelisasi–atau malahan sebagai satu-satunya penjaga Injil–tapi karena menyadari bahwa Gereja lebih luas dan lebih beraneka macam, menerima kenyataan bahwa Gereja menjadi menjelma dengan cara-cara lain, daripada melalui mereka sendiri.
  • bahwa mereka terus menerus bertumbuh dalam kesadaran misioner, semangat misioner, keterlibatan dan kerajinan;
  • bahwa mereka memperlihatkan diri mereka bersikap universal dalam segala hal dan tidak pernah bersikap sectarian.

Berdasarkan syarat-syarat tadi, yang tentu saja merupakan tuntutan tapi juga mengangkat, maka communautés de base (komunitas-komunitas basis) akan selaras dengan panggilan mereka yang paling fundamental; sebagai pendengar-pendengar Injil, yang diwartakan kepada mereka dan sebagai orang-orang yang telah menerima evangelisasi secara khusus, kemudian mereka sendiri akan juga menjadi pewarta-pewarta Injil.


BAB VI
PEKERJA-PEKERJA UNTUK EVANGELISASI

Gereja dalam keseluruhannya bersifat misioner

59. Jika orang-orang di dunia ini mewartakan Injil keselamatan, mereka berbuat demikian berdasarkan perintah, atas nama dan dengan rahmat Kristus Penebus. “Mereka tidak pernah akan mempunyai seorang pewarta bila tidak ada yang diutus”[81], demikianlah ditulis oleh seseorang yang tak dapat diragukan lagi merupakan salah seorang penginjil yang terbesar. Tak seorang pun dapat melakukan hal itu bila tidak diutus.

Tapi siapakah yang mempunyai perutusan untuk mewartakan Injil?

Konsili Vatikan Kedua memberikan suatu jawaban yang jelas mengenai persoalan ini: Hal ini merupakan tugas Gereja agar supaya “berdasarkan perintah ilahi, tetap ada kewajiban untuk pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada segala makhluk”[82]. Dan dalam teks yang lain: “…seluruh Gereja adalah misioner, dan karya evangelisasi merupakan salah satu tugas mendasar dari Umat Allah”.[83]

Kami telah menunjukkan hubungan yang erat antara Gereja dengan evangelisasi. Seraya Gereja mewartakan Kerajaan Allah dan membangunnya, Gereja membangun dirinya di tengah-tengah dunia sebagai tanda dan alat kerajaan ini yang sudah ada dan yang akan datang. Konsili mengulangi ungkapan dari St. Agustinus berikut ini mengenai kegiatan missioner Kedua Belas Rasul: “Mereka mewartakan sabda kebenaran dan menghasilkan Gereja-gereja.”[84]

Suatu kegiatan gerejani

60. Pengamatan bahwa Gereja telah diutus dan diberi perintah untuk mewartakan Injil kepada dunia, hendaknya membangkitkan dalam diri kedua keyakinan.

Yang pertama ialah ini: Penginjilan bukanlah merupakan suatu kegiatan individual dan terisolir; tapi penginjilan adalah sesuatu kegiatan yang secara mendalam bersifat gerejani. Bila seorang pengkhotbah di tempat paling tersembunyi, seorang katekis, atau seorang pastor di tempat yang paling jauh, berkhotbah tentang Injil, mengumpulkan jemaatnya yang kecil bersama-sama atau melayani suatu sakramen, meskipun ia sendirian, ia melakukan suatu kegiatan gerejani. Dan kegiatannya tentu saja terikat dengan kegiatan evangelisasi seluruh Gereja karena hubungan-hubungan kelembagaan, tapi juga karena jaringan-jaringan mendalam yang tak kelihatan dalam tata rahmat. Hal ini mengandaikan bahwa orang bertindak bukan berkat suatu perutusan yang ia berasal dari dirinya sendiri atau berdasarkan suatu inspirasi pribadi, tapi dalam kesatuan dengan perutusan Gereja dan atas nama Gereja.

Dari sini mengalirlah keyakinan kedua: bila tiap-tiap individu mewartakan Injil atas nama Gereja, yang melakukan hal itu berdasarkan suatu perintah dari Tuhan, maka tak seorang penginjil pun merupakan penguasa mutlak terhadap kegiatan penginjilan, dengan suatu kuasa yang bebas untuk melakukannya sesuai dengan kriteria pribadi dan perspektif pribadi. Ia bertindak dalam persatuan dengan Gereja dan gembala-gembalanya.

Kami telah mengatakan bahwa Gereja seluruhnya dan sepenuhnya melakukan evangelisasi. Ini berarti bahwa, di seluruh dunia dan di masing-masing bagian dunia di mana Gereja berada, Gereja merasakan bertanggung jawab menjalankan tugas untuk menyebarkan Injil.

Perspektif Gereja Universal

61. Para Saudara, Para Putera dan Puteriku, pada tahap refleksi ini, kami ingin berhenti sejenak bersama kamu pada suatu persoalan yang secara khusus sangat penting pada zaman sekarang. Di dalam perayaan liturgi, di dalam teks-teks pembelaan mereka, orang-orang kristen pertama siap sedia mengungkapkan iman mereka yang mendalam pada Gereja dengan menggambarkan bahwa Gereja sedang tersebar ke seleruh semesta. Mereka sadar sepenuhnya bahwa mereka termasuk suatu jemaat yang besar, yang tak dapat dibatasi oleh ruang maupun waktu: “Mulai dari Habel sampai kepada kaum terpilih yang terakhir”[85], “sungguh sampai ke ujung bumi”[86], “sampai ke akhir masa”.[87]

Demikianlah kelihatan bagaimanakah Tuhan menghendaki Gereja-Nya menjadi: universal, suatu pohon yang besar yang cabang-cabangnya menaungi burung-burung di udara[88], sebuah jala yang menangkap ikan dari segala jenis[89], atau yang oleh Petrus ditarik penuh dengan ikan-ikan besar sejumlah seratus lima puluh tiga ekor[90], satu kawanan yang digembalakan oleh seorang Gembala.[91] Suatu Gereja yang universal, tanpa batas-batas atau garis-garis pemisah, kecuali yang berasal dari hati dan pikiran manusia yang penuh dosa.

Perspektif Gereja Partikular

62. Walaupun demikian Gereja yang Universal tadi dalam praktiknya menjelma di dalam Gereja-gereja partikular/setempat yang terdiri dari umat manusia tertentu, yang berbicara dengan bahasa manusia tertentu, pewaris dari suatu warisan budaya tertentu, suatu pandangan tertentu mengenai dunia, memiliki suatu sejarah di masa lampau, bagian lapisan umat manusia tertentu. Kepekaan terhadap kenyataan Gereja setempat sangat cocok dengan kepekaan khusus dari manusia modern.

Hendaklah kita sangat hati-hati untuk tidak berpendapat bahwa Gereja Universal seolah-olah sebagai penjumlahan, jika orang dapat mengatakan begitu, atau kurang lebih sebagai suatu federasi yang “agak aneh” dari Gereja-gereja partikular yang secara hakiki berbeda. Dalam pikiran Tuhan, Gereja bersifat universal karena panggilannya dan perutusannya, namun ketika Gereja meletakkan akar-akarnya di dalam bermacam-macam bidang budaya, sosial dan manusiawi, maka Gereja menggunakan ungkapan lahiriah dan penampakan yang berbeda-beda di tiap-tiap tempat di dunia ini.

Dengan begitu maka Gereja partikular yang dengan sengaja memisahkan diri dari Gereja universal akan kehilangan hubungan dengan rencana Allah dan akan dimiskinkan dalam dimensi gerejani. Tetapi pada saat yang sama, suatu Gereja toto orbe diffusa (yang tersebar di seluruh bumi) akan merupakan suatu abstraksi jika Gereja tidak mengambil tubuh dan hidupnya dari Gereja-gereja partikular. Hanyalah perhatian yang terus menerus terhadap dua pola Gereja ini yang memungkinkan kita menangkap kekayaan hubungan antara Gereja Universal dan Gereja-gereja partikular, Gereja individual.

Penyesuaian dan kesetiaan dalam ungkapan

63. Gereja-gereja setempat, yang secara mendalam dibangun bukan hanya oleh orang-orang tapi juga oleh aspirasi-aspirasi, kekayaan dan pembatasan, cara-cara berdoa, mengasihi, cara melihat hidup dan dunia, yang membedakannya dari kelompok yang ini atau yang itu, mempunyai tugas mengasimilasikan hakikat pesan Injil dan menyampaikannya, tanpa mengkhianati sedikitpun juga kebenarannya yang hakiki, di dalam bahasa yang dipahami oleh orang-orang tertentu ini, dan menyampaikannya di dalam bahasa tersebut.

Perubahan harus dilakukan dengan kemampuan untuk membedakan, dengan serius, penghormatan dan keahlian yang menyangkut bidang liturgi[92], bidang katekese, rumusan teologis, struktur-struktur gerejani yang sekunder serta pelayanan-pelayanan gereja. Dan istilah “bahasa” hendaknya dimengerti di sini tidak terlalu semantis atau secara harafiah, tapi lebih dalam arti antropologis dan budaya.

Persoalan ini tak dapat diragukan lagi merupakan suatu yang penting. Evangelisasi akan kehilangan banyak kekuatannya dan keefektifannya jika tidak memperhatikan umat yang secara nyata diberi pewartaan, bila tidak menggunakan bahasa mereka, tanda-tanda dan simbol-simbol mereka. Hal tersebut juga akan terjadi bila evangelisasi tidak menjawab persoalan-persoalan yang mereka ajukan, dan tidak punya pengaruh terhadap hidup mereka yang konkret. Demikian pula ada bahaya bahwa evangelisasi kehilangan pengaruhnya dan akan lenyap jika isinya dkosongkan atau diubah, dengan dalih untuk menerjemahkannya. Dengan kata lain bila orang mengorbankan kenyataan dan menghancurkan kesatuannya, tanpa mana tak mungkin ada sifat universal, karena muncul keinginan menyesuaikan suatu kenyataan universal dengan suatu situasi lokal. Sekarang ini, hanyalah suatu Gereja yang menjaga kesadaran akan sifatnya yang universal dan memperlihatkan bahwa Gereja sesungguhnya bersifat universal, yang dapat mempunyai suatu pesan yang dapat didengar oleh semua orang, tanpa memperhatikan batas-batas kedaerahannya.

Perhatian yang sah terhadap Gereja-gereja setempat mau tak mau akan memperkaya Gereja. Perhatian semacam ini bersifat mutlak dan mendesak. Perhatian semacam ini sesuai dengan aspirasi terdalam dari orang-orang dan kelompok-kelompok manusia, untuk dapat menemukan identitas mereka sendiri dengan lebih jelas.

Keterbukaan terhadap Gereja Universal

64. Tapi pengayaan tadi menuntut bahwa Gereja-gereja setempat selalu menjaga keterbukaan mereka yang mendalam terhadap Gereja universal. Sangat mencoloklah bahwa orang-orang kristen yang paling sederhana yakni orang-orang yang paling setia kepada Injil dan amat terbuka terhadap makna sejati dari Gereja, mempunyai kepekaan yang sangat spontan terhadap dimensi universal ini. Secara naluriah dan secara sangat kuat mereka merasakan kebutuhan akan hal tersebut, dengan mudah mereka mengenali diri mereka dalam dimensi semacam ini. Mereka merasa dan menderita sangat mendalam dalam diri mereka, bila atas nama teori-teori yang tidak mereka pahami, mereka dipaksa menerima suatu Gereja yang tak memiliki sifat universal tadi, suatu gereja regional. Tanpa cakrawala.

Seperti yang sesungguhnya diperlihatkan oleh sejarah, bila suatu Gereja setempat telah memisahkan diri dari Gereja universal dan dari pusatnya yang hidup dan kelihatan, hanya dengan kesulitan yang sangat besar mereka dapat melepaskan diri dari dua bahaya yang sama seriusnya (jika mereka berhasil melepaskan diri darinya). Kadang-kadang hal tadi dilakukan dengan maksud yang sangat baik, dengan argumen-argumen teologis, sosiologis, politis atau argumen-argumen pastoral, atau bahkan karena keinginan untuk memperoleh suatu kebebasan tertentu untuk melakukan suatu gerakan atau tindakan. Bahaya pertama ialah suatu pengasingan diri yang melayukan, dan tidak lama kemudian suatu keruntuhan, di mana tiap-tiap sel memisahkan diri dan terpisah dari inti pokoknya. Bahaya kedua ialah kehilangan kebebasan, bila karena terpisah dari pusatnya dan dari Gereja-gereja lain yang memberinya kekuatan dan energi, Gereja tersebut mendapatkan dirinya sendirian dan menjadi mangsa kekuatan-kekuatan yang amat bermacam-macam yang memperbudak dan mengeksploitir.

Bila suatu Gereja setempat semakin terikat pada Gereja Universal dengan ikatan-ikatan yang kokoh dalam persatuan, cinta kasih dan kesetiaan, dalam sikap terbuka terhadap magisterium Petrus, dalam kesatuan lex orandi yang juga merupakan lex credendi, dalam keinginan untuk bersatu dengan Gereja-gereja lain yang mewujudkan keseluruhan maka gereja semacam itu semakin mampu menerjemahkan harta kekayaan iman dalam ungkapan-ungkapan yang sah, yang bermacam-macam. Ungkapan tadi berupa pengakuan iman, doa, ibadat, hidup kristen dan tingkah laku kristen dan pengaruh rohani pada orang-orang di mana mereka tinggal. Maka akan juga semakin mewartakan Injil dengan sungguh-sungguh, yaitu semakin mampu menarik harta warisan yang universal agar memungkinkan umat mereka sendiri memperoleh keuntungan darinya, dan juga mampu mengkomunikasikannya pada Gereja Universal pengalaman dan hidup umat ini, demi untuk kepentingan semuanya.

Harta iman yang tak mungkin berubah

65. Justru dalam arti inilah maka pada akhir Sinode tahun 1974, kami mengucapkan kata-kata yang jelas, penuh dengan kasih kebapaan, sambil menekankan peranan Pengganti Petrus sebagai prinsip pemersatu yang kelihatan, hidup dan dinamis antara Gereja-Gereja dan dengan demikian universalitas dari Satu Gereja.[93] Kami juga akan menekankan tanggung jawab berat yang ada pada kita semua, tapi kami pikul bersama Saudara-saudara kami dalam jabatan Uskup, yaitu tugas untuk menjaga isi iman katolik yang tak berubah, yang oleh Tuhan diserahkan kepada Para Rasul. Meskipun diterjemahkan ke dalam semua ungkapan, isinya tidak boleh dilemahkan atau dikurangi. Kendati diselubungi dengan bentuk-bentuk lahiriah yang cocok dengn tiap bangsa, dan dieksplisitkan dengan ungkapan-ungkapan teologis yang memperhatikan perbedaan budaya, lingkungan sosial dan bahkan suasana kesukuan, isinya harus tetap mengenai iman Katolik, seperti yang diterima oleh Magisterium gereja dan disampaikan oleh Magisterium.

Tugas yang bermacam-macam

66. Oleh karena itu seluruh Gereja dipanggil untuk melakukan evangelisasi, namun di dalam Gereja ada bermacam-macam tugas evangelisasi yang harus dilaksanakan. Keanekaragaman pelayanan dalam kesatuan perutusan yang sama merupakan kekayaan dan keindahan dari evangelisasi. Secara ringkas di sini kami akan menyebutkan tugas-tugas ini.

Pertama, kami akan menunjukkan dalam halaman-halaman Injil desakan yang disampaikan oleh Tuhan kepada para Rasul, tugas untuk mewartakan Sabda. Ia memilih mereka[94], melatih mereka selama beberapa tahun dalam kelompok yang akrab[95], mengangkat[96] dan mengutus mereka untuk pergi ke luar[97] sebagai saksi-saksi yang berwibawa dan guru-guru untuk mengajarkan pesan penebusan. Dan pada gilirannya kedua Belas Rasul mengirim pengganti-pengganti mereka, yang dalam garis kerasulan, melanjutkan tugas untuk mewartakan Kabar Baik.

Pengganti Petrus

67. Demikianlah pengganti Petrus, atas kehendak Kristus, dipercaya untuk melakukan pelayanan yang sangat luhur untuk mengajarkan kebenaran yang diwahyukan. Perjanjian Baru kerap kali memperlihatkan Petrus “yang penuh dengan Roh Kudus” berbicara atas nama semua orang[98]. Justru atas alasan inilah maka Santo Leo Agung melukiskan dia (Petrus) sebagai orang yang layak menduduki jabatan “primat” di antara para rasul.[99] Inilah juga sebabnya mengapa suara Gereja memperlihatkan Paus “pada puncak tertinggi –in apice, in specula– jabatan para rasul.”[100] Konsili Vatikan Kedua ingin menegaskan ini kembali ketika ia menyatakan bahwa “perintah Kristus untuk mewartakan Injil kepada setiap makhluk (lih. Mrk. 16:15) pertama-tama dan langsung menyangkut para Uskup bersama Petrus dan di bawah Petrus.”[101]

Kekuasaan yang penuh, tertinggi dan universal,[102] yang diberikan Kristus kepada Wakil-Nya untuk memerintah secara Pastoral Gereja-Nya dengan demikian secara khusus dilaksanakan oleh Paus dalam kegiatan mewartakan dan menyeluruh di wartakannya Kabar Baik tentang Penebusan.

Para Uskup dan para Imam

68. Dalam kesatuan dengan pengganti Petrus, para Uskup, yang merupakan pengganti para Rasul, melalui kuasa tahbisan mereka menerima kewibawaan untuk mengajarkan kebenaran yang diwahyukan dalam Gereja. Mereka adalah guru-guru iman.

Bersatu dengan para Uskup dalam pelayanan penginjilan dan bertanggung jawab karena suatu gelar khusus, ialah mereka yang karena tahbisan imamatnya “bertindak dalam pribadi Kristus”.[103] Mereka adalah pendidik-pendidik Umat Allah dalam iman dan Pengkhotbah-pengkhotbah, pada saat yang sama sekaligus juga menjadi pelayan-pelayan Ekaristi dan sakramen-sakramen lainya.

Kita para Gembala oleh karenanya diajak untuk memperhatikan kewajiban ini, lebih daripada anggota-anggota lain dalam Gereja. Yang memberikan identitas pada pengabdian kita selaku imam, yang memberi kesatuan mendalam terhadap seribu satu macam tugas yang menuntut perhatian kita hari demi hari dan sepanjang hidup kita, dan memberikan suatu ciri khas pada kegiatan-kegiatan kita, ialah tujuan ini, yang selalu ada dalam segala perbuatan kita: Untuk mewartakan Injil Allah.[104]

Salah satu tanda identitas kita yang tak boleh terhambat karena keragu-raguan dan tak boleh dikaburkan karena ada pertentangan, ialah ini: sebagai pastor-pastor, kita telah dipilih oleh belas kasih Gembala Tertinggi,[105] kendati kita tidak layak, untuk mewartakan Sabda Allah dengan kewibawaan. Juga kita telah dipilih untuk mengumpulkan Umat Allah yang tercerai-berai, untuk memberi makan Umat dengan tanda-tanda karya Kristus yang adalah Sakramen-sakramen, untuk memberitahu Umat jalan menuju ke keselamatan.

Kita juga telah dipilih untuk menjaga umat dalam kesatuannya, di mana kita termasuk di dalamnya, pada berbagai tingkatan, sebagai alat-alat yang aktif dalam hidup, dan tak henti-hentinya menjaga jemaat tadi, yang berkumpul di seputar Kristus agar supaya setia pada panggilannya yang terdalam. Bila kita melakukan semua hal tadi, dalam batas-batas kemanusiaan kita dengan rahmat Allah, maka ini semua merupakan suatu karya evangelisasi, yang kita laksanakan. Hal ini melibatkan kami sendiri sebagai Gembala Gereja Universal, Saudara-saudara kami para Uskup sebagai pimpinan Gereja-gereja setempat, para imam dan para Diakon yang bersatu dengan Uskup mereka dan mereka merupakan pembantu-pembantu Uskup mereka, berkat suatu persatuan yang bersumber pada sakramen Imamat dan dalam cinta kasih Gereja.

Kaum Rohaniwan-rohaniwati

69. Adapun kaum religius, mereka menemukan dalam hidup mereka yang telah dipersembahkan kepada Allah suatu sarana khusus untuk melakukan evangelisasi secara efektif. Pada tingkat paling mendalam dari hidup mereka, mereka tertangkap dalam dinamisne hidup Gereja, yang haus akan yang mutlak yang ilahi dan dipanggil ke kesucian. Justru dalam kesucian inilah mereka memberikan kesaksian. Mereka merupakan perwujudan Gereja dalam keinginannya untuk memberikan diri sepenuhnya terhadap tuntutan-tuntutan yang radikal dari Sabda Bahagia. Melalui hidup mereka, mereka dapat menjadi tanda kesediaan total pada Allah, Gereja dan saudara-saudaranya.

Secara demikian mereka secara khusus mempunyai peranan penting yang khusus dalam konteks kesaksian, yang seperti telah kami katakan, sangat penting dalam evangelisasi. Pada saat yang sama merupakan suatu tantangan bagi dunia dan Gereja sendiri, kesaksian yang diam mengenai kemiskinan dan penyangkalan, mengenai kemurnian dan ketulusan, pengorbanan diri dalam ketaatan. Itu semua dapat merupakan suatu kesaksian yang mengesankan, yang mampu menyentuh hati, juga orang-orang bukan kristen, yang punya kehendak baik dan peka terhadap nilai-nilai tertentu.

Dalam perspektif ini dapat dilihat peranan dalam evangelisasi yang dimainkan oleh para rohaniwan dan rohaniwati, yang menguduskan diri bagi doa, keheningan, laku tapa dan pengorbanan. Kaum religius yang lain, dalam jumlah besar, memberikan diri mereka langsung untuk pewartaan Kristus. Kegiatan misioner: mereka dengan jelas tergantung pada hierarki dan harus dikoordinasikan dengan rencana pastoral yang diambil oleh hierarki dan harus dikoordinasikan dengan rencana pastoral yang diambil oleh hierarki. Siapakah yang tidak melihat sumbangan besar yang diberikan oleh para religius ini dan terus mereka sumbangkan untuk evangelisasi? Berkat pengudusannya maka mereka sangat suka dan bebas untuk meninggalkan segala hal dan pergi untuk mewartakan Injil bahkan sampai ke ujung-ujung bumi. Mereka penuh usaha dan kerasulan mereka kerap kali ditandai dengan suatu keorisinilan, sikap jenius yang menimbulkan kekaguman. Mereka murah hati: kerap kali mereka ditempatkan di pelosok-pelosok tanah misi, dan mengambil risiko yang sangat besar untuk kesehatan mereka, bahkan hidup mereka sendiri. Sungguh-sungguh Gereja berhutang budi pada mereka banyak sekali.

Kaum Awam

70. Kaum awam, yang oleh karena panggilan khusus mereka ditempatkan di tengah-tengah dunia dan diberi tugas-tugas duniawi yang sangat beraneka macam, justru karena alasan-alasan tadi tentu melaksanakan suatu bentuk evangelisasi yang sangat khusus.

Tugas mereka yang pertama dan utama bukanlah untuk mendirikan dan mengembangkan jemaat gerejani–tugas ini merupakan peranan khusus dari para pastor–tetapi untuk menggunakan setiap kemungkinan kristiani dan penginjilan yang tersembunyi tetapi sudah ada dan aktif dalam urusan-urusan dunia. Bidang mereka di dalam kegiatan evangelisasi ialah dunia politik yang luas dan kompleks, bidang kemasyarakatan dan ekonomi, tapi juga dalam bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan seni, kehidupan internasional, bidang media massa. Juga mencakup kenyataan-kenyataan lain yang terbuka bagi evangelisasi, seperti misalnya cinta kasih manusiawi, keluarga, pendidikan anak-anak dan kaum remaja, kerja profesional, penderitaan. Semakin banyak kaum awam yang mendapat ilham dari Injil sibuk dalam kenyataan-kenyataan tadi, yang dengan jelas terlibat di dalamnya, mampu untuk memajukannya dan sadar bahwa mereka harus melaksanakan sepenuh-penuhnya kekuatan-kekuatan kristen, yang kerap kali terkubur dan tercekik, maka semakin siaplah kenyataan-kenyataan tadi untuk melayani Kerajaan Allah dan oleh karenanya juga penebusan dalam Yesus Kristus. Ini semua terjadi tanpa kehilangan atau mengorbankan isi manusiawinya tapi menunjukkannya ke suatu dimensi yang transendens yang kerap kali diabaikan.

Keluarga

71. Tak dapat tidak orang harus menekankan kegiatan evangelisasi dari keluarga dalam kerasulan evangelisasi kaum awam. Pada saat-saat yang berbeda-beda di dalam Sejarah Gereja dan juga di dalam Konsili Vatikan Kedua, keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai “Gereja rumah tangga (Ecclesia Domestica)”.[106] Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga kristiani hendaknya terdapat macam-macam segi dari seluruh Gereja. Lebih lanjut, keluarga, seperti halnya Gereja, harus merupakan suatu tempat di mana Injil diteruskan dan dari mana Injil bercahaya.

Di dalam suatu keluarga yang sadar akan perutusan tadi, semua anggota melakukan evangelisasi dan menerima evangelisasi. Orangtua tidak hanya mengkomunikasikan Injil kepada anak-anak mereka, tetapi dari anak-anak mereka orang tua sendiri dapat menerima Injil yang sama, seperti yang dihayati secara mendalam oleh mereka.

Kaum Muda

72. Keadaan mengundang kami untuk menyebutkan secara khusus kaum muda. Jumlah mereka yang bertambah dan kehadiran mereka yang semakin berkembang di dalam masyarakat dan begitu pula persoalan-persoalan yang menimpa mereka semoga membangkitkan dalam diri setiap orang hasrat untuk dengan semangat dan kecerdikan memberikan cita-cita Injil sebagai sesuatu yang harus dimengerti dan dihayati. Namun di lain pihak, kaum muda yang terlatih baik dalam iman dan doa, haruslah makin lama makin menjadi rasul-rasul bagi kaum muda. Gereja sangat menghargai sumbangan mereka, dan kami sendiri telah kerap kali menyatakan kepercayaan kami yang penuh pada mereka.

Para pelayan yang bermacam-macam

73. Itulah sebabnya kehadiran yang aktif dari kaum awam dalam hal duniawi sangatlah penting. Namun tak dapatlah diabaikan atau dilupakan dimensi yang lain: Kaum awam dapat juga merasa bahwa diri mereka dipanggil, atau harus dipanggil, untuk bekerja dengan pastor-pastor mereka dalam melayani jemaat gerejani, demi untuk perkembangan dan hidup Gereja, dengan melaksanakan bermacam-macam pelayanan, sesuai dengan rahmat dan karisma-karisma yang telah diberikan oleh Tuhan kepada mereka.

Tak dapat tidak kita akan merasa kebahagiaan batin yang besar bila kita melihat begitu banyak pastor, kaum religius dan kaum awam, yang terbakar oleh perutusan mereka untuk melakukan evangelisasi, selalu berusaha mencari jalan-jalan yang lebih sesuai untuk mewartakan Injil dengan efektif. Kami mendorong keterbukaan yang diperlihatkan oleh Gereja pada zaman sekarang ini dalam arah ini dan keprihatinannya dalam hal ini. Terutama keterbukaan terhadap renungan, dan kemudian juga kepada pelayan-pelayan gerejani yang mampu untuk memperbaharui dan mengokohkan kekuatan Gereja dalam melakukan penginjilan.

Tentu saja bahwa, bersama-sama dengan para pelayanan tertahbis, di mana sejumlah umat tertentu ditunjuk sebagai pastor-pastor dan menguduskan diri mereka secara khusus untuk melayani jemaat, maka Gereja mengakui pula peranan para pelayanan-pelayanan yang tidak ditahbiskan, yang dapat memberikan suatu pelayanan yang khusus kepada Gereja.

Bila kita melihat asal-usul Gereja, maka hal tersebut akan sangat memberikan penerangan, dan memberikan manfaat yang berasal dari pengalaman awal dalam hal para pelayan. Merupakan suatu pengalaman yang lebih bermanfaat lagi karena memungkinkan Gereja memperkokoh diri dan berkembang serta meluas. Namun perhatian terhadap sumber-sumber tadi harus dilengkapi dengan perhatian pada kebutuhan kebutuhan sekarang ini, baik dari umat manusia maupun dari Gereja. Menimba dari sumber-sumber yang selalu memberikan inspirasi tapi tanpa mengorbankan sesuatu pun yang berkaitan dengan nilai-nilai, dan sekaligus juga mengerti bagaimanakah harus menyesuaikan diri pada tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan pada zaman sekarang ini. Hal-hal ini merupakan kriteria yang akan memungkinkan kita mencari dengan bijaksana dan menemukan pelayan-pelayan yang dibutuhkan Gereja dan yang dengan senang hati akan dilaksanakan oleh banyak anggota Gereja, demi untuk menjamin vitalitas yang semakin besar dalam jemaat gerejani. Para pelayan tadi akan merupakan suatu nilai pastoral yang riil sejauh mereka ditetapkan, dengan tetap menghormati secara mutlak kesatuan dan tunduk pada petunjuk-petunjuk para pastor, yang bertanggung jawab mengenai kesatuan Gereja dan oleh karenanya juga merupakan para pembangun.

Para pelayan ini, meskipun kelihatannya baru tapi erat terhubung dengan pengalaman hidup dari Gereja selama berabad-abad, seperti misalnya para katekis, para pemimpin doa dan nyanyian. Demikian pula orang-orang kristen yang membaktikan diri pada pelayanan Sabda Allah atau membantu saudara-saudara mereka yang kekurangan, para pimpinan jemaat-jemaat kecil, atau orang-orang lain yang diserahi tugas untuk mengurus gerakan-gerakan kerasulan. Pelayan-pelayan tadi sangatlah berharga bagi pembangunan Gereja dalam mempengaruhi sekitarnya dan menjangkau mereka yang jauh dari Gereja. Kita juga harus memberikan penghargaan khusus kepada semua kaum awam yang bersedia untuk mengorbankan sebagian waktu mereka, energi mereka, dan kadang-kadang seluruh hidup mereka, untuk pengabdian bagi karya-karya misi.

Suatu persiapan serius diperlukan untuk semua pekerjaan evangelisasi. Persiapan semacam itu semakin lebih perlu lagi untuk mereka yang membaktikan diri mereka bagi pelayanan Sabda. Dijiwai oleh keyakinan, yang terus menerus diperdalam, akan kebesaran dan kekayaan Sabda Allah, maka mereka yang mempunyai perutusan menyampaikannya, harus memberikan perhatian yang sepenuh-penuhnya pada martabat, ketepatan dan kesesuaian bahasa yang mereka pakai. Setiap orang tahu bahwa seni bicara zaman sekarang ini sangatlah penting. Bagaimanakah para pengkhotbah dan para katekis dapat mengabaikan hal ini?

Kami dengan sungguh-sungguh menginginkan bahwa dalam setiap Gereja setempat para Uskup hendaknya menaruh perhatian terhadap pendidikan yang selayaknya dari semua pelayan Sabda.

Persiapan yang serius akan meningkatkan dalam diri mereka keyakinan yang tak dapat tergantikan dan juga kegairahan untuk mewartakan Yesus Kristus pada zaman sekarang ini.


BAB VII
SEMANGAT EVANGELISASI

Seruan yang mendesak

74. Kami tidak ingin mengakhiri pertemuan ini, dengan Saudara-saudara kami terkasih dan para putera dan puteri kami tanpa mengajukan seruan yang mendesak mengenai sikap batin yang harus menjiwai mereka yang bekerja untuk evangelisasi.

Atas nama Tuhan Yesus Kristus, dan atas nama Rasul-rasul Petrus dan Paulus, kami ingin mendorong mereka semua, yang berkat karisma Roh Kudus dan berkat mandat Gereja, menjadi penginjil-penginjil sejati agar supaya hidup sesuai dengan panggilan ini, untuk melakukannya tidak dengan diam karena ragu-ragu atau takut, dan untuk tidak mengabaikan kondisi-kondisi yang tidak hanya akan membuat evangelisasi menjadi mungkin, tapi juga menjadi aktif dan berbuah. Di antara banyak hal, hal-hal inilah yang merupakan syarat mutlak, yang kami anggap penting untuk ditekankan.

Di bawah karya Roh Kudus

75. Evangelisasi tidak mungkinlah tanpa karya Roh Kudus. Roh turun pada Yesus Nazaret, pada saat baptis-Nya ketika suara dari Bapa, “Inilah Putera-Ku terkasih, pada-Nya Aku berkenan”[107], menampakkan secara lahiriah pemilihan Yesus dan perutusanNya. Yesus “dipimpin oleh Roh” mengalami di padang pasir perjuangan yang menentukan dan percobaan yang terbesar sebelum memulai perutusan-Nya.[108] “Di dalam kuasa Roh”[109] Ia kembali ke Galilea dan memulai pewartaan-Nya di Nazaret, menerapkan untuk diriNya kutipan dari Yesaya: “Roh Tuhan ada di atas-Ku”. Dan la menyatakan: “Hari ini terpenuhilah Kitab Suci.”[110] Kepada para murid yang akan diutus-Nya, la berkata kepada mereka:"Terimalah Roh Kudus”[111].

Sesungguhnya barulah sesudah kedatangan Roh Kudus, pada hari Pentakosta bahwa para Rasul berangkat ke segala penjuru dunia untuk mulai karya besar evangelisasi Gereja. Petrus menerangkan peristiwa ini sebagai pemenuhan nubuat Joel: “Aku akan mencurahkan Roh-Ku”.[112] Petrus penuh dengan Roh Kudus sehingga ia dapat berbicara kepada orang-orang mengenai Yesus, Putera Allah.[113] Paulus juga dipenuhi dengan Roh Kudus[114] sebelum mempersembahkan diri kepada karya kerasulannya, seperti halnya Stefanus ketika dia dipilih untuk melayani Sabda dan kemudian memberikan kesaksian dengan darah-nya[115]. Roh, yang menyebabkan Petrus, Paulus dan Kedua Belas Rasul berbicara, dan yang mengilhamkan kata-kata yang harus mereka ucapkan, juga datang “pada mereka yang mendengarkan Sabda”.[116]

Justru di dalam “hiburan Roh Kudus” Gereja berkembang.[117] Roh Kudus adalah jiwa Gereja. Dialah yang menerangkan kepada kaum beriman makna terdalam ajaran Yesus dan misteri-Nya. Roh Kuduslah yang sekarang ini persis seperti pada awal Gereja, bertindak di dalam setiap penginjil yang membiarkan dirinya dikuasai dan dipimpin oleh Dia. Roh Kudus meletakkan dalam bibirnya kata-kata, yang orang itu tidak dapat menemukannya sendiri, dan sekaligus Roh Kudus menyiapkan jiwa pendengar untuk terbuka dan siap menerima Kabar Baik dan Kerajaan yang sedang diwartakan.

Teknik-teknik evangelisasi adalah baik, tapi bahkan teknik yang paling maju pun tidak dapat menggantikan karya Roh Kudus yang lembut. Persiapan yang paling sempurna pun dari penginjil tidak menghasilkan apa-apa, bila tanpa Roh Kudus. Tanpa Roh Kudus, dialektik yang paling meyakinkan pun tidak punya daya atas hati manusia. Tanpa Roh Kudus skema-skema yang paling berkembang sekali pun, yang bersandar pada dasar sosiologis atau psikologis, dengan cepat akan kelihatan tanpa nilai.

Kita hidup dalam Gereja pada suatu masa yang dikhususkan bagi Roh Kudus. Di mana-mana orang mencoba memahami Roh Kudus lebih baik, seperti diwahyukan oleh Kitab Suci. Mereka senang meletakkan diri mereka di bawah inspirasi Roh Kudus. Mereka berkumpul untuk berbicara mengenai-Nya; mereka ingin bahwa diri mereka sendiri dipimpin oleh Roh Kudus. Sekarang bila Roh Allah mempunyai tempat yang mulia dalam seluruh hidup Gereja, justru dalam perutusan evangelisasinya Gereja paling aktif. Tak kebetulanlah bahwa permakluman terbesar dari Evangelisasi terjadi pada pagi Pentakosta, di bawah dorongan Roh Kudus.

Haruslah dikatakan bahwa Roh Kudus adalah pelaku utama evangelisasi: Dialah yang mendorong tiap individu untuk mewartakan Injil, dan Dialah yang dalam kesadaran hati nurani menyebabkan kata penebusan diterima dan dipahami.[118] Tapi dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa Dialah tujuan evangelisasi: Dialah yang menggerakkan ciptaan baru, kemanusiaan baru, di mana evangelisasi merupakan hasilnya, dengan kesatuan dalam keanekaragaman itu, yang ingin dicapai oleh evangelisasi di dalam jemaat kristen. Melalui Roh Kudus Injil meresapi jantung dunia, sebab Rohlah yang menyebabkan orang-orang dapat membeda-bedakan tanda-tanda zaman –tanda-tanda yang dikehendaki oleh Allah– yang diungkapkan oleh evangelisasi dan digunakan di dalam sejarah.

Sinode Para Uskup tahun 1974, yang dengan kuat menekankan kedudukan Roh Kudus dalam evangelisasi, juga mengungkapkan keinginan agar para Gembala dan para teolog hendaknya mempelajari secara lebih mendalam hakikat dan cara Roh Kudus berkarya dalam evangelisasi pada zaman sekarang. Dan hal yang sama juga diharapkan dari kaum beriman yang dimeteraikan oleh Roh Kudus melalui Baptis. Hal ini juga merupakan kehendak kami, dan kami mendorong semua penginjil, entah siapa pun mereka itu, untuk berdoa terus-menerus kepada Roh Kudus dengan iman dan dengan penuh semangat dan membiarkan diri mereka dengan bijaksana dibimbing oleh dia, sebagai pengilham yang menentukan dalam rencana-rencana mereka, inisiatif-inisiatif mereka dan kegiatan penginjilan mereka.

Saksi-saksi hidup yang otentik

76. Marilah sekarang kita memperhatikan pribadi-pribadi para penginjil itu sendiri.

Kerap kali dikatakan sekarang bahwa abad sekarang ini orang haus akan hal yang autentik. Lebih-lebih menyangkut kaum muda dikatakan bahwa mereka merasa ngeri terhadap hal yang dibuat-buat atau yang palsu dan bahwa mereka terutama mencari kebenaran dari kejujuran.

“Tanda-tanda zaman” ini hendaknya membuat kita waspada. Entah secara diam-diam atau secara lantang–tapi selalu dengan mendesak–kita ditanya: Sungguh-sungguhkah kamu percaya akan apa yang kamu wartakan? Sungguhkah kamu menghayati yang kamu percayai? Sungguhkah kamu mewartakan yang kamu percayai? Lebih daripada dahulu kesaksian hidup merupakan suatu kondisi yang hakiki agar sungguh-sungguh efektif dalam pewartaan. Justru karena inilah, dalam arti tertentu, kita bertanggung jawab untuk kemajuan Injil yang kita wartakan.

“Bagaimanakah keadaan Gereja sepuluh tahun setelah Konsili?”, kami pertanyakan hal ini pada awal renungan ini. Apakah Gereja terbangun dengan kokoh di tengah-tengah dunia, namun tetap bebas dan cukup tidak tergantung dari perhatian dunia? Apakah Gereja memberikan kesaksian mengenai solidaritasnya dengan orang-orang dan sekaligus juga dengan Yang Mutlak Yang Ilahi? Apakah Gereja semakin bernyala-nyala dalam renungan dan kebaktian dan semakin bersemangat dalam karya misioner, dalam karya amal dan karya pembebasan? Apakah Gereja semakin terlibat dalam usaha untuk mencari pemulihan kesatuan yang penuh dari orang-orang Kristen, kesatuan yang akan membuat makin efektifnya kesaksian bersama, “agar supaya dunia dapat percaya?”[119]. Kita semua bertanggung jawab terhadap jawaban-jawaban yang dapat diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan ini.

Oleh karena itu, kami mengarahkan anjuran kami kepada para Saudara dalam jabatan Uskup, yang oleh Roh Kudus ditentukan untuk memimpin Gereja.[120] Kami mendorong para imam dan para diakon, rekan-rekan sekerja para Uskup dalam menghimpun Umat Allah dan menjiwai secara rohaniah jemaat-jemaat setempat. Kami mendorong para religius, saksi-saksi suatu Gereja yang dipanggil ke kesucian dan oleh karenanya mereka sendiri juga dipanggil ke suatu kehidupan yang memberikan kesaksian mengenai Sabda-sabda Bahagia Injil. Kami mendorong kaum awam: keluarga-keluarga kristen, kaum muda, orang-orang dewasa, semua yang melaksanakan perdagangan atau melakukan suatu profesi, para pemimpin, tanpa melupakan kaum miskin yang kerap kali kaya dalam iman dan pengharapan. Kami mendorong semua kaum awam yang sadar akan peranan mereka dalam evangelisasi, dalam rangka mengabdi Gereja mereka atau di tengah-tengah masyarakat dan dunia. Kami berkata kepada mereka semua: Semangat kita dalam evangelisasi harus muncul dari kesucian sejati dari hidup kita. Dan seperti yang dikatakan oleh Konsili Vatikan Kedua pewartaan haruslah pada gilirannya membuat pengkhotbah berkembang di dalam kesucian, yang disebutkan oleh doa dan terutama dengan melalui cinta terhadap Ekaristi.[121]

Secara paradoks, dunia kendati menunjukkan banyak tanda-tanda menyangkal Allah, namun mencari Allah dalam cara-cara yang tak terduga dan menderita karena merasa membutuhkan Allah. Dunia membutuhkan para penginjil untuk berbicara kepadanya mengenai Allah, yang hendaknya diketahui juga oleh para penginjil sendiri dan hendak-nya mereka akrab dengan-Nya, seolah-olah mereka dapat melihat yang tak kelihatan.[122] Dunia membutuhkan dan mengharapkan dari kita kesederhanaan hidup, semangat doa, kasih terhadap semua orang, lebih-lebih terhadap orang yang rendah dan miskin, ketaatan dan kerendahan hati, sikap lepas bebas dan pengorbanan diri. Tanpa tanda kesucian ini, kata-kata kita akan sulit menyentuh hati orang-orang modern. Bahkan ada risiko akan menjadi sia-sia dan mandul.

Mencari kesatuan

77. Kekuatan evangelisasi akan terasa sangat berkurang, bila mereka yang mewartakan Injil, terbagi-bagi di antara mereka sendiri dalam macam-macam bentuk. Tidakkah hal ini mungkin merupakan salah satu penyakit evangelisasi pada zaman sekarang ini? Bila Injil yang kita wartakan kelihatannya terobek-robek oleh perdebatan-perdebatan teologis di antara orang-orang kristen, karena perbedaan-perbedaan pandangan mengenai Kristus dan Gereja, dan bahkan karena perbedaan konsep mereka tentang masyarakat dan lembaga-lembaga manusiawi, bagaimanakah mencegah agar mereka yang mendapat pewartaan kita, tidak menjadi bingung, kehilangan orientasi, bahkan menemukan sandungan?

Warisan rohani Tuhan menceriterakan kepada kita bahwa kesatuan di antara para pengikutnya bukan hanya bukti bahwa kita menjadi milik-Nya tapi juga bukti bahwa Dia diutus oleh Bapa. Hal itu merupakan batu uji kredibilitas orang-orang kristen dan Kristus sendiri. Sebagai penginjil-penginjil, kita harus menyajikan citra Kristus yang setia, bukan gambaran umat yang terbagi-bagi dan terpisah-pisah karena pertengkaran yang tidak membangun, tapi gambaran umat yang matang dalam iman dan mampu menemukan titik temu di balik ketegangan-ketegangan yang nyata, berkat suatu usaha bersama-sama mencari kebenaran dengan jujur dan tanpa pamrih. Nasib evangelisasi tentu saja terkait dengan kesaksian mengenai persatuan, yang diberikan oleh Gereja. Ini merupakan suatu sumber tanggung jawab dan juga hiburan.

Pada butir ini kami ingin menekankan tanda persatuan di antara semua orang kristen sebagai jalan dan alat evangelisasi. Perpecahan di antara orang-orang kristen merupakan suatu kenyataan serius yang menghambat karya Kristus. Konsili Vatikan Kedua dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa perpecahan ini “merugikan alasan yang paling suci dalam mewartakan Injil kepada segala manusia, dan menghalang-halangi manusia untuk memeluk iman”.[123] Oleh karena inilah, dalam mengumumkan Tahun Suci ini kami berpendapat perlulah mengingatkan kepada semua kaum beriman dalam dunia Katolik bahwa “sebelum semua manusia dapat dibawa bersama-sama dan dipulihkan ke rahmat Allah Bapa kita, haruslah dibangun kembali persatuan antara mereka yang berkat iman telah mengakui dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan belas kasih, yang telah membebaskan manusia dan mempersatukan mereka dalam Roh cinta kasih dan kebenaran.”[124]

Maka dengan suatu perasaan yang kuat, karena harapan kristiani, kami memperhatikan usaha-usaha yang dilakukan dalam dunia Kristen untuk memulihkan Kesatuan penuh yang dikehendaki oleh Kristus. Santo Paulus meyakinkan kita bahwa “pengharapan tidak mengecewakan kita”[125] Seraya kita masih bekerja untuk memperoleh kesatuan sempurna dari Tuhan, kami ingin melihat bahwa doa diintensifkan. Pun pula kami setuju dengan keinginan Para Bapa dalam Sidang Paripurna Ketiga Sinode Para Uskup, yang menginginkan adanya suatu kerja sama yang ditandai dengan suatu keterlibatan yang lebih besar dengan saudara-saudara kristen yang belum dipersatukan dengan kita dalam kesatuan yang sempurna, dengan menggunakan sebagai dasarnya Baptis dan warisan iman yang sama bagi kita. Dengan berbuat demikian kita sudah dapat memberikan suatu kesaksian bersama yang lebih besar mengenai Kristus kepada dunia, dalam karya evangelisasi. Perintah Kristus mendorong kita untuk melakukan hal ini. Kewajiban untuk berkhotbah dan memberikan kesaksian mengenai Injil menuntut hal tadi.

Hamba-hamba kebenaran

78. Injil yang dipercayakan kepada kita adalah juga sabda kebenaran. Suatu kebenaran yang membebaskan,[126] dan yang dapat memberikan ketenteraman hati hanyalah apa yang dicari orang-orang bila kita mewartakan Kabar Baik kepada mereka. Kebenaran mengenai Allah, mengenai manusia dan nasibnya yang misterius, kebenaran mengenai dunia. Kebenaran yang sulit yang kita cari dalam Sabda Allah dan yang tidak kita kuasai dan kita miliki, tapi kita hanya menjadi penjaga-penjaganya, pewarta mengenai hal itu dan hamba-hambanya. Hal ini sudah kerap kali kami katakan.

Setiap pewarta evangelisasi diharapkan mempunyai rasa hormat terhadap kebenaran, lebih-lebih karena kebenaran yang dipelajari dan dikomunikasikannya tidak lain adalah kebenaran yang diwahyukan dan oleh karenanya, lebih dari hal lainnya, merupakan keikutsertaan dalam kebenaran pertama yang adalah Allah sendiri. Pewarta Injil oleh karenanya merupakan seorang pribadi yang mencari kebenaran yang harus diteruskannya kepada orang lain, meskipun dia harus menyangkal diri dan selalu menderita. Ia tidak pernah mengkhianati atau menyembunyikan kebenaran karena ingin menyenangkan orang-orang, untuk membuat tercengang orang lain atau membuat kejutan, pun pula tidak melakukannya demi untuk mencari hal yang orisinil atau ingin membuat suatu kesan. Ia tidak menolak kebenaran. la tidak menggelapkan kebenaran yang diwahyukan karena malas untuk mencarinya, atau demi mencari senangnya sendiri atau karena takut. la tidak lalai untuk mempelajari kebenaran. la mengabdi kebenaran dengan murah hati, tanpa membuat kebenaran mengabdinya.

Kita adalah gembala-gembala umat beriman, dan pengabdian pastoral kita mendorong kita untuk memelihara, menjaga dan menyampaikan kebenaran, tak peduli pengorbanan-pengorbanan yang terkandung di dalamnya. Begitu banyak gembala-gembala yang mulia dan suci, telah memberikan contoh pada kita untuk mencintai kebenaran. Dalam banyak hal merupakan cinta kasih yang heroik, penuh kepahlawanan. Allah kebenaran mengharapkan agar kita menjadi pembela-pembela yang penuh kewaspadaan dan pengkhotbah-pengkhotbah kebenaran yang penuh dedikasi.

Para Kaum Terpelajar–entah Anda teolog-teolog, ahli tafsir atau ahli-ahli sejarah–karya evangelisasi membutuhkan karya risetmu yang tak kenal lelah. Juga diharapkan perhatian dan sikap bijaksana dalam menyampaikan kebenaran, studi-studi anda telah membawa anda ke kebenaran, tapi kebenaran itu selalu lebih besar daripada hati manusia, sebab merupakan kebenaran Allah sendiri Para Orangtua dan Para Guru, tugasmu ialah membantu anak-anakmu dan para muridmu untuk menemukan kebenaran, termasuk kebenaran agama dan kebenaran rohaniah. Dan banyak konflik pada zaman sekarang tidak membuat hal itu menjadi sesuatu yang mudah.

Dijiwai oleh kasih

79. Karya evangelisasi mengandaikan di dalam diri penginjil ada suatu kasih yang semakin besar terhadap mereka yang diberi pewartaan Injil olehnya. Penginjil teladan, Rasul Paulus, menulis kata-kata ini kepada orang-orang di Tesalonika, dan merupakan suatu program bagi kita semua: “Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi.”[127] Macam apakah kasih ini? Kasih tadi lebih dari kasih seorang guru, kasih seorang bapa dan malahan kasih seorang ibu.[128] Kasih macam inilah yang diharapkan Tuhan dari setiap pengkhotbah Injil, dari setiap pembangun Gereja. Salah satu tanda kasih ialah keprihatinan untuk memberikan kebenaran dan membawa orang-orang ke persatuan. Salah satu tanda lain dari kasih ialah kesediaan berbakti pada pewartaan Yesus Kristus, tanpa keengganan atau berbalik kembali. Marilah kita tambahkan beberapa tanda lain dari kasih ini.

Yang pertama ialah sikap hormat terhadap situasi keagamaan dan situasi rohani mereka yang diberi penginjilan. Sikap hormat pada irama hidup mereka dan langkah mereka; tak seorang pun berhak memaksa mereka secara berlebih-lebihan. Hormat terhadap hati nurani mereka dan keyakinan mereka, yang tak boleh diperlakukan dengan kasar.

Tanda lain dari kasih ini ialah perhatian untuk tidak melukai pribadi lain, lebih-lebih bila pria atau wanita tadi lemah imannya,[129] dengan pernyataan-pernyataan yang mungkin jelas bagi mereka yang telah secara resmi diterima masuk menjadi anggota Gereja, tapi bagi kaum beriman dapat merupakan suatu sumber kebingungan dan skandal, seperti suatu luka dalam jiwa.

Tapi tanda lain dari kasih ialah usaha untuk menyampaikan kepada orang-orang kristen hal-hal yang pasti, yang kokoh karena berakar dalam Sabda Allah, bukan menyampaikan keragu-raguan dan hal-hal yang tidak pasti, yang muncul karena diolah secara buruk oleh seorang ahli. Kaum beriman membutuhkan kepastian-kepastian ini untuk hidup kristiani mereka. Mereka berhak untuk mendapatkan hal-hal tadi, sebagai anak-anak Allah yang menyerahkan diri mereka seluruhnya kepada-Nya dan tuntutan-tuntutan kasih-Nya.

Dengan semangat para Orang Kudus

80. Seruan kami di sini diilhami oleh semangat para pengkhotbah besar dan para penginjil besar, yang hidupnya dibaktikan bagi karya kerasulan. Di antara mereka ini kami dengan senang hati menyebutkan mereka-mereka, yang kami usulkan untuk dihormati selama Tahun Suci ini. Mereka terkenal karena telah mengalahkan banyak rintangan untuk melakukan evangelisasi.

Hambatan-hambatan semacam ini juga ada sekarang ini, dan kami akan membatasi diri kami untuk hanya menyebutkan kurangnya semangat. Hal itu menjadi lebih serius lagi karena berasal dari dalam. Hal tersebut nampak dalam kelelahan, khayalan, sikap kompromi, kurang minat dan lebih-lebih tidak adanya sukacita dan kurang pengharapan. Kami mendorong semua orang yang mempunyai tugas untuk melakukan evangelisasi, selalu memupuk semangat rohani.[130]

Semangat ini pertama-tama menuntut bahwa kita hendaknya tahu bagaimana mengesampingkan segala dalih yang akan menghambat evangelisasi. Yang paling mencolok dari dalih-dalih ini ialah bahwa orang mencoba mencari dukungan untuk gagasan ini atau itu dari suatu ajaran Konsili.

Demikianlah misalnya, kerap kali terdengar dikatakan orang dengan macam-macam istilah, bahwa menyampaikan suatu kebenaran, meskipun berasal dari Injil, atau menyampaikan suatu jalan, kendati itu suatu jalan menuju ke keselamatan, tak dapat tidak merupakan suatu perkosaan terhadap kebebasan agama. Di samping itu ditambahkan, mengapakah mewartakan Injil, bila seluruh dunia diselamatkan oleh ketulusan hati seseorang? Kami juga tahu bahwa dunia dan sejarah dipenuhi dengan “benih-benih Sang Sabda"; oleh karena itu apakah tidak merupakan suatu khayalan, menyatakan bahwa mewartakan Injil, pada-hal Injil itu sudah ada di dalam rupa benih-benih yang telah ditaburkan oleh Tuhan sendiri?

Setiap orang yang mau bersusah payah mempelajari dokumen-dokumen Konsili mengenai soal-soal yang disimpulkan oleh dalih-dalih tadi secara dangkal, akan memperoleh suatu pandangan yang jauh berbeda.

Tentu kelirulah memaksakan sesuatu pada hati nurani saudara-saudara kita. Tapi mengajukan kebenaran tentang Injil dan penebusan dalam Yesus Kristus, dengan cukup jelas dan menghormati sepenuhnya pilihan-pilihan bebas terhadap hal-hal yang diajukan-"tanpa paksaan, atau tanpa menggunakan paksaan yang tidak terpuji atau tidak layak”[131]-bukanlah merupakan suatu serangan terhadap kebebasan agama, tapi sepenuhnya menghormati kebebasan beragama tadi, yang diberi kesempatan untuk memilih suatu jalan hidup, bahkan juga hal-hal yang oleh kaum tak beriman dianggapnya sebagai suatu yang luhur dan meninggikan derajatnya. Maka apakah merupakan suatu kejahatan terhadap kebebasan orang lain untuk mewartakan dengan suka hati suatu Kabar Baik yang dikenal melalui belas kasih Tuhan?[132] Dan mengapakah hanyalah kepalsuan dan kesesatan, kemerosotan dan pornografi yang punya hak untuk dikemukakan di muka orang-orang dan kerap kali malanglah bahwa hal-hal tadi dipaksakan kepada mereka melalui propaganda yang destruktif yang berasal dari media massa, dengan kelonggaran di bidang hukum, karena sikap takut dari orang yang baik dan sikap tidak tahu malu dari orang-orang yang jahat? Penyajian mengenai Kristus dan Kerajaan-Nya dengan penuh hormat lebih dari sekadar hanya hak para penginjil, tapi merupakan kewajibannya. Demikian pula hak orang-orang sebangsanya untuk menerima dari dia pewartaan Kabar Baik keselamatan. Allah dapat melaksanakan penebusan itu dalam diri siapa saja yang la kehendaki, dengan jalan-jalan yang hanya diketahui oleh-Nya saja.[133] Namun bila Putera-Nya datang, justru untuk mewahyukan kepada kita melalui sabda-Nya dan hidup-Nya, jalan-jalan yang biasa untuk mendapat penebusan. Dan la telah memerintahkan kita untuk meneruskan perwahyuan ini kepada orang-orang lain dengan menggunakan wibawa-Nya sendiri. Akan bergunalah bila tiap orang kristen dan tiap penginjil berdoa berdasarkan pikiran berikut ini: Manusia dapat mencapai keselamatan juga melalui jalan-jalan lain, berkat belas kasih Allah, meskipun kita tidak mewartakan Injil kepada mereka. Tapi mengenai diri kita, dapatkah kita mencapai keselamatan bila karena kelalaian atau karena takut atau rasa malu, atau karena diakibatkan oleh ide-ide palsu kita tidak jadi mewartakannya? Santo Paulus menyebutnya “malu karena Injil”.[134] Karena itu berarti mengkhianati panggilan Allah, yang ingin bahwa benih menghasilkan buah melalui suara para pelayan Injil. Dan tergantunglah pada kita apakah benih tadi akan bertumbuh menjadi pohon-pohon dan menghasilkan buah sepenuh-penuhnya.

Oleh karena itu marilah kita memelihara gairah semangat kita. Marilah kita jaga suka cita dalam melakukan evangelisasi dengan penuh kegembiraan dan hiburan, meskipun dalam air matalah kita harus menaburnya. Semoga seperti bagi Yohanes Pembaptis, untuk Petrus dan Paulus, untuk para Rasul lain dan untuk sejumlah besar para penginjil yang elok sepanjang seluruh Gereja, bagi kita pun hal itu juga merupakan suatu kegembiraan batin yang tak dapat dipadamkan oleh siapa pun dan oleh apa pun juga. Semoga hal ini merupakan suka-cita besar bagi hidup kita yang telah dipersembahkan kepada Tuhan. Dan semoga dunia zaman kita, yang sedang mencari, kadang-kadang dengan kecemasan, kadang-kadang dengan penuh harapan, dapat menerima Kabar Baik bukan dari para penginjil, yang kehilangan semangat, kurang berani, tidak sabar atau cemas, tapi menerimanya dari para pelayan Injil yang hidupnya bernyala-nyala karena semangat. Menerimanya dari para pelayan Injil yang telah menerima terlebih dahulu kesukaan Kristus, dan yang mau mengambil risiko terhadap hidup mereka sehingga Kerajaan Allah dapat diwartakan dan Gereja ditegakkan di tengah-tengah dunia.


PENUTUP

Warisan Tahun Suci

81. Demikianlah, Para Saudara, Para Putera dan Puteri terkasih, seruan kami, yang sepenuh hati. Seruan ini menggemakan suara Saudara-saudara kami yang berkumpul untuk Sidang Ketiga Sinode Para Uskup. Inilah tugas yang ingin kami sampaikan kepadamu pada penutupan Tahun Suci, yang memungkinkan kami melihat dengan lebih baik daripada sebelumnya ini kebutuhan-kebutuhan dan seruan-seruan sejumlah besar saudara-saudara, baik Kristen maupun bukan Kristen, yang menunggu dari Gereja dan Dunia, keselamatan.

Semoga cahaya Tahun Suci, yang telah bersinar dalam gereja-gereja setempat dan di Roma, bagi jutaan suara hati, yang telah berdamai dengan Allah, terus bersinar secara yang sama sesudah Jubileum, melalui suatu program kegiatan pastoral dengan evangelisasi sebagai wajahnya yang utama. Karena tahun-tahun ini yang menandai fajar munculnya suatu abad baru, juga merupakan peringatan tiga ribu tahun adanya agama Kristen, atau “millenium” ketiga agama kristen.

Maria, Bintang Evangelisasi

82. Inilah keinginan yang dengan suka hati kami serahkan ke tangan-tangan dan hati Hati Bunda Perawan Maria Tak Bernoda. Pada hari ini yang secara khusus dipersembahkan kepadanya dan juga merupakan sepuluh tahun penutupan Konsili Vatikan Kedua. Pada pagi Pentakosta Maria dengan doanya menyaksikan mulainya evangelisasi yang didorong oleh Roh Kudus. Semoga Maria menjadi Bintang Evangelisasi, yang selalu diperbaharui, yang harus dimajukan oleh Gereja dan dilaksanakan olehnya, karena taat pada perintah Tuhan, lebih-lebih pada masa-masa sekarang ini yang sulit tapi penuh harapan.

Atas nama Kristus kami memberkati engkau, jemaat-jemaatmu, keluarga-keluargamu, semua yang kau kasihi, dengan menggunakan kata-kata yang digunakan Paulus untuk menyapa orang-orang di Filipi: “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini... Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku... maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil. Sebab Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian.”[135]


Diberikan di Roma, pada Gereja Santo Petrus, pada Pesta Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa noda dosa, 8 Desember 1975, sewaktu Pontifikat kami yang ketiga belas.

Paus Paulus VI

 

Catatan kaki :

  1. Lih. Luk. 22:32
  2. Kor. 11:28
  3. Lih. Konsili Vatikan Kedua, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes, 1: AAS 58 (1966) hal. 947.
  4. Lih. Ef 4:24; 2,15; Kol 3:10; Gal 3;27; Rom 13:14;2 Kor 5:17.
  5. 2 Kor 5:20
  6. Cf. Paul VI, Address for the closing of the Third General Assembly of the synod of bishops (26 October 1974): AAS 66 (19740, PP. 634-635, 637. Paulus VI, Address to the college of cardinals (22 June 1973): AAS 65 (1973), P. 383.
  7. Paulus VI, Address to the college of cardinals (22 June 1973): ASS 65 (1973), P. 383.
  8. 2 Kor 11 : 28
  9. 1 Tim 5: 17
  10. Tim 2: 15
  11. Lih. 1 Kor 2:5
  12. Luk. 4:43
  13. Ibid.
  14. Luk. 4:18; Lih Yes. 61:1
  15. Lih. Mrk. 1:1; Rom. 1:1-3
  16. Lih. Mat. 6:33
  17. Lih. Mat. 5:3-12
  18. Lih. Mat. 5-7
  19. Lih. Mat. 10
  20. Lih. Mat. 13
  21. Lih. Mat. 18
  22. Lih. Mat. 24-25
  23. Lih. Mat 24:36, Kis. 1:7;1 Tes. 5:1-2
  24. Lih. Mat. 11:12; Luk. 16:16
  25. Lih. Mat. 4:17
  26. Mrk. 1:27
  27. Luk. 4:22
  28. Yoh. 7:46
  29. Luk. 4:43
  30. Yoh. 11:52
  31. Lih. Konsili Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatik ttg wahyu ilahi Dei Verbum, 4: AAS 58 (1966), hal 818-819.
  32. 1 Ptr. 2-9
  33. Lih. Kis. 2:11
  34. Luk. 4:43
  35. Kor. 9:16
  36. "Deklarasi Para Bapa Sinode", 4: L'Osservatore Romano (27 Okt 1974) hal 6 Mat. 28:19
  37. Mat. 28-19
  38. Kis. 2:41, 47
  39. Lih. Konsili Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium 8: AAS 57 (1965) hal 11; Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 5; AAS 58 (1966) hal 951-952.
  40. Lih. Kis. 2:42-46;4:32-35;5-12-16
  41. Lih. Kis. 2:11; 1 Ptr. 2:9
  42. Lih. Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 5, 11-12: AAS 58 (1966), hal 951-952, 959-961.
  43. Lih. 2 Kor. 4:5; St. agustinus, Sermo XLVI, de Pastoribus: CCL XLI, hal. 529-530.
  44. Luk 10:16; Lih. St. Cyprianus, De Unitate Ecclesiae, 14: PL 4, 527; St. Agustinus Enarrat 88; Sermo 2, 14: PL 37, 1140: St. Yohanes Chrysostomus, Hom. de capto Eutropio, 6: PG 52, 402.
  45. Ef. 5:25
  46. Why 21:5; bdk. 2Kor 5:17; Gal 6:15.
  47. Lih. Rom 6:4
  48. Lih. Ef 4:23-24; Kol 3:9-10
  49. Lih. Rom 1:16; 1Kor 1:18; 2:4
  50. Lih. Tertulianus, Apologeticum, 39: CCL, I, hal 150-153; Minucius Felix. Octavius 9 dan 31, CSLP, Turin 1963, hal. 11-13, 47-48
  51. 1Ptr 3:15
  52. Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium 1, 9, 48: AAS 57 (1965) hal. 5, 12-14, 53-54; Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern Gaudium et Spes, 42, 45: AAS 58 (1966) hal. 1060-1061, 1065-1066; Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 1, 5: AAS 58 (1966) hal. 947, 951-952.
  53. Lih. Rom 1:16; 1Kor 1:18
  54. Lih. Kis 17:22-23
  55. 1Yoh 3:1; Lih. Rom 8:14-17
  56. Lih. Ef 2:8; Rom 1:16. Lih. Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman, Declaratio ad fidem tuendam in mysteria Incarnationis et SS Trinitatis e quibusdam recentibus erroribus (21 Feb 1972): AAS 64 (1972) hal. 237-241.
  57. Lih. 1 Yoh 3:2; Rom 8:29; Flp 3:20-21. Lih. Konsili Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 48-51: AAS 57 (1965) hal. 53-58.
  58. Lih. Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman, Declaratio circa Catholicam Doctrinam de Ecclesia contra nonnullos errores hodiernos tuendam (24 Juni 1973): AAS 65 (1973) hal. 396-408.
  59. Lih. Konsili Vatikan Kedua, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern Gaudium et Spes, 47-52: AAS 58 (1966) hal. 1067-1074; Paulus VI, Surat Ensiklik Humanae Vitae: AAS 60 (1968) hal. 481-503.
  60. Paulus VI, Pidato pada pembukaan Sidang Umum Ketiga Sinode Para Uskup (27 September 1974): AAS 66 (1974) hal. 562.
  61. Ibid.
  62. Paulus VI, Pidato di Campesinos, Columbia (23 Agustus 1968): AAS 60 (1968) hal. 623.
  63. Paulus VI, Pidato pada "Hari Perkembangan" di Bogota (23 Agustus 1968): AAS 60 (1968) hal. 627; Lih. St. Agustinus, Epistola 229, PL 33, 1020.
  64. Paulus VI, Pidato pada Penutupan Sidang Umum Ketiga Sinode Para Uskup (26 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hal. 637.
  65. Paulus VI, Pidato yang diberikan pada tanggal 15 Oktober 1975: L'Osservatore Romano (17 Oktober 1975).
  66. Paulus VI, Pidato kepada para anggota Consilium de Laicis, (2 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hal. 568.
  67. Lih. 1 Ptr 3:1
  68. Rom 10:14, 17
  69. Lih. 1 Kor 2:1-5
  70. Rom 10:17
  71. Lih. Mat 10:27; Luk 12:3
  72. Mrk 16:15
  73. Lih. St. Yustinus, 1 Apol 46,1-4, PG. 6, 11; Apol 7 (8) 1-4; 10,1-3; 13, 3-4; Florilegium Patristicum II; Bonn 1911, pp 81, 125, 129, 133; Clemens dari Alexandria, Stromata 1, 19, 91; 94: S.Ch pp 117-118; 119-120; Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 11: AAS 58 (1966) hal. 960; Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium tentang Gereja, 17: AAS 57 (1965) hal 21.
  74. Eusebius dari Caisarea, Praeparatio Evangelica I, 1, PG 21, 26-28; Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium 16: AAS 57 (1965) hal. 20.
  75. Lih. Ef 3:8
  76. Lih. Henri de Lubac, Le drame de l'humanisme athee, ed. Spes, Paris, 1945.
  77. Lih. Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, Gaudium et Spes 59: AAS 58 (1966) hal. 1080.
  78. 1Tim 2:4
  79. Lih. Mat 9:36; 15:32
  80. Rom 10:15
  81. Deklarasi tentang Kebebasan Beragama, Dignitatis Humanae, 13: AAS 58 (1966) hal 939; Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 5: AAS 57 (1965) hal 7-8; Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 1: AAS 58 (1968) hal 947.
  82. Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 35: AAS 58 (1966) hal 983
  83. St. Agustinus, Enarratio in Ps 44, 23: CCL XXXVIII, hal 510; lih. Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 1: AAS 58 (1966) hal 947.
  84. St. Gregorius Agung, Homil. in Evangelia 19, 1: PL 76, 1154.
  85. Kis 1:8; lih. Didache 9,1: Funk, Patres Apostolici, 1, 22
  86. Mat 28:20
  87. Lih. Mat 13:32
  88. Lih. Mat 13:47
  89. Lih. Yoh 21:11
  90. Lih. Yoh 10:1-16
  91. Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Sacrosanctum Concilium, 37-38: AAS 56 (1964) hal 110; lih. juga buku-buku liturgis dan dokumen-dokumen lain yang diterbitkan sesudahnya oleh Takhta Suci untuk melaksanakan perubahan liturgi yang dikehendaki oleh Konsili yang sama.
  92. Paus Paulus VI, Sambutan pada penutupan Sidang Umum Ketiga Sinode para Uskup (26 Oktober 1974): AAS 66 (1974) hal. 636.
  93. Lih. Yoh 15:16; Mrk 3:13-19; Luk 6:13-16
  94. Lih. Kis 1:21-22
  95. Lih. Mrk 3:14
  96. Lih. Mrk 3:14-15; Luk 9:2
  97. Kis 4:8; lih. 2:14; 3:12
  98. Lih. St. Leo Agung, Sermo 69, 3; Sermo 70, 1-3; Sermo 94, 3; Sermo 95, 2; S.C. 200, hal 50-52; 58-66; 258-260; 268.
  99. Lih. Konsili Ekumenis Pertama di Lyon, Konstitusi Ad apostolicae dignitatis: Conciliorum Oecumenicorum Decreta, ed. Instituto per le Scienze Religiose, Bologna, 1973, hal 278; Konsili Ekumenis di Wina, Konstitusi Ad providam Christi, ed.cit, hal 343; Konsili Ekumenis yang Kelima di Lateran, Konstitusi In apostolici culminis, ed.cit, hal 608; Konstitusi Postquam ad universalis, ed.cit, hal 609; Konstitusi Supernae dispositionis, ed.cit, hal 614; Konstitusi Divina disponente dementia, ed. cit, hal 638.
  100. Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 38: AAS 58 (1966) hal 985.
  101. Lih. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 22: AAS 57 (1965) hal. 26.
  102. Lih. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium 10, 37: AAS 57 (1965) hal. 14, 43; Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes 39: AAS 58 (1966) hal. 986; Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam Presbyterorum Ordinis 2, 12, 13: AAS 58 (1966) hal. 992, 1010, 1011.
  103. Lih. 1 Tes 2:9
  104. Lih. 1 Ptr 5:4
  105. Konstitusi Dogmatik tentang Gereja Lumen Gentium, 11: AAS 57 (1965); Dekrit tentang Kerasulan Awam Apostolicam Actuositatem, 11: AAS 58 (1966) hal. 848; St. Yohanes Chrysostomus, In Genesim Serm. VI, 2; VII, 1: PG 54, 607-608.
  106. Mat. 3:17
  107. Mat. 4:1
  108. Luk. 4:14
  109. Luk. 4:18,21; Lih. Yes. 61:1
  110. Yoh. 20:22
  111. Kis. 2:17
  112. Lih. Kis.4:8
  113. Lih. Kis.9:17
  114. Lih. Kis.6:5,10;7:55
  115. Kis. 10:44
  116. Kis. 9:31
  117. Lih. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 4: AAS 58 (1966), hal. 950-951.
  118. Yoh. 17:21
  119. Lih. Kis.20:28
  120. Lih. Dekrit tentang Pelayanan dan hidup para Imam Presbyterorum Ordinis, 13: AAS 58 (1966), hal. 1011.
  121. Lih. Ibr. 11:27
  122. Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 6: AAS 58 (1966), hal. 954-955; Lih. Dekrit tentang Ekumenisme Unitatis Redintegratio, 1: AAS 57 (1965), hal. 90-91.
  123. Bulla Apostolorum Limina, VH: AAS 66 (1974), hal 305.
  124. Rom. 5:5
  125. Lih. Yoh. 8:32
  126. 1 Tes. 2:8; lih. Fil. 1:8
  127. Lih. 1 Tes. 2:7-11; 1 Kor. 4:15; Gal. 4:19
  128. Lih. 1 Kor. 8:9-13; Rom. 14:15
  129. Lih. Rom. 12:11
  130. Lih. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Deklarasi tentang Kebebasan Beragama Dignitatis Humanae, 4: AAS 58 (1966), hal 933.
  131. Lih. Ibid, 9-14: loc it, hal 935-940.
  132. Lih. Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja Ad Gentes, 7: AAS 58 (1966), hal. 955.
  133. Lih. Rom. 1:16
  134. Fil. 1:3-4, 7-8

 

Sumber Teks ini :
Seri Dokumen Gerejawi, Dokpen KWI

#evangelisasi #katekese #evangelii_nuntiandi

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.