Header Ads

Terang Sabda

Kitab Hukum Kanonik - Buku 1

Kitab Hukum Kanonik
(1983)

BUKU I
NORMA-NORMA UMUM

Kan. 1 - Kanon-kanon Kitab Hukum ini berlaku hanya untuk Gereja Latin.
Kan. 2 - Pada umumnya Kitab Hukum tidak menentukan ritus yang harus ditepati dalam perayaan-perayaan liturgis; karena itu, undang-undang liturgis yang berlaku sampai sekarang tetap mempunyai kekuatan hukum, kecuali kalau ada yang bertentangan dengan kanon-kanon Kitab Hukum ini.
Kan. 3 - Kanon-kanon Kitab Hukum ini tidak menghapus selu-ruhnya atau sebagian perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh Takhta Apostolik dengan negara atau masyarakat politik lain. Karena itu, perjanjian-perjanjian tersebut masih tetap berlaku seperti sekarang, walaupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Hukum ini.
Kan. 4 - Hak-hak yang telah diperoleh tetap utuh; demikian juga privilegi-privilegi yang sampai sekarang diberikan Takhta Apostolik kepada perorangan atau badan hukum dan yang masih berlaku serta tidak dicabut, kecuali dengan jelas dicabut oleh kanon-kanon Kitab Hukum ini.
Kan. 5 - § 1. Kebiasaan-kebiasaan, baik universal maupun par-tikular, yang berlaku sampai sekarang dan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan kanon-kanon ini serta ditolak oleh kanon-kanon Kitab Hukum ini, dinyatakan hapus sama sekali dan selanjutnya jangan dibiarkan hidup kembali; juga yang lain-lain hendaknya dinyatakan hapus, kecuali Kitab Hukum ini dengan jelas menyatakan lain, atau sudah berumur lebih dari seratus tahun, atau tidak diingat lagi awal-mulanya, yang menurut penilaian Ordinaris dapat dibiarkan, mengingat keadaan tempat dan orang-orangnya, tidak dapat ditiadakan.
§ 2. Kebiasaan-kebiasaan di luar hukum yang berlaku sampai sekarang, baik universal maupun partikular, tetap berlaku.
Kan. 6 - § 1. Dengan berlakunya Kitab Hukum ini dihapuslah seluruhnya:
10 Kitab Hukum Kanonik yang diundangkan pada tahun 1917;
20 juga undang-undang, baik universal maupun partikular, yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Hukum ini, kecuali mengenai undang-undang partikular dengan jelas ditentukan lain;
30 hukum pidana apapun, baik universal maupun partikular, yang dikeluarkan Takhta Apostolik, kecuali dimasukkan dalam Kitab Hukum ini;
40 juga undang-undang disipliner universal lain, yang bahannya secara menyeluruh telah diatur oleh Kitab Hukum ini.
§ 2. Kanon-kanon Kitab Hukum ini, sejauh diambil dari hukum lama, harus ditafsirkan menurut tradisi kanonik.
JUDUL I
UNDANG-UNDANG GEREJAWI
Kan. 7 - Undang-undang mulai ada pada saat diundangkan.
Kan. 8 - § 1. Undang-undang gerejawi universal diundangkan dengan diterbitkannya dalam lembaran Acta Apostolicae Sedis, kecuali untuk kasus tertentu cara pengundangannya ditentukan lain.  Undang-undang itu baru mulai mempunyai kekuatan setelah tiga bulan, terhitung dari tanggal yang tercatat pada  nomor Acta itu, kecuali dari hakikatnya serta-merta mengikat atau dalam undang-undang itu sendiri secara khusus dan jelas ditentukan masa tenggang yang lebih pendek atau lebih panjang.
§ 2. Undang-undang partikular diundangkan dengan cara yang ditentukan oleh pembuat undang-undang itu dan mulai mewajibkan setelah satu bulan, terhitung dari hari pengundangannya, kecuali dalam undang-undang itu sendiri ditentukan batas waktu yang lain.
Kan. 9 - Undang-undang berlaku mengenai hal-hal yang akan datang dan tidak mengenai hal-hal yang sudah lewat, kecuali disebut jelas-jelas di dalamnya bahwa berlaku juga untuk hal-hal yang sudah lewat.
Kan. 10 - Yang harus dipandang sebagai undang-undang yang menjadikan-tindakan-tidak-sah (lex irritans) atau menjadikan-orang-tidak-mampu (lex inhabilitans), hanyalah undang-undang yang menentukan dengan jelas, bahwa tindakan tidak sah atau orang tidak mampu.
Kan. 11 - Yang terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi ialah orang yang dibaptis di dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan yang menggunakan akal-budinya dengan cukup, dan jika dalam hukum dengan jelas tidak ditentukan lain, telah berumur genap tujuh tahun.
Kan. 12 - § 1. Undang-undang universal mengikat di mana saja semua orang baginya undang-undang itu dibuat.
§ 2. Namun, dari undang-undang universal yang tidak berlaku di wilayah tertentu, dibebaskan semua orang yang sedang berada di wilayah itu.
§ 3. Undang-undang yang dibuat untuk wilayah tertentu, mengikat mereka, yang baginya undang-undang itu dibuat, dan yang mempunyai domisili atau kuasi-domisili di tempat tersebut, dan serentak sedang berada di situ, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 13.
Kan. 13 - § 1. Undang-undang partikular tidak diandaikan bersifat personal melainkan teritorial, kecuali ditentukan lain.
§ 2. Para pendatang tidak terikat:
10 oleh undang-undang partikular wilayah sendiri selama mereka tidak berada di tempat, kecuali pelanggarannya menyebabkan kerugian di wilayah sendiri atau undang-undang itu bersifat personal;
20 oleh undang-undang wilayah tempat mereka berada, kecuali yang mengenai tata-tertib umum atau yang menentukan formalitas untuk tindakan tertentu atau yang mengenai benda tak-bergerak di wilayah itu.
§ 3. Pengembara terikat oleh undang-undang baik universal mau-pun partikular, yang berlaku di wilayah tempat mereka berada.
Kan. 14 - Undang-undang, juga yang menjadikan-tindakan-tidak-sah atau menjadikan-orang-tidak-mampu, tidak mewajibkan kalau ada keraguan hukum; kalau ada keraguan fakta, Ordinaris dapat memberi dispensasi dari padanya, asalkan mengenai dispensasi yang direservasi, biasa diberikan oleh kuasa yang mereservasi.
Kan. 15 - § 1. Ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai undang-undang yang-menjadikan-tindakan-tidak-sah atau yang menjadikan-orang-tidak-mampu, tidak mencegah akibatnya, kecuali dengan jelas dinyatakan lain.
§ 2. Adanya ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai undang-undang, hukuman atau mengenai fakta dirinya sendiri, atau fakta tentang orang lain yang diketahui umum, tidak diandaikan; sedangkan fakta tentang orang lain yang tidak diketahui umum diandaikan, sampai terbukti kebalikannya.
Kan. 16 - § 1. Undang-undang ditafsirkan secara otentik oleh pembuat undang-undang dan oleh orang yang diberi kuasa olehnya untuk menafsirkan secara otentik.
§ 2. Penafsiran otentik yang diberikan dalam bentuk undang-undang mempunyai kekuatan yang sama seperti undang-undang itu sendiri dan harus diundangkan; kalau hanya menerangkan kata-kata undang-undang, yang pada dirinya pasti, penafsiran itu berlaku surut; kalau mempersempit, memperluas, atau memperjelas keraguan undang-undang, penafsiran tidak berlaku surut.
§ 3. Namun, penafsiran dalam bentuk putusan pengadilan atau tindakan administratif dalam kasus tertentu, tidak mempunyai kekuatan undang-undang dan mengikat hanya orang-orang  dan mengenai perkara-perkara yang bersangkutan.
Kan. 17 - Undang-undang gerejawi harus dimengerti menurut arti kata-katanya sendiri, dalam teks dan konteksnya; kalau itu tetap meragukan dan kabur, maka orang harus mengacu pada tempat-tempat yang paralel, kalau ada, pada tujuan serta hal-ikhwal undang-undang, dan pada maksud pembuat undang-undang itu.
Kan. 18 - Undang-undang yang menentukan hukuman atau yang mempersempit penggunaan bebas hak-hak atau yang memuat pengecualian dari undang-undang, ditafsirkan secara sempit.
Kan. 19 - Jika mengenai hal tertentu tidak ada ketentuan jelas dari undang-undang, baik universal maupun partikular, atau tidak ada juga kebiasaan, maka hal itu, kecuali mengenai hukuman, harus diselesaikan dengan memperhatikan undang-undang yang diberikan dalam kasus-kasus yang mirip, prinsip-prinsip yuridis umum yang diterapkan dengan kewajaran kanonik, yurisprudensi dan praksis Kuria Roma, dan pendapat yang umum dan tetap dari para ahli.
Kan. 20 - Undang-undang yang dikeluarkan kemudian menghapus undang-undang yang sebelumnya, seluruhnya atau sebagian, jika hal itu dikatakan dengan jelas atau langsung bertentangan dengannya, atau jika undang-undang itu mengatur kembali seluruh materi undang-undang sebelumnya secara menyeluruh; tetapi undang-undang universal sama sekali tidak mengurangi hukum partikular atau khusus, kecuali dengan jelas ditentukan lain dalam hukum.
Kan. 21 - Dalam keraguan, pencabutan undang-undang yang terdahulu tidak diandaikan, tetapi undang-undang yang kemudian harus dikaitkan dengan yang terdahulu, dan sedapat mungkin diserasikan dengannya.
Kan. 22 – Undang-undang sipil yang dirujuk oleh hukum Gereja  harus ditepati dengan efek-efek yang sama dalam hukum kanonik, sejauh tidak bertentangan dengan hukum ilahi, dan tidak ditentukan lain dalam hukum kanonik.


JUDUL II

KEBIASAAN

Kan. 23 – Hanyalah kebiasaan yang dimasukkan oleh suatu kelompok orang beriman mempunyai kekuatan undang-undang, kalau telah disetujui oleh pembuat undang-undang, menurut norma kanon-kanon berikut.
Kan. 24 - § 1. Tiada kebiasaan dapat memperoleh kekuatan undang-undang, kalau bertentangan dengan hukum ilahi.
§ 2. Tidak juga dapat memperoleh kekuatan undang-undang suatu kebiasaan, yang melawan atau yang di luar hukum kanonik, kecuali yang masuk akal; tetapi suatu kebiasaan yang dengan jelas ditolak dalam hukum, tidaklah masuk akal.
Kan. 25 - Tak satu kebiasaan pun memperoleh kekuatan undang-undang, kecuali dilaksanakan oleh suatu kelompok, yang sekurang-kurangnya mampu untuk menerima undang-undang, dengan maksud untuk memasukkannya sebagai hukum.
Kan. 26 - Kecuali disetujui secara khusus oleh pembuat undang-undang yang berwenang, suatu kebiasaan yang melawan hukum kanonik yang berlaku atau yang berada di luar hukum kanonik, hanya memperoleh kekuatan undang-undang, kalau telah dilaksanakan dengan legitim secara terus-menerus selama genap tigapuluh tahun; tetapi suatu kebiasaan, yang melawan undang-undang kanonik dengan klausul yang melarang kebiasaan di masa mendatang, hanya dapat dipertahankan kalau sudah berumur seratus tahun atau awal-mulanya tidak diingat lagi.
Kan. 27 - Kebiasaan adalah penafsir yang paling baik dari undang-undang.
Kan. 28 - Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 5, kebiasaan, baik yang melawan maupun yang di luar undang-undang, dicabut melalui suatu kebiasaan atau undang-undang yang berlawanan; tetapi, kecuali disebut dengan jelas, undang-undang tidak mencabut suatu kebiasaan yang berumur seratus tahun atau awal-mulanya tidak diingat lagi, dan undang-undang universal tidak mencabut  kebiasaan-kebiasaan partikular.


JUDUL III

DEKRET UMUM DAN INSTRUKSI

Kan. 29 - Dekret-dekret umum dengannya pembuat undang-undang yang berwenang memberikan aturan-aturan umum bagi suatu kelompok yang mampu menerima undang-undang, adalah sama dengan undang-undang dan diatur oleh ketentuan kanon-kanon mengenai undang-undang.
Kan. 30 - Yang mempunyai kuasa eksekutif saja tidak dapat mengeluarkan dekret umum seperti yang disebut dalam kan. 29, kecuali dalam kasus-kasus partikular sesuai dengan norma hukum, kuasa itu dengan jelas diberikan kepadanya oleh pembuat undang-undang dan syarat-syarat yang ditentukan dalam pemberian itu ditepati.
Kan. 31 - § 1. Dekret-dekret umum eksekutif, dengannya ditentukan secara lebih persis cara-cara yang harus dipakai dalam menerapkan undang-undang atau yang mendesak pelaksanaan undang-undang, dapat diberikan dalam batas kewenangannya oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif.
§ 2. Mengenai pengundangan dan masa tenggang dekret-dekret yang disebut dalam § 1, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 8.
Kan. 32 - Dekret-dekret umum eksekutif mewajibkan mereka yang terikat oleh undang-undang, yang cara-cara penerapannya ditentukan atau keharusan pelaksanaannya ditandaskan oleh dekret-dekret itu.
Kan. 33 - § 1. Dekret-dekret umum eksekutif, biarpun dikeluarkan dalam pedoman-pedoman atau dalam dokumen-dokumen dengan nama lain, tidak mengurangi undang-undang, dan ketentuan-ketentuannya yang bertentangan dengan undang-undang tidak mempunyai kekuatan apapun.
§ 2. Dekret-dekret itu berhenti mempunyai kekuatan dengan dicabutnya secara eksplisit atau implisit oleh otoritas yang berwenang, dan dengan berhentinya undang-undang, yang pelaksanaannya diatur oleh dekret-dekret itu, tetapi tidak berhenti dengan berakhirnya hak orang  yang menentukan, kecuali dengan jelas ditentukan kebalikan-nya.
Kan. 34 - § 1. Instruksi-instruksi, yaitu yang menjelaskan ketentuan undang-undang serta menjabarkan dan menentukan cara-cara yang harus ditepati dalam pelaksanaannya, diberikan supaya dipakai oleh mereka yang bertugas mengusahakan agar undang-undang dilaksanakan dan mewajibkan mereka dalam pelaksanaan undang-undang. Instruksi-instruksi itu dikeluarkan dengan sah, dalam batas kewenangannya, oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif.
§ 2. Aturan-aturan instruksi tidak mengurangi undang-undang dan kalau tidak dapat disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang, tidak mempunyai kekuatan apapun.
§ 3. Instruksi-instruksi berhenti mempunyai kekuatan, tidak hanya dengan dicabutnya secara eksplisit atau implisit oleh otoritas yang berwenang yang mengeluarkannya atau oleh atasannya, tetapi juga dengan berhentinya undang-undang yang dijelaskannya atau yang pelaksanaannya diperintahkannya.


JUDUL IV
TINDAKAN-TINDAKAN ADMINISTRATIF
UNTUK KASUS DEMI KASUS

BAB I
NORMA-NORMA UMUM

Kan. 35 Tindakan administratif untuk kasus demi kasus, baik dekret atau perintah maupun reskrip, dapat dilakukan dalam batas kewenangannya oleh orang yang mempunyai kuasa eksekutif, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 76, § 1.
Kan. 36 - § 1. Tindakan administratif harus dimengerti menurut arti kata-katanya sendiri dan pemakaiannya yang lazim; dalam keraguan, tindakan administratif yang menyangkut sengketa, atau ancaman hukuman atau hukuman yang harus dijatuhkan, atau yang membatasi hak-hak seseorang, atau yang merugikan hak-hak yang telah diperoleh pihak lain, atau yang berlawanan dengan undang-undang yang menguntungkan orang-perorangan, harus ditafsirkan secara ketat; semua yang lain harus ditafsirkan secara luas.
§ 2. Tindakan administratif tidak boleh diperluas pada kasus-kasus lain selain yang disebut.
Kan. 37 - Tindakan administratif yang menyangkut tata-lahir harus diberikan secara tertulis; demikian juga tindakan pelaksanaannya kalau diberikan dalam bentuk dipercayakan-kepada-perantara.
Kan. 38 - Tindakan administratif, biarpun mengenai reskrip yang diberikan dalam bentuk Motu Proprio, tidak mempunyai efek sejauh merugikan hak yang telah diperoleh pihak  lain, atau bertentangan dengan undang-undang atau kebiasaan yang telah diakui, kecuali otoritas yang berwenang dengan jelas mencantumkan suatu klausul yang menguranginya.
Kan. 39 - Syarat-syarat dalam tindakan administratif hanya dianggap disertakan demi sahnya, apabila dinyatakan dengan kata kalau, kecuali, asalkan.
Kan. 40 - Pelaksana suatu tindakan administratif tidak sah melak-sanakan tugasnya, sebelum menerima surat serta menyelidiki otentisitas dan keutuhannya, kecuali sebelumnya telah dikirim berita tentang hal itu kepadanya oleh otoritas yang mengeluarkan tindakan itu.
Kan. 41 - Pelaksana tindakan administratif yang hanya ditugaskan untuk melaksanakannya, tidak dapat menolak pelaksanaan tindakan itu, kecuali jelas bahwa tindakan itu tidak sah, atau karena alasan lain yang berat tidak dapat dipertahankan, atau syarat-syarat yang dicantumkan dalam tindakan administratif itu sendiri tidak terpenuhi; tetapi kalau pelaksanaan tindakan administratif itu nampak tidak pada tempatnya karena alasan keadaan orang atau tempat, pelaksana hendaknya menunda tindakan itu; dalam kasus-kasus itu hendaknya otoritas yang mengeluarkan tindakan itu segera diberitahu.
Kan. 42 - Pelaksana tindakan administratif harus bertindak menu-rut norma mandat; tetapi kalau syarat pokok yang dicantumkan dalam surat tidak dipenuhinya dan bentuk hakiki dari prosedur tidak ditepatinya, pelaksanaan itu tidak sah.
Kan. 43 - Menurut pertimbangannya yang bijaksana pelaksana tindakan administratif dapat menunjuk orang lain sebagai pengganti dirinya, kecuali penggantian itu dilarang, atau ia sengaja dipilih karena kualifikasi pribadinya atau penggantinya telah ditentukan; tetapi dalam kasus-kasus itu pelaksana boleh mempercayakan tindakan-tindakan persiapan kepada orang lain.
Kan. 44 - Pelaksanaan tindakan administratif dapat juga dilakukan oleh pengganti pelaksana dalam jabatan, kecuali pelaksana tersebut sengaja dipilih karena kualifikasi pribadinya.
Kan. 45 - Kalau seorang pelaksana melakukan kesalahan dalam pelaksanaan tindakan administratif, ia boleh melakukannya sekali lagi.
Kan. 46 - Tindakan administratif tidak berhenti dengan berakhir-nya hak orang yang menentukannya, kecuali dalam hukum dengan jelas dinyatakan lain.
Kan. 47 - Pencabutan tindakan administratif dengan tindakan administratif lain dari otoritas yang berwenang memperoleh efek hanya sejak saat hal itu diberitahukan secara legitim kepada orang yang bersangkutan.


BAB II
DEKRET DAN PERINTAH UNTUK KASUS DEMI KASUS

Kan. 48 - Yang dimaksud dengan dekret untuk kasus demi kasus ialah suatu tindakan administratif yang dikeluarkan oleh otoritas eksekutif yang berwenang; sesuai dengan norma hukum tindakan itu memberikan keputusan atau pengaturan untuk kasus partikular yang menurut hakikatnya tidak mengandaikan permohonan dari seseorang.
Kan. 49 - Perintah untuk kasus demi kasus ialah suatu dekret yang secara langsung dan legitim mewajibkan seseorang atau orang-orang tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; hal itu diberikan terutama untuk mendorong pelaksanaan undang-undang.
Kan. 50 - Sebelum mengeluarkan dekret untuk kasus demi kasus, otoritas yang bersangkutan harus mencari informasi dan bukti yang perlu dan sedapat mungkin mendengarkan mereka yang haknya dapat dirugikan.
Kan. 51 - Dekret harus diberikan secara tertulis; jika menyangkut suatu keputusan, alasan-alasannya harus dinyatakan sekurang-kurangnya secara ringkas.
Kan. 52 - Dekret untuk kasus demi kasus mempunyai kekuatan hanya mengenai hal-hal yang diputuskan dan untuk orang-orang yang diberi dekret itu; tetapi dekret itu mewajibkan mereka di manapun, kecuali pasti lain.
Kan. 53 - Kalau dekret-dekret bertentangan satu sama lain, dekret khusus harus diutamakan di atas dekret umum dalam hal-hal yang dirumuskan secara khusus; kalau sama-sama khusus atau umum, dekret yang kemudian mengubah dekret yang mendahuluinya, sejauh bertentangan dengannya.
Kan. 54 - § 1. Dekret untuk kasus demi kasus yang penerapannya dipercayakan kepada seorang pelaksana, mempunyai efek sejak pelaksanaannya; kalau tidak, sejak diberitahukan kepada orangnya oleh  otoritas yang mengeluarkannya.
§ 2. Supaya pelaksanaan dekret untuk kasus demi kasus dapat ditandaskan, haruslah diberitahukan dengan dokumen yang legitim sesuai dengan norma hukum.
Kan. 55 - Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 37 dan 51, apabila ada alasan sangat berat menghalangi diserahkannya teks tertulis dari dekret itu, dekret dianggap sudah diberitahukan kalau dibacakan kepada orang yang dituju di hadapan notarius atau dua saksi; tentang peristiwa itu dibuat berita-acara yang harus ditandatangani oleh semua yang hadir.
Kan. 56 - Dekret dianggap diberitahukan kalau orang yang ber-sangkutan telah dipanggil semestinya untuk menerima atau mendengar dekret itu, tanpa alasan wajar tidak datang atau menolak menanda-tanganinya.
Kan. 57 - § 1. Setiap kali undang-undang memerintahkan untuk mengeluarkan dekret atau orang yang berkepentingan mengajukan secara legitim permohonan atau rekursus untuk memperoleh dekret, otoritas yang berwenang harus mengurus hal itu dalam waktu tiga bulan sesudah permohonan atau rekursus diterima, kecuali dalam undang-undang ditentukan batas waktu yang lain.
§ 2. Kalau batas waktu itu telah lewat dan dekret belum diberikan, jawaban diandaikan negatif berkaitan dengan pengajuan rekursus lebih lanjut.
§ 3. Jawaban yang diandaikan negatif tidak membebaskan otoritas yang berwenang dari kewajibannya untuk mengeluarkan dekret, bahkan juga untuk memberi ganti rugi yang mungkin timbul, sesuai dengan norma kan. 128.
Kan. 58 - § 1. Dekret untuk kasus demi kasus berhenti mempunyai kekuatan dengan dicabutnya secara legitim oleh otoritas yang berwenang dan juga dengan berhentinya undang-undang yang untuk pelaksanaannya diberikan dekret itu.
§ 2. Perintah untuk kasus demi kasus yang tidak diberikan dengan dokumen legitim berhenti dengan berakhirnya hak pemberi perintah itu.


BAB III
RESKRIP

Kan. 59 - § 1. Reskrip ialah suatu tindakan administratif yang dibuat secara tertulis oleh otoritas eksekutif yang berwenang, yang menurut hakekatnya memberi suatu privilegi, dispensasi atau kemurahan lain atas permohonan seseorang.
§ 2. Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai reskrip berlaku juga untuk pemberian izin dan kemurahan yang dibuat secara lisan, kecuali pasti lain.
Kan. 60 - Reskrip manapun dapat diperoleh oleh semua orang yang dengan jelas tidak dilarang.
Kan. 61 - Kecuali pasti lain, reskrip dapat diperoleh untuk orang lain, juga tanpa persetu-juannya, dan berlaku sebelum penerimaannya, dengan tetap berlaku klausul-klausul yang berlawanan.
Kan. 62 - Reskrip yang diberikan tanpa pelaksana mempunyai efek sejak saat surat diberikan; yang lain-lain sejak saat pelaksanaannya.
Kan. 63 - § 1. Subreptio atau tidak disebutnya kebenaran meng-halangi sahnya reskrip jika di dalam permohonan tidak dinyatakan hal-hal yang menurut undang-undang, gaya kerja serta praksis kanonik harus dinyatakan demi sahnya, kecuali mengenai reskrip kemurahan yang diberikan dengan Motu Proprio.
§ 2. Demikian juga obreptio atau menyatakan sesuatu yang tidak benar menghalangi sahnya reskrip jika dari alasan-alasan yang dikemukakan sebagai motif bagi reskrip tak satupun benar.
§ 3. Dalam reskrip tanpa pelaksana alasan yang menjadi motif untuk memberinya haruslah benar pada waktu reskrip itu diberikan; dalam reskrip yang lain, pada waktu pelaksanaannya.
Kan. 64 - Dengan tetap berlaku hak Penitensiaria untuk tata-batin, kemurahan yang ditolak oleh salah satu dikasteri Kuria Roma, tidak dapat diberikan dengan sah oleh dikasteri lain dari Kuria itu atau otoritas lain yang berwenang di bawah Paus di Roma, tanpa persetujuan dikasteri yang mulai menanganinya.
Kan. 65 - § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan-ketentuan § 2 dan § 3, tak seorang pun boleh memohon kepada Ordinaris lain kemurahan yang sudah ditolak oleh Ordinarisnya sendiri, tanpa menyebutkan penolakan itu; tetapi walaupun disebut, janganlah Ordinaris itu memberikan kemurahan itu, kecuali telah memperoleh alasan-alasan penolakan dari Ordinaris pertama.
§ 2. Kemurahan yang telah ditolak oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal, tidak dapat diberikan dengan sah oleh seorang Vikaris lain dari Uskup yang sama, walaupun alasan-alasan penolakan itu telah diperoleh dari Vikaris yang menolaknya.
§ 3. Adalah tidak sah kemurahan, yang telah ditolak oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal dan kemudian diperoleh dari Uskup diosesan tanpa menyebutkan penolakan itu; tetapi kemurahan, yang telah ditolak oleh Uskup diosesan, tidak dapat diberikan dengan sah oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopalnya tanpa persetujuan Uskup diosesan, walaupun penolakan itu disebutkan.
Kan. 66 - Reskrip tetap berlaku walaupun terdapat kekeliruan tentang nama orang yang menerimanya atau yang memberinya, atau tentang tempat tinggalnya atau tentang hal yang dipersoalkan, asal saja menurut penilaian Ordinaris tidak ada keraguan tentang orang atau hal yang dimaksudkan.
Kan. 67 - § 1. Jika terjadi bahwa mengenai suatu hal yang sama diperoleh dua reskrip yang bertentangan satu sama lain, maka reskrip khusus, yang merumuskan hal-hal khusus, diutamakan di atas reskrip umum.
§ 2. Kalau sama-sama khusus atau umum, reskrip yang menda-hului diutamakan di atas yang kemudian, kecuali dalam yang kedua dengan jelas disebutkan mengenai yang pertama; atau penerima pertama tidak menggunakan reskripnya karena tipu-muslihat atau kelalaian berat.
§ 3. Dalam keraguan apakah reskrip sah atau tidak, hendaknya dimohon keterangan kepada orang yang memberi reskrip itu.
Kan. 68 - Reskrip Takhta Apostolik yang diberikan tanpa pelak-sana harus ditunjukkan kepada Ordinaris dari orang yang memperoleh-nya, hanya jika hal itu diperintahkan dalam surat tersebut, atau mengenai hal-hal publik, atau syarat-syaratnya perlu diperiksa.
Kan. 69 - Reskrip yang penyampaiannya tidak ditentukan waktu-nya, dapat ditunjukkan kepada pelaksana pada sembarang waktu, asalkan tak ada kebohongan dan tipu-muslihat.
Kan. 70 - Kalau dalam reskrip pemberian kemurahan itu diper-cayakan kepada pelaksana, dia dapat menyetujui atau menolak memberikan kemurahan itu menurut pertimbangan yang arif dan suara-hatinya.
Kan. 71 - Tak seorang pun diharuskan menggunakan reskrip yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri, kecuali karena alasan lain secara kanonik ia wajib menggunakannya.
Kan. 72 - Reskrip yang diberikan oleh Takhta Apostolik dan telah lewat waktunya, dapat diperpanjang satu kali oleh Uskup diosesan karena alasan yang wajar, tetapi tidak lebih dari tiga bulan.
Kan. 73 - Reskrip tidak dicabut dengan undang-undang yang ber-tentangan, kecuali dalam undang-undang itu sendiri ditentukan lain.
Kan. 74 - Walaupun kemurahan yang diberikan secara lisan dapat digunakan orang dalam tata-batin, ia wajib membuktikannya untuk tata-lahir, setiap kali hal itu secara legitim diminta dari padanya.
Kan. 75 – Kalau reskrip mengandung suatu privilegi atau dispen-sasi, ketentuan-ketentuan dari kanon-kanon berikut ini harus ditaati.


BAB IV
PRIVILEGI

Kan. 76 - § 1. Privilegi atau kemurahan yang diberikan lewat suatu tindakan khusus demi keuntungan baik perorangan maupun badan bukum tertentu, dapat diberikan oleh pembuat undang-undang dan juga oleh otoritas eksekutif yang diberi kuasa itu olehnya.
§ 2. Pemilikan selama seratus tahun atau sejak waktu yang tidak diingat lagi menimbulkan pengandaian bahwa privilegi itu telah diberikan.
Kan. 77 - Privilegi harus ditafsirkan menurut norma kan. 36, § 1; tetapi selalu harus digunakan penafsiran yang sedemikian sehingga mereka yang menerima privilegi sungguh-sungguh memperoleh suatu kemurahan.
Kan. 78 - § 1. Privilegi diandaikan bersifat tetap, kecuali dibukti-kan kebalikannya.
§ 2. Privilegi personal, yakni yang mengikuti persona, terhenti bersama dengan matinya persona itu.
§ 3. Privilegi real terhenti dengan kehancuran total benda atau tempatnya; tetapi privilegi lokal (atas tempat) hidup kembali, kalau tempat itu dibangun lagi dalam waktu limapuluh tahun.
Kan. 79 – Privilegi terhenti dengan pencabutan oleh otoritas yang berwenang menurut norma kan. 47, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 81.
Kan. 80 - § 1. Tiada privilegi yang terhenti karena seseorang melepaskannya, kecuali hal itu diterima oleh otoritas yang berwenang.
§ 2. Setiap orang dapat melepaskan privilegi yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri.
§ 3. Privilegi yang diberikan kepada suatu badan hukum, atau yang diberikan karena luhurnya tempat atau benda, tidak dapat dilepaskan oleh perorangan; badan hukum itu sendiri tidak dapat melepaskan privilegi yang diberikan kepada dirinya, kalau hal itu merugikan Gereja atau pihak-pihak lain.
Kan. 81 – Dengan berbentinya hak pemberi, privilegi itu sendiri tidak terhenti, kecuali diberikan dengan klausul ad beneplacitum nostrum (atas perkenan kami) atau klausul lain yang senilai.
Kan. 82 - Dengan tidak digunakannya atau digunakannya secara bertentangan, privilegi yang tidak merupakan beban bagi orang lain, tidak terhenti; sedangkan privilegi yang merupakan beban bagi orang lain, hilang kalau sudah kedaluwarsa secara legitim.
Kan. 83 - § 1. Privilegi terhenti kalau waktunya telah lewat atau telah terpenuhi jumlah kasus untuknya privilegi itu diberikan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 142, § 2.
§ 2. Juga terhenti kalau menurut penilaian otoritas yang berwenang dengan perjalanan waktu situasi begitu berubah, sehingga privilegi mulai merugikan dan pemakaiannya menjadi tidak licit.
Kan. 84 - Kalau seseorang menyalahgunakan kuasa yang diberi-kan kepadanya dengan privilegi, selayaknya privilegi itu dicabut dari padanya; karena itu kalau Ordinaris telah memperingatkan pemilik privilegi itu dengan sia-sia, hendaklah ia mencabut privilegi yang telah diberikannya sendiri dari orang yang menyalahgunakannya secara berat; kalau privilegi itu diberikan oleh Takhta Apostolik, Ordinaris berwajib memberitahukan kepadanya.


BAB V
DISPENSASI

Kan. 85 - Dispensasi atau pelonggaran dari daya-ikat undang-undang yang semata-mata gerejawi dalam kasus tertentu, dapat diberikan oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif dalam batas-batas kompetensinya, dan juga oleh mereka yang memiliki secara eksplisit atau implisit kuasa memberikan dispensasi, baik atas dasar hukum maupun atas dasar delegasi yang legitim.
Kan. 86 - Tidak dapat diberikan dispensasi dari undang-undang sejauh undang-undang itu merumuskan unsur-unsur yang secara hakiki konstitutif dari lembaga atau tindakan yuridis.
Kan. 87 - § 1. Setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepentingan spiritual orang-orang beriman, Uskup diosesan dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner, baik universal maupun partikular, yang diberikan oleh kuasa tertinggi Gereja untuk wilayahnya atau bawahannya, tetapi tidak dari hukum acara atau pidana, juga tidak dari undang-undang yang dispensasinya secara khusus direservasi bagi Takhta Apostolik atau suatu otoritas lain.
§ 2. Jika rekursus ke Takhta Suci sulit dan sekaligus ada bahaya kerugian besar kalau tertunda, maka setiap Ordinaris dapat memberikan dispensasi dari undang-undang tersebut, juga kalau dispensasi dire-servasi Takhta Suci, asalkan mengenai dispensasi yang biasa diberikan dalam situasi yang sama, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 291.
Kan. 88 - Ordinaris wilayah dapat memberi dispensasi dari undang-undang diosesan; dan setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepentingan kaum beriman, juga dari undang-undang yang dikeluarkan oleh suatu Konsili paripurna atau provinsi, atau juga oleh Konferensi para Uskup.
Kan. 89 - Pastor-paroki dan imam-imam lain atau diakon tidak dapat memberi dispensasi dari undang-undang universal dan partikular, kecuali kuasa itu dengan tegas diberikan kepadanya.
Kan. 90 - § 1. Jangan diberikan dispensasi dari undang-undang gerejawi tanpa alasan yang wajar dan masuk akal, dengan memper-hatikan keadaan kasus dan bobot undang-undang yang didispensasi; kalau tidak demikian dispensasi tidak licit dan, kecuali diberikan oleh pembuat undang-undang sendiri atau atasannya, dispensasi itu juga tidak sah.
§ 2. Dalam keraguan mengenai cukup-tidaknya alasan, dispensasi diberikan dengan sah dan licit.
Kan. 91 - Seseorang yang memiliki kuasa untuk memberikan dispensasi, dapat melaksanakannya, juga kalau ia berada di luar wilayahnya, terhadap bawahan-bawahannya, walaupun mereka sedang berada di luar wilayahnya; dan kalau tidak dengan jelas ditentukan lain, juga terhadap pendatang yang sedang berada di wilayahnya, dan juga terhadap dirinya sendiri.
Kan. 92 - Penafsiran sempit berlaku bukan hanya untuk dispensasi menurut norma kan. 36, § 1, melainkan juga untuk kuasa itu sendiri dalam memberikan dispensasi untuk kasus tertentu.
Kan. 93 - Dispensasi yang memiliki penerapan berturut-turut ter-henti dengan cara-cara yang sama seperti halnya privilegi, dan juga dengan terhentinya secara pasti dan menyeluruh alasan yang menjadi motif dispensasi itu.


JUDUL V

STATUTA DAN TERTIB-ACARA

Kan. 94 - § 1. Statuta dalam arti sebenarnya ialah peraturan-peraturan yang ditetapkan menurut norma hukum untuk kelompok orang (universitas personarum) atau kelompok benda (universitas rerum); dan di dalamnya dirumuskan tujuan, penataan, kepemimpinan dan tata-kerjanya.
§ 2. Yang diwajibkan oleh statuta untuk kelompok orang hanyalah orang yang secara legitim adalah anggotanya; yang diwajibkan oleh statuta untuk kelompok benda ialah para pengurusnya.
§ 3. Ketentuan-ketentuan statuta yang dibuat dan diundangkan atas dasar kuasa legislatif, diatur dengan ketentuan-ketentuan kanon-kanon mengenai undang-undang.
Kan. 95 - § 1. Tertib-acara ialah aturan-aturan atau norma-norma yang harus ditepati dalam sidang-sidang, baik yang ditentukan oleh otoritas gerejawi maupun yang diadakan dengan bebas oleh umat beriman kristiani, dan juga dalam perayaan-perayaan lain, di dalamnya dirumuskan hal-hal yang berhubungan dengan penataan, kepemimpinan dan tata-kerja.
§ 2. Dalam sidang atau perayaan, aturan tata-tertib itu mengikat mereka yang mengambil bagian di dalamnya.


JUDUL VI
PERSEORANGAN (PERSONA PHYSICA)
DAN BADAN HUKUM (PERSONA IURIDICA)

BAB I
KEDUDUKAN KANONIK PERSEORANGAN

Kan. 96 - Dengan baptis seseorang digabungkan pada Gereja Kristus dan menjadi persona di dalamnya, dengan tugas-tugas dan hak-hak yang khas bagi orang kristiani menurut kedudukan masing-masing, sejauh mereka berada dalam kesatuan gerejawi dan kalau tidak terhalang oleh hukuman yang dikenakan secara legitim.
Kan. 97 - § 1. Persona yang berumur genap delapanbelas tahun adalah dewasa; sedangkan yang di bawah umur itu, belum dewasa.
§ 2. Yang belum dewasa, sebelum genap tujuh tahun, disebut kanak-kanak dan dianggap belum dapat bertanggungjawab atas tindakannya sendiri (non sui compos); tetapi setelah berumur genap tujuh tahun diandaikan dapat menggunakan akal-budinya.
Kan. 98 - § 1. Persona dewasa mempunyai pelaksanaan penuh dari hak-haknya.
§ 2. Persona yang belum dewasa dalam melaksanakan haknya tetap di bawah kuasa orangtua atau wali, kecuali dalam hal-hal persona yang belum dewasa menurut hukum ilahi atau hukum kanonik bebas dari kuasa mereka; mengenai pengangkatan para wali dan kewenangan mereka hendaknya ditepati ketentuan hukum sipil, kecuali dalam hukum kanonik ditentukan lain, atau Uskup diosesan dalam kasus-kasus tertentu atas alasan yang wajar berpendapat bahwa harus ditunjuk seorang wali lain.
Kan. 99 – Siapa pun yang secara terus-menerus tidak dapat memakai akal-budinya, dianggap sebagai tidak dapat bertanggungjawab atas tindakannya sendiri dan disamakan dengan kanak-kanak.
Kan. 100 – Persona disebut penduduk di tempat ia berdomisili; penduduk sementara di tempat ia mempunyai kuasi-domisili; pendatang, kalau ia berada di luar domisili dan kuasi-domisili yang masih ia pertahankan; pengembara, kalau ia tidak mempunyai domisili atau kuasi-domisili di manapun.
Kan. 101 - § 1. Tempat asal seorang anak, juga seorang yang baru dibaptis, ialah tempat domisili orangtua ketika anak itu lahir atau, kalau domisili itu tidak ada, kuasi-domisili orangtuanya, atau jika orangtuanya tidak mempunyai domisili atau kuasi-domisili yang sama, tempat asal anak ialah domisili atau kuasi-domisili ibunya.
§ 2. Mengenai anak orang-orang pengembara, tempat asal ialah tempat ia dilahirkan; dalam hal anak yang ditemukan, tempat asal ialah tempat ia ditemukan.
Kan. 102 - § 1. Domisili diperoleh dengan bertempat-tinggal di wilayah suatu paroki atau sekurang-kurangnya keuskupan, dengan maksud untuk tinggal secara tetap di sana dan tidak ada alasan untuk berpindah, atau sudah berada di situ selama genap lima tahun.
§ 2. Kuasi-domisili diperoleh dengan bertempat-tinggal di wilayah suatu paroki atau sekurang-kurangnya keuskupan, dengan maksud untuk tinggal di sana sekurang-kurangnya selama tiga bulan dan tidak ada alasan untuk berpindah, atau kalau ternyata sudah berada di situ selama tiga bulan.
§ 3. Domisili atau kuasi-domisili di wilayah paroki disebut domisili atau kuasi-domisili parokial, di wilayah keuskupan disebut domisili atau kuasi-domisili diosesan, walaupun tidak di paroki.
Kan. 103 - Anggota-anggota tarekat religius dan serikat hidup kerasulan memperoleh domisili di tempat di mana rumah terletak dan mereka terdaftar; kuasi-domisili, di rumah mereka sedang berada, sesuai dengan norma kan. 102, § 2.
Kan. 104 - Suami-istri mempunyai domisili atau kuasi-domisili bersama; karena perpisahan yang legitim atau karena alasan lain yang wajar, keduanya dapat mempunyai domisili atau kuasi-domisili sendiri-sendiri.
Kan. 105 - § 1. Persona yang belum dewasa dengan sendirinya mempunyai domisili dan kuasi-domisili orang yang berkuasa atas dirinya. Kalau sudah melewati usia kanak-kanak, ia dapat juga memperoleh kuasi-domisili sendiri; malahan domisili, kalau ia secara legitim telah berdiri sendiri menurut norma hukum sipil.
§ 2. Barangsiapa secara legitim diserahkan di bawah perwalian atau pengawasan orang lain tidak karena alasan belum dewasa, mempunyai domisili atau kuasi-domisili wali atau penanggung-jawabnya.
Kan. 106 - Domisili dan kuasi-domisili hilang dengan perginya seseorang dari tempat itu dengan niat untuk tidak kembali lagi, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 105.
Kan. 107 - § 1. Baik melalui domisili maupun melalui kuasi-domi-sili setiap orang mendapat Pastor Paroki dan Ordinarisnya.
§ 2. Pastor Paroki atau Ordinaris dari pengembara ialah Pastor Paroki atau Ordinaris tempat ia sedang berada.
§ 3. Pastor Paroki dari orang yang hanya mempunyai domisili atau kuasi-domisili diosesan ialah Pastor Paroki tempat ia sedang berada.
Kan. 108 - § 1. Hubungan darah dihitung dengan garis dan tingkat.
§ 2. Dalam garis lurus jumlah tingkat sama dengan jumlah keturunan atau pun jumlah orang tanpa menghitung pokoknya.
§ 3. Dalam garis menyamping jumlah tingkat sama dengan jumlah orang dalam kedua garis bersama-sama, tanpa menghitung pokoknya.
Kan. 109 - § 1. Hubungan semenda timbul dari perkawinan yang sah, walaupun tidak consummatum, dan berlaku antara suami dan orang yang mempunyai hubungan darah dengan istrinya, demikian juga antara istri dan orang yang mempunyai hubungan darah dengan suaminya.
§ 2. Hubungan semenda dihitung demikian sehingga orang yang mempunyai hubungan darah dengan suami merupakan keluarga semenda istri dalam garis dan tingkat yang sama, dan sebaliknya.
Kan. 110 - Anak yang diadopsi menurut norma hukum sipil, dianggap sebagai anak dari orang atau orang-orang yang meng-adopsinya.
Kan. 111 - § 1. Dengan menerima baptis tercatatlah sebagai anggota Gereja Latin anak dari orangtua yang keduanya anggota Gereja itu, atau kalau salah satu dari orangtuanya bukan anggota Gereja itu, keduanya sepakat supaya anak dibaptis dalam Gereja Latin; kalau mereka tidak sepakat, anak itu tercatat pada Gereja ritus ayahnya.
§ 2. Setiap calon baptis yang telah berumur genap empatbelas tahun, dapat memilih dengan bebas untuk dibaptis dalam Gereja Latin atau dalam Gereja ritus lain yang mandiri (sui iuris); dalam kasus itu, ia menjadi anggota Gereja yang dipilihnya.
Kan. 112 - § 1. Yang menjadi anggota Gereja ritus lain yang man-diri sesudah penerimaan baptis, ialah:
10  yang mendapat izin dari Takhta Apostolik;
20 pasangan yang pada waktu melangsungkan perkawainan atau selama hidup perkawinannya menyatakan bahwa ia mau pindah ke Gereja ritus yang mandiri dari pasangannya; tetapi kalau perkawinan berakhir, ia dapat dengan bebas kembali ke Gereja Latin;
30  anak-anak dari mereka yang disebut dalam no. l dan 2, sebelum berumur genap empatbelas tahun, dan juga anak-anak dari pihak katolik dalam perkawinan campur yang secara legitim pindah ke Gereja ritus lain; tetapi kalau mereka sudah mencapai umur itu, mereka dapat kembali ke Gereja Latin;
§ 2. Kebiasaan, walaupun lama, untuk menerima sakramen-sakramen menurut ritus suatu Gereja ritus yang mandiri, tidak mengakibatkan orang menjadi anggotanya.


BAB II
BADAN HUKUM

Kan. 113 - § 1. Gereja katolik dan Takhta Apostolik merupakan persona moral (moralis persona) atas penetapan hukum ilahi sendiri.
§ 2. Selain perseorangan, dalam Gereja juga ada badan hukum yakni subyek kewajiban dan hak dalam hukum kanonik sesuai dengan sifat khas masing-masing.
Kan. 114 - § 1. Menurut ketentuan hukum sendiri atau berdasarkan pemberian khusus oleh otoritas yang berwenang melalui suatu dekret, badan hukum dibentuk dari kelompok orang atau kelompok benda yang terarah pada tujuan yang sesuai dengan misi Gereja dan yang mengatasi tujuan masing-masing anggota.
§ 2. Tujuan yang disebut dalam § 1 ialah yang berkaitan dengan karya kesalehan, kerasulan atau amal, baik spiritual maupun keduniaan.
§ 3. Otoritas Gereja yang berwenang jangan memberikan status badan hukum kecuali kepada  kelompok orang atau kelompok benda dengan tujuan yang nyata-nyata berguna dan yang, sesudah dipertimbangkan segala sesuatunya, mempunyai sarana-sarana yang diperkirakan dapat mencukupi untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Kan. 115 - § 1. Badan hukum dalam Gereja adalah kelompok orang atau kelompok benda.
§ 2. Kelompok orang yang hanya dapat dibentuk sebagai badan hukum sekurang-kurangnya dari tiga orang, adalah kolegial, kalau kegiatannya ditentukan oleh anggota-anggota yang bersama-sama mengambil keputusan, baik dengan hak yang sama maupun tidak, menurut norma hukum dan statuta; kalau tidak, disebut non-kolegial.
§ 3. Kelompok benda atau fundasi (fundatio) yang otonom terdiri dari harta atau kekayaan, baik spiritual maupun materiil, dan, sesuai dengan norma hukum dan statuta, dipimpin oleh satu atau beberapa orang ataupun kolegium.
Kan. 116 - § 1. Badan hukum publik adalah kelompok orang atau kelompok benda yang didirikan oleh otoritas gerejawi yang berwenang agar dalam batas-batas yang ditentukan melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya atas nama Gereja demi kesejahteraan umum, menurut norma ketentuan hukum; badan hukum lain disebut privat.
§ 2. Badan hukum publik diberi status badan hukum, baik menurut hukum sendiri maupun oleh dekret khusus yang memberikannya secara jelas dari otoritas yang berwenang; badan hukum privat diberi status badan hukum tersebut hanya melalui dekret khusus yang memberikan-nya secara jelas dari otoritas yang berwenang.
Kan. 117 - Tiada kelompok orang atau kelompok benda yang bermaksud memperoleh status badan hukum dapat memperolehnya, kecuali statutanya disetujui oleh kuasa yang berwenang.
Kan. 118 - Yang mewakili badan hukum publik dan bertindak atas namanya ialah mereka yang kompetensinya diakui oleh hukum universal atau partikular atau oleh statutanya sendiri; badan hukum privat diwakili oleh mereka yang kompetensinya itu diberikan melalui statuta.
Kan. 119 - Untuk tindakan-tindakan kolegial, kecuali ditentukan lain dalam hukum atau statuta, berlaku ketentuan sebagai berikut:
10 dalam hal pemilihan, hasil yang disetujui mayoritas mutlak dari mereka yang hadir mempunyai kekuatan hukum, asalkan hadir mayoritas dari mereka yang harus dipanggil; sesudah dua kali pemungutan suara tanpa hasil, pemungutan suara harus dilakukan atas dua calon yang memperoleh suara terbanyak, atau, kalau lebih dari dua, atas dua calon yang tertua; kalau sesudah pemungutan suara ketiga jumlah suara tetap sama, dianggap sebagai terpilih orang yang lebih tua menurut umur.
20   dalam hal urusan-urusan lainnya, hasil yang disetujui oleh mayoritas mutlak dari mereka yang hadir mempunyai kekuatan hukum, asalkan hadir mayoritas dari mereka yang harus dipanggil; kalau sesudah pemungutan suara kedua jumlah suara sama, ketua dapat mengatasinya dengan suaranya;
30 namun dalam hal yang menyangkut semua sebagai per-seorangan, harus disetujui oleh semua.
Kan. 120 - § 1. Badan hukum menurut hakikatnya bersifat tetap; namun terhenti kalau dibubarkan secara legitim oleh otoritas yang berwenang atau selama seratus tahun berhenti melakukan kegiatan; selain itu badan hukum privat terhenti juga, kalau badan itu sendiri dibubarkan menurut norma statuta, atau kalau fundasi itu sendiri menurut penilaian otoritas yang berwenang tidak ada lagi menurut norma statuta.
§ 2. Bahkan jika dari anggota-anggota badan hukum kolegial itu tinggal satu orang, dan kelompok orang itu menurut statuta tidak berhenti ada, maka anggota itu berwenang melaksanakan semua hak kelompok.
Kan. 121 - Kalau kelompok orang atau kelompok benda yang adalah badan hukum publik dipersatukan sedemikian sehingga darinya terbentuk satu kelompok badan hukum, maka badan hukum baru itu mewarisi segala harta dan hak yang merupakan milik kelompok-kelompok terdahulu dan menerima segala beban yang ditanggungnya; tetapi terutama mengenai peruntukan harta dan pemenuhan beban-beban, kehendak para pendiri serta penderma dan hak-hak yang telah diperoleh haruslah diamankan.
Kan. 122 - Jika suatu kelompok yang memiliki status badan hukum publik dibagi sedemikian sehingga sebagian dari padanya digabungkan dengan badan hukum lain, atau bagian yang dipisahkan itu didirikan menjadi badan hukum publik tersendiri, maka otoritas gerejawi yang berwenang untuk pembagian itu, dengan mengamankan pertama-tama, baik kehendak para pendiri serta penderma dan hak-hak yang telah diperoleh, maupun statuta yang telah disetujui, entah secara pribadi atau dengan perantaraan seorang pelaksana, harus mengusahakan:
10 agar harta-benda dan hak warisan bersama yang dapat dibagi, demikian juga utang dan tanggungan lainnya, dibagi di antara badan-badan hukum yang bersangkutan secara adil dengan keseimbangan yang tepat, dengan memperhatikan seluruh keadaan dan kepentingan keduanya;
20 agar penggunaan dan pemanfaatan hasil dari harta bersama yang tidak dapat dibagi, jatuh pada kedua badan hukum, dan tanggungan yang ada padanya dibebankan kepada keduanya, dengan tetap memperhatikan keseimbangan yang tepat yang harus ditentukan secara adil.
Kan. 123 - Kalau suatu badan hukum publik berhenti ada, peruntukan harta dan hak warisan serta tanggungannya diatur oleh hukum dan statuta; kalau hukum dan statuta tidak menentukan apa-apa, semuanya itu jatuh pada badan hukum yang langsung berada di atasnya, dengan tetap diamankan kehendak para pendiri serta penderma dan hak-hak yang telah diperoleh; kalau suatu badan hukum privat berhenti ada, peruntukan harta dan tanggungan diatur oleh statutanya sendiri.


JUDUL VII
TINDAKAN YURIDIS

Kan. 124 - § 1. Untuk sahnya tindakan yuridis dituntut agar dilakukan oleh orang yang mampu untuk itu, dan agar dalam tindakan itu terdapat hal-hal yang merupakan unsur hakikinya, dan juga agar ada segala formalitas serta hal-hal yang dituntut oleh hukum untuk sahnya tindakan itu.
§ 2. Suatu tindakan yuridis diandaikan sah sejauh unsur-unsur lahiriahnya dilaksanakan menurut aturan.
Kan. 125 - § 1. Tindakan yang dilakukan karena paksaan dari luar yang dikenakan pada orang yang sama sekali tidak dapat melawannya, dianggap tidak dilakukan.
§ 2. Tindakan yang dilakukan karena ketakutan yang besar dan yang dikenakan secara tak adil, atau pun karena penipuan, berlaku, kecuali ditentukan lain dalam hukum; tetapi tindakan itu dapat dibatalkan melalui putusan hakim, entah atas permohonan pihak yang dirugikan atau para penggantinya menurut hukum, entah atas dasar jabatan.
Kan. 126 - Tindakan yang dilakukan karena ketidaktahuan atau kekeliruan tentang sesuatu yang merupakan substansi tindakan itu, atau yang merupakan syarat yang harus ada (conditio sine qua non), adalah tidak sah (irritus); kalau tidak demikian, tindakan itu berlaku, kecuali ditentukan lain dalam hukum; tetapi tindakan yang dilakukan karena ketidaktahuan atau kekeliruan, dapat memberi kemungkinan bagi tindakan pembatalan sesuai dengan norma hukum.
Kan. 127 - § 1. Apabila hukum menentukan bahwa untuk mela-kukan tindakan tertentu pemimpin membutuhkan persetujuan atau nasihat dari suatu kolegium atau kelompok orang,  kolegium atau kelompok itu harus dipanggil sesuai dengan norma kan. 166, kecuali dalam hal minta nasihat saja ditentukan lain dalam hukum partikular atau khusus; tetapi supaya tindakan itu sah, dituntut supaya diperoleh persetujuan mayoritas mutlak dari mereka yang hadir, atau diminta nasihat dari semua.
§ 2. Apabila hukum menentukan bahwa untuk melakukan tindakan tertentu seorang pemimpin membutuhkan persetujuan atau nasihat dari beberapa orang sebagai individu:
l0   kalau dituntut persetujuan, tidak sahlah tindakan pemimpin, yang tidak minta persetujuan dari orang-orang itu atau yang bertindak berlawanan dengan pendapat mereka atau salah seorang dari mereka;
20 kalau dituntut nasihat, tidak sahlah tindakan pemimpin kalau ia tidak mendengarkan orang-orang itu; walaupun pemimpin tidak wajib menyetujui pendapat mereka biarpun sudah sepakat, namun tanpa alasan yang menurut penilaiannya sendiri lebih kuat, janganlah ia menyimpang dari pendapat mereka, terutama kalau mereka sepakat.
§ 3. Mereka semua yang persetujuan atau nasihatnya diperlukan, wajib menyatakan pendapatnya dengan tulus dan, kalau dituntut beratnya perkara, wajib menyimpan rahasia dengan cermat; kewajiban ini dapat dipertegas oleh pemimpin.
Kan. 128 - Barangsiapa dengan tindakan yuridis, bahkan dengan setiap tindakan lain yang dilakukan dengan penipuan atau kesalahan, menimbulkan kerugian bagi orang lain secara tidak legitim, terikat kewajiban untuk mengganti kerugian yang diakibatkan.

JUDUL VIII
KUASA KEPEMIMPINAN

Kan. 129 -  § 1. Menurut norma ketentuan hukum, yang mampu mengemban kuasa kepemimpinan yang oleh penetapan ilahi ada dalam Gereja dan juga disebut kuasa yurisdiksi, ialah mereka yang telah menerima tahbisan suci.
§ 2. Dalam pelaksanaan kuasa tersebut, orang-orang beriman kristiani awam dapat dilibatkan dalam kerja-sama menurut norma hukum.
Kan. 130 - Kuasa kepemimpinan dari sendirinya dilaksanakan untuk tata-lahir, namun kadang-kadang hanya untuk tata-batin, sedemikian sehingga efek-efek pelaksanaan yang sebenarnya berlaku untuk tata-lahir, tidak diakui untuk tata-lahir itu, kecuali sejauh hal itu ditentukan dalam hukum untuk kasus-kasus tertentu.
Kan. 131 - § 1. Kuasa kepemimpinan berdasarkan jabatan (potestas ordinaria) ialah kuasa yang oleh hukum sendiri dikaitkan pada suatu jabatan tertentu; kuasa yang didelegasikan (potestas delegata) ialah kuasa yang diberikan kepada orang itu tidak berdasarkan jabatan.
§ 2. Kuasa kepemimpinan berdasarkan jabatan dapat berupa baik kuasa yang dilaksanakan atas nama sendiri (potestas ordinaria propria) ataupun atas nama orang lain yang diwakilinya (potestas ordinaria vicaria).
§ 3. Seorang yang menyatakan dirinya mendapat delegasi, wajib membuktikan delegasi itu.
Kan. 132 - § 1. Kewenangan-kewenangan habitual diatur menurut ketentuan-ketentuan mengenai kuasa yang didelegasikan.
§ 2. Kecuali dalam pemberiannya dengan jelas ditentukan lain atau orang itu dipilih demi pribadinya, kewenangan habitual yang diberikan kepada seorang Ordinaris tidak hilang bila berhenti hak Ordinaris yang diberi kewenangan itu, walaupun ia telah mulai melaksanakannya; tetapi kewenangan itu beralih kepada Ordinaris yang menggantikannya di dalam kepemimpinan.
Kan. 133 - § 1. Kalau seseorang yang diberi delegasi bertindak melampaui batas-batas mandatnya baik mengenai hal-hal maupun mengenai orang-orang, tindakannya tidak berlaku.
§ 2. Tetapi tidak dianggap melanggar batas-batas mandatnya kalau seseorang yang diberi delegasi melaksanakan mandatnya itu dengan cara lain dari yang ditentukan dalam mandat, kecuali cara itu ditentukan oleh pemberi delegasi demi keabsahannya.
Kan. 134 - § 1. Yang dimaksud dengan sebutan Ordinaris dalam hukum, selain Paus di Roma, juga para Uskup diosesan dan orang-orang lain, yang, walaupun untuk sementara saja, diangkat menjadi pemimpin suatu Gereja partikular atau suatu jemaat yang disamakan dengannya menurut norma kan. 368; dan juga mereka yang di dalam Gereja partikular atau jemaat tersebut mempunyai kuasa eksekutif berdasarkan jabatan, yaitu Vikaris Jenderal dan Episkopal; demikian juga terhadap para anggotanya, pemimpin tinggi tarekat religius klerikal tingkat kepausan dan serikat hidup kerasulan klerikal tingkat kepausan yang sekurang-kurangnya memiliki kuasa eksekutif berdasarkan jabatan.
§ 2. Yang dimaksud dengan sebutan Ordinaris wilayah ialah semua orang yang disebut dalam § 1, kecuali para pemimpin tarekat religius dan serikat hidup kerasulan.
§ 3. Apa yang dalam kanon-kanon disebut dengan tegas diberikan kepada Uskup diosesan di bidang kuasa eksekutif, dianggap merupakan kewenangan Uskup diosesan saja dan orang-orang lain yang dalam kan. 381, § 2 disamakan dengannya, dan tidak merupakan kewenangan Vikaris jenderal dan episkopal, kecuali dengan mandat khusus.
Kan. 135 - § 1. Kuasa kepemimpinan dibedakan dalam kuasa legislatif, eksekutif dan yudisial.
§ 2. Kuasa legislatif harus dilaksanakan dengan cara yang diten-tukan dalam hukum, dan kuasa itu yang dalam Gereja ada pada seorang pembuat undang-undang di bawah otoritas tertinggi, tidak dapat didelegasikan dengan sah, kecuali secara eksplisit ditentukan lain dalam hukum; seorang pembuat undang-undang yang lebih rendah tidak dapat membuat dengan sah suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
§ 3. Kuasa yudisial yang dimiliki oleh para hakim atau majelis-majelis pengadilan, harus dilaksanakan dengan cara yang ditentukan dalam hukum, dan tidak dapat didelegasikan, kecuali untuk melakukan tindakan-tindakan persiapan suatu dekret atau putusan.
§ 4. Dalam pelaksanaan kuasa eksekutif hendaknya ditepati keten-tuan-ketentuan kanon berikut.
Kan. 136 - Kuasa eksekutif dapat dilaksanakan oleh seseorang, walaupun ia berada di luar wilayahnya, terhadap para bawahan, juga kalau mereka di luar wilayahnya, kecuali pasti lain dari hakekat halnya atau dari ketentuan hukum; kuasa itu juga dapat dilaksanakan terhadap para pendatang yang sedang berada di wilayahnya, kalau menyangkut pemberian hal-hal yang menguntungkan atau pelaksanaan perintah baik undang-undang universal maupun partikular yang mengikat mereka menurut norma kan. 13, § 2, no.2.
Kan. 137 - § 1. Kuasa eksekutif berdasarkan jabatan dapat didele-gasikan baik untuk satu tindakan saja maupun untuk keseluruhan kasus, kecuali ditentukan lain dengan jelas dalam hukum.
§ 2. Kuasa eksekutif yang didelegasikan oleh Takhta Apostolik, dapat disubdelegasikan, baik untuk satu tindakan saja maupun keseluruhan kasus, kecuali orang itu dipilih demi pribadinya atau kalau subdelegasi itu dengan jelas dilarang.
§ 3. Kuasa eksekutif yang didelegasikan oleh otoritas lain yang memiliki kuasa berdasarkan jabatan, kalau didelegasikan untuk keseluruhan kasus, dapat disubdelegasikan hanya untuk kasus per kasus; tetapi kalau didelegasikan untuk satu tindakan atau tindakan-tindakan tertentu, tidak dapat disubdelegasikan, kecuali dengan jelas diizinkan oleh otoritas yang memberi delegasi itu.
§ 4. Tiada kuasa yang diterima dengan subdelegasi dapat disub-delegasikan lagi, kecuali hal itu dengan jelas diizinkan oleh yang memberikan delegasi.
Kan. 138 - Kuasa eksekutif berdasarkan jabatan dan juga kuasa yang didelegasikan untuk keseluruhan kasus, harus ditafsirkan secara luas, tetapi kuasa lain manapun harus secara sempit; namun kalau kuasa didelegasikan kepada seseorang, dimaksudkan juga bahwa ia telah diberi segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan kuasa itu.
Kan. 139 - § 1. Kecuali ditentukan lain dalam hukum, hal bahwa seseorang menghadap otoritas yang berwenang, juga yang lebih tinggi, tidak menangguhkan kuasa eksekutif dari otoritas lain yang berwenang, baik itu kuasa berdasarkan jabatan maupun kuasa berdasarkan delegasi.
§ 2. Namun, janganlah suatu otoritas yang lebih rendah campur-tangan dalam perkara yang telah diajukan kepada otoritas yang lebih tinggi, kecuali karena alasan yang berat dan mendesak; dalam kasus itu hendaklah ia segera memberitahukannya kepada otoritas yang lebih tinggi.
Kan. 140 - § 1. Kalau beberapa orang diberi delegasi in solidum (masing-masing-secara-penuh dalam kebersamaan) untuk menangani suatu urusan yang sama, maka orang pertama yang mulai menangani urusan itu menyisihkan yang lain, kecuali kemudian ia berhalangan atau dalam menangani urusan itu ia tidak mau melanjutkannya lagi.
§ 2. Kalau beberapa orang diberi delegasi untuk menangani suatu urusan secara kolegial, maka semuanya harus bekerja menurut norma kan. 119, kecuali dalam mandat ditentukan lain.
§ 3. Kuasa eksekutif yang didelegasikan kepada beberapa orang, diandaikan diberikan in solidum.
Kan. 141 - Kalau beberapa orang diberi delegasi berturut-turut, maka urusan itu hendaknya ditangani oleh orang yang diberi mandat lebih dahulu, yang kemudian tidak dicabut.
Kan. 142 - § 1. Kuasa  yang didelegasikan terhenti: kalau mandat telah diselesaikan; kalau waktunya telah lewat atau jumlah kasus untuk mana delegasi diberikan telah habis; kalau alasan yang merupakan tujuan delegasi itu telah terhenti; kalau orang yang memberi delegasi mencabutnya kembali dan memberitahukan hal itu langsung kepada orang yang diberi delegasi; dan juga kalau orang yang diberi delegasi melepaskannya dan memberitahukannya kepada orang yang memberi delegasi dan hal itu diterima olehnya; tetapi kuasa itu tidak terhenti kalau hak orang yang memberi delegasi terhenti, kecuali nyata dari klausul yang disertakan.
§ 2. Namun tindakan berdasarkan kuasa delegasi yang dilaksanakan untuk tata-batin saja, kalau dilakukan tanpa menyadari bahwa waktu yang ditentukan sudah lewat, adalah sah.
Kan. 143 - § 1. Kuasa berdasarkan jabatan terhenti bila jabatan yang dikaitkan dengannya hilang.
§ 2. Kecuali dalam hukum ditentukan lain, kuasa berdasarkan jabatan ditangguhkan, jika secara legitim diajukan banding atau rekursus melawan pencabutan atau pemecatan dari jabatan.
Kan. 144 - § 1. Dalam kekeliruan umum mengenai fakta atau hukum, demikian juga dalam keraguan yang positif dan probabel, baik mengenai hukum maupun mengenai fakta, Gereja melengkapi kuasa kepemimpinan eksekutif, baik untuk tata-lahir maupun untuk tata-batin.
§ 2. Norma yang sama diterapkan pada kewenangan-kewenangan yang disebutkan dalam kan. 882, 883, 966, dan 1111, § 1.


JUDUL IX

JABATAN GEREJAWI

Kan. 145 - § 1. Jabatan gerejawi ialah setiap tugas yang diadakan secara tetap oleh penetapan baik ilahi maupun gerejawi, yang harus dilaksanakan untuk tujuan spiritual.
§ 2. Kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang khas untuk tiap-tiap jabatan gerejawi ditentukan baik oleh hukum sendiri yang menetap-kannya, maupun oleh dekret dari otoritas berwenang yang serentak menetapkan dan memberikan jabatan itu.


BAB I

PEMBERIAN JABATAN GEREJAWI

Kan. 146 - Jabatan gerejawi tidak dapat diperoleh dengan sah tanpa pemberian kanonik.
Kan. 147 - Pemberian jabatan gerejawi terjadi: melalui penye-rahan bebas oleh otoritas gerejawi yang berwenang; melalui pengangkatan oleh otoritas yang sama, jika didahului pengajuan; melalui pengukuhan atau persetujuan oleh otoritas yang sama, kalau didahului pemilihan atau postulasi; akhirnya dengan pemilihan saja dan penerimaan oleh orang yang terpilih, kalau pemilihan itu tidak membutuhkan pengukuhan.
Kan. 148 - Otoritas yang berwenang untuk mengadakan, membarui dan meniadakan jabatan-jabatan, berwenang juga untuk memberikannya, kecuali ditentukan lain dalam hukum.
Kan. 149 - § 1. Untuk diberi jabatan gerejawi, seseorang haruslah berada dalam persekutuan Gereja dan juga cakap, artinya ia mempunyai kualitas yang dituntut untuk jabatan itu oleh hukum universal atau partikular atau oleh undang-undang fundasinya.
§ 2. Pemberian jabatan gerejawi kepada seseorang yang tidak mempunyai kualitas yang dituntut, hanya tidak sah, kalau kualitas itu dengan jelas dituntut oleh hukum universal atau partikular atau undang-undang fundasinya untuk sahnya pemberian itu; kalau tidak, pemberian itu tetap sah, tetapi dapat dibatalkan dengan dekret dari otoritas yang berwenang atau lewat putusan pengadilan administratif.
§ 3. Pemberian jabatan yang terjadi dengan simoni, tidak sah demi hukum itu sendiri.
Kan. 150 - Jabatan yang membawa-serta pemeliharaan penuh terhadap jiwa-jiwa, yang untuk memenuhinya dituntut pelaksanaan tahbisan imamat, tidak dapat diberikan dengan sah kepada orang yang belum ditahbiskan imam.
Kan. 151 - Pemberian jabatan yang membawa-serta pemeliharaan jiwa-jiwa, janganlah ditunda-tunda tanpa alasan yang berat.
Kan. 152 - Janganlah seseorang diberi dua jabatan atau lebih yang tidak dapat dipadukan, yaitu yang tidak dapat dilaksanakan serentak oleh orang yang satu dan sama.
Kan. 153 - § 1. Pemberian jabatan yang tidak lowong menurut hukum, dengan sendirinya tidak sah, dan juga tidak menjadi sah kalau kemudian menjadi lowong.
§ 2. Namun, mengenai jabatan yang menurut hukum diberikan untuk waktu tertentu, pemberiannya dapat dilakukan dalam enam bulan sebelum berakhirnya batas waktu itu, dan mulai efektif sejak hari lowongnya jabatan itu.
§ 3. Janji akan suatu jabatan, yang dibuat oleh siapapun, tidak menimbulkan efek yuridis apapun.
Kan. 154 - Jabatan yang menurut hukum lowong, tetapi yang kebetulan masih dimiliki secara tidak legitim oleh seseorang, dapat diberikan, asalkan dinyatakan sesuai dengan ketentuan bahwa pemilikan itu adalah tidak legitim, dan penyebutan pernyataan itu dibuat dalam surat penyerahan.
Kan. 155 – Seseorang yang menggantikan orang lain yang lalai atau terhalang, kalau ia memberikan jabatan, tidak memperoleh kuasa apapun karenanya terhadap orang yang diberi jabatan itu; tetapi kedudukan yuridis orang itu tetap, seolah-olah pemberian itu dilaksanakan menurut norma hukum yang biasa.
Kan. 156 - Pemberian setiap jabatan hendaknya dilaksanakan secara tertulis.


Artikel 1
PENYERAHAN BEBAS

Kan. 157 - Kecuali dalam hukum dengan tegas ditentukan lain, Uskup diosesan berhak  melakukan penyerahan bebas jabatan-jabatan gerejawi dalam Gereja partikularnya sendiri.


Artikel 2
PENGAJUAN

Kan. 158 - § 1. Pengajuan untuk jabatan gerejawi oleh yang ber-wenang untuk mengajukannya, harus dibuat kepada otoritas yang berhak memberikan pengangkatan untuk jabatan itu, dan harus dibuat dalam waktu tiga bulan terhitung dari saat diperoleh berita bahwa jabatan itu sudah lowong, kecuali ditentukan lain secara legitim.
§ 2. Kalau hak pengajuan dimiliki suatu kolegium atau kelompok orang, yang akan diajukan hendaknya ditunjuk dengan memperhatikan  ketentuan-ketentuan kan. 165-179.
Kan. 159 - Hendaknya jangan diajukan seseorang yang tidak mau; karena itu yang akan diajukan disampaikan sesudah dimintai pendapatnya, kecuali ia menolak dalam waktu-guna (tempus utilis) delapan hari.
Kan. 160 - § 1. Yang mempunyai hak pengajuan, dapat mengaju-kan satu atau beberapa orang, entah serentak ataupun berturut-turut.
§ 2. Tak seorang pun dapat mengajukan dirinya sendiri; tetapi suatu kolegium atau kelompok orang dapat mengajukan seorang anggotanya.
Kan. 161 - § 1. Kecuali ditentukan lain dalam hukum, pihak yang mengajukan seseorang yang ternyata tidak cakap, dapat mengajukan hanya satu kali lagi seorang calon lain dalam waktu satu bulan.
§ 2. Kalau orang yang telah diajukan menarik diri atau meninggal sebelum diangkat, pihak yang berhak mengajukan dapat melaksanakan haknya lagi dalam waktu satu bulan sejak diperoleh berita tentang penarikan diri atau kematian itu.
Kan. 162 - Pihak yang tidak membuat pengajuan dalam waktu-guna menurut norma kan. 158, § 1 dan kan. 161, demikian pula pihak yang sudah dua kali mengajukan calon yang ternyata tidak cakap, kehilangan hak pengajuan untuk kasus itu, dan otoritas yang berhak untuk mengangkat berwenang memberikan jabatan yang lowong itu secara bebas, tetapi dengan persetujuan Ordinaris dari orang yang diangkat itu sendiri.
Kan. 163 - Otoritas yang menurut norma hukum berwenang untuk mengangkat orang yang diajukan, harus mengangkat orang yang diajukan secara legitim yang didapatinya cakap dan yang menerimanya; kalau beberapa orang yang diajukan secara legitim didapatinya cakap, ia harus mengangkat salah seorang dari mereka.


Artikel 3
PEMILIHAN

Kan. 164 - Kecuali ditentukan lain dalam hukum, dalam pemilihan kanonik haruslah ditepati ketentuan-ketentuan kanon-kanon berikut.
Kan. 165 - Kecuali ditentukan lain dalam hukum atau statuta legitim suatu kolegium atau kelompok orang, jika suatu kolegium atau kelompok orang mempunyai hak memilih untuk suatu jabatan, pemilihan janganlah ditunda lebih dari waktu-guna tiga bulan sejak penerimaan berita bahwa jabatan itu sudah lowong; kalau jangka waktu itu telah lewat tanpa dimanfaatkan, maka otoritas gerejawi yang mempunyai hak untuk mengukuhkan pemilihan atau mempunyai hak untuk selanjutnya memberikan jabatan itu, hendaknya dengan bebas memberikan jabatan yang lowong itu.
Kan. 166 - § 1. Ketua suatu kolegium atau kelompok orang harus memanggil semua orang yang termasuk kolegium atau kelompok orang itu; tetapi apabila panggilan itu harus secara pribadi, maka panggilan itu sah, kalau dibuat di tempat domisili atau kuasi-domisili atau di tempat mereka sedang berada.
§ 2 Kalau seseorang dari mereka yang harus dipanggil diabaikan dan karena itu tidak hadir, pemilihan tetap sah; tetapi atas permohonannya, yakni sesudah dibuktikan bahwa ia dilewatkan dan tidak hadir, pemilihan itu harus dibatalkan oleh otoritas yang berwenang walaupun telah dikukuhkan, asalkan secara yuridis pasti bahwa rekursus itu diajukan sekurang-kurangnya tiga hari terhitung saat penerimaan berita tentang pemilihan itu.
§ 3. Namun kalau lebih dari sepertiga pemilih diabaikan, pemi-lihan itu tidak sah demi hukum itu sendiri, kecuali semua yang tidak diundang nyata-nyata hadir.
Kan. 167 - § 1. Sesudah diadakan pemanggilan secara legitim, yang berhak memberikan suara ialah mereka yang hadir pada hari dan di tempat yang ditentukan dalam undangan itu; ditiadakan kewenangan memberikan suara, baik lewat surat maupun lewat wakil, kecuali secara legitim ditentukan lain dalam statuta.
§ 2. Kalau seseorang dari para pemilih ada di rumah tempat pemilihan diadakan, tetapi tidak bisa menghadiri pemilihan karena kesehatan yang lemah, hendaknya suaranya diminta secara tertulis oleh para skrutator.
Kan. 168 - Walaupun seseorang berhak memberikan suara atas beberapa dasar, namun ia dapat memberikan hanya satu suara.
Kan. 169 - Untuk sahnya pemilihan, tak seorang pun yang tidak termasuk kolegium atau kelompok orang itu dapat diizinkan memberikan suara.
Kan. 170 – Pemilihan, yang kebebasannya nyata-nyata terhalang dengan cara apapun, tidak sah demi hukum itu sendiri.
Kan. 171 - § 1. Tidak mampu memberikan suara, mereka:
10  yang tidak mampu melakukan tindakan manusiawi;
20  yang tidak mempunyai hak suara aktif;
30  yang terkena hukuman ekskomunikasi, baik oleh putusan peng-adilan maupun oleh dekret yang menjatuhkan atau menyatakan hukuman;
40  yang secara terbuka meninggalkan persekutuan Gereja.
§ 2. Kalau seseorang dari mereka yang disebut di atas diizinkan, suaranya tidak berlaku, tetapi pemilihan sah, kecuali pasti bahwa tanpa suaranya orang yang dipilih tidak memperoleh jumlah suara yang dituntut.
Kan. 172 - § 1. Supaya sah, suara haruslah bersifat:
10 bebas, karena itu tidak sah suara orang yang oleh ketakutan besar atau penipuan, secara langsung atau tidak langsung, terpaksa untuk memilih orang tertentu atau beberapa orang secara terpisah-pisah;
20  rahasia, pasti, mutlak, tertentu.
§ 2. Syarat-syarat yang dibubuhkan pada suara sebelum pemilihan, hendaknya dianggap sebagai tidak ada.
Kan. 173 - § 1. Sebelum pemilihan dimulai, hendaknya ditunjuk sekurang-kurangnya dua skrutator dari kalangan kolegium atau kelompok orang itu.
§ 2. Para skrutator hendaknya mengumpulkan suara dan di hadapan ketua pemilihan memeriksa apakah jumlah surat suara cocok dengan jumlah pemilih; lalu mereka hendaknya memeriksa suara-suara itu dan mengumumkan siapa mendapat berapa suara.
§  3. Kalau jumlah suara melebihi jumlah pemilih, pemilihan itu tidak berlaku.
§ 4. Segala ikhwal pemilihan haruslah dicatat dengan seksama oleh orang yang bertugas sebagai sekretaris, dan hendaknya disimpan dengan teliti dalam arsip kolegium setelah ditandatangani sekurang-kurangnya oleh sekretaris itu sendiri, oleh ketua dan para skrutator.
Kan. 174 - § 1. Kecuali ditentukan lain dalam  hukum atau statuta, pemilihan dapat juga dilaksanakan lewat penugasan memilih (per compromissum), yaitu asalkan para pemilih, dengan persetujuan bulat dan tertulis, untuk kali itu menyerahkan hak pilihnya kepada satu atau beberapa orang yang cakap, entah dari kalangan itu atau dari luar, yang atas nama semua memilih atas dasar kewenangan yang diterimanya.
§ 2. Jika mengenai kolegium atau kelompok orang yang terdiri dari para klerikus saja, yang ditugaskan memilih haruslah orang yang telah menerima tahbisan suci; kalau tidak demikian pemilihan tidak sah.
§ 3. Orang-orang yang diserahi hak pilih haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum mengenai pemilihan dan, demi sahnya pemilihan, haruslah menaati syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan hukum yang ditambahkan pada penugasan memilih itu; sedangkan syarat-syarat yang bertentangan dengan hukum hendaknya dianggap sebagai tidak ada.
Kan. 175 - Penugasan memilih itu berhenti dan hak memberi suara kembali kepada para pemilik suara:
10  kalau ditarik kembali oleh kolegium atau kelompok orang sebelum mulai dilaksanakan;
20  kalau salah satu syarat yang ditambahkan pada penugasan memilih itu tidak dipenuhi;
30  kalau pemilihan yang telah diselesaikan tidak sah.
Kan. 176 - Kecuali ditentukan lain dalam hukum atau statuta, seseorang yang telah memperoleh jumlah suara yang dituntut sesuai dengan norma kan. 119, no. 1, hendaknya dianggap terpilih dan diumumkan oleh ketua kolegium atau kelompok orang.
Kan. 177 - § 1. Hasil pemilihan harus dengan segera diberitahukan kepada orang yang terpilih, yang dalam waktu-guna delapan hari sejak penerimaan berita itu harus memberitahukan kepada ketua kolegium atau kelompok orang itu apakah ia menerima pemilihan itu atau tidak; kalau tidak, maka pemilihan itu tidak berlaku.
§ 2. Kalau orang yang terpilih tidak menerimanya, ia kehilangan setiap hak yang timbul dari pemilihan itu dan tidak dipulihkan oleh penerimaan sesudahnya, namun ia dapat dipilih kembali; tetapi dalam jangka waktu satu bulan sejak diketahui penolakan itu, kolegium atau kelompok orang itu harus mengadakan pemilihan baru.
Kan. 178 - Kalau orang yang terpilih menerima pemilihan atas dirinya yang tidak membutuhkan pengukuhan, ia segera memperoleh jabatan dengan hak penuh; kalau tidak, ia hanya menerima hak atas jabatan.
Kan. 179 - § 1. Kalau pemilihan membutuhkan pengukuhan, dalam waktu-guna delapan hari sejak pemilihan itu diterima, orang yang terpilih itu secara pribadi atau dengan perantaraan orang lain harus meminta pengukuhan itu dari otoritas yang berwenang; kalau tidak, ia kehilangan setiap haknya, kecuali terbukti bahwa karena alasan yang wajar ia terhalang untuk meminta pengukuhan itu.
§ 2. Jika otoritas yang berwenang mendapati bahwa orang yang terpilih cakap menurut norma kan. 149, § 1, dan pemilihan telah dilak-sanakan menurut norma hukum, maka ia tidak dapat menolak memberikan pengukuhan itu.
§ 3. Pengukuhan itu harus diberikan secara tertulis.
§ 4. Sebelum memperoleh pengukuhan, orang yang terpilih tidak boleh campur-tangan dalam urusan jabatan, baik dalam hal-hal spiritual maupun keduniaan, dan tindakan-tindakan, yang barangkali telah dilakukannya, tidak sah.
§ 5. Sesudah pemberitahuan pengukuhan orang yang terpilih memperoleh jabatan itu dengan hak penuh, kecuali ditentukan lain dalam hukum.


Artikel 4
POSTULASI

Kan. 180 - § 1. Kalau pemilihan orang yang oleh para pemilih dianggap paling cocok dan mereka utamakan, terhalang oleh suatu halangan kanonik yang dapat dan biasa diberi dispensasi, maka dengan suaranya mereka dapat mengajukan postulasi atas orang itu kepada otoritas yang berwenang, kecuali ditentukan lain dalam hukum.
§ 2. Mereka yang ditugaskan memilih tidak dapat mengajukan postulasi, kecuali hal itu ditegaskan dalam penugasan memilih.
Kan. 181 - § 1. Supaya postulasi mempunyai kekuatan hukum, di-tuntut sekurang-kurangnya dua per tiga dari suara.
§ 2. Suara untuk postulasi harus dinyatakan dengan kata: Saya mengajukan postulasi atau kata lain yang sama artinya; sedangkan rumus: saya memilih atau saya mengajukan postulasi, atau rumus lain yang sama artinya, berlaku untuk pemilihan kalau tidak ada halangan, berlaku untuk postulasi kalau ada halangan.
Kan. 182 - § 1. Dalam waktu-guna delapan hari postulasi harus dikirim oleh ketua kepada otoritas yang berwenang yang berhak untuk mengukuhkan pemilihan; otoritas itulah yang memberi dispensasi dari halangan itu, atau, kalau ia tidak mempunyai kuasa itu, memintanya kepada otoritas yang lebih tinggi; kalau pengukuhan tidak dituntut, postulasi harus dikirim kepada otoritas yang berwenang supaya diberi dispensasi.
§ 2. Kalau dalam waktu yang ditentukan postulasi tidak dikirim, maka dengan sendirinya tidak ada postulasi, dan untuk kali itu kolegium atau kelompok orang itu kehilangan hak memilih atau hak mengajukan postulasi, kecuali terbukti bahwa ketua terhambat mengirimkan postulasi itu karena halangan yang wajar, atau ketua telah tidak mengirimkannya tepat pada waktunya, entah karena kesengajaan atau karena kelalaian.
§ 3. Orang yang diajukan melalui postulasi tidak memperoleh hak apapun dari postulasi itu; otoritas yang berwenang tidak wajib menerimanya.
§ 4. Para pemilih tidak dapat menarik kembali postulasi yang telah diajukan kepada otoritas yang berwenang, kecuali dengan persetujuan otoritas itu juga.
Kan. 183 - § 1. Kalau postulasi tidak dikabulkan oleh otoritas yang berwenang, maka hak pilih kembali kepada kolegium atau kelompok orang itu.
§ 2. Kalau postulasi dikabulkan, hal itu harus diberitahukan kepada orang yang diajukan melalui postulasi dan ia harus memberikan jawaban menurut norma kan. 177, § 1.
§ 3. Orang yang menerima postulasi yang telah dikabulkan, pada saat itu juga memperoleh jabatan dengan hak penuh.


BAB II
KEHILANGAN JABATAN GEREJAWI

Kan. 184 - § 1. Seseorang kehilangan jabatan gerejawi dengan le-watnya batas waktu yang telah ditentukan, dengan mencapai batas umur yang ditetapkan dalam hukum, dengan peletakan jabatan, dengan pemindahan, dengan pemberhentian, dan juga dengan pemecatan.
§ 2. Kalau hak otoritas yang memberi jabatan terhenti dengan cara apapun, jabatan gerejawi itu tidak ikut terhenti, kecuali ditentukan lain dalam hukum.
§ 3. Hilangnya jabatan, yang mulai efektif itu, hendaknya secepat mungkin diberitahukan kepada semua pihak yang berwenang atas pemberian jabatan itu.
Kan. 185 - Gelar purnakarya dapat diberikan kepada orang yang kehilangan jabatan karena telah mencapai batas umur atau karena pengunduran diri dari jabatannya telah dikabulkan.
Kan. 186 - Kalau batas waktu yang ditentukan telah lewat atau batas umur telah dicapai, hilangnya jabatan mulai berlaku hanya sejak adanya pemberitahuan tertulis dari otoritas yang berwenang.


Artikel 1
PENGUNDURAN DIRI

Kan. 187 - Barangsiapa dapat bertanggungjawab atas tindakannya sendiri, dapat mengajukan pengunduran diri dari jabatan gerejawinya atas alasan yang wajar.
Kan. 188 - Pengunduran diri dari jabatan karena ketakutan besar yang dikenakan secara tidak adil, karena penipuan atau kekeliruan mengenai hal yang pokok ataupun karena simoni, tidak sah demi hukum itu sendiri.
Kan. 189 - § 1. Untuk sahnya, pengunduran diri dari jabatan, baik yang membutuhkan pengabulan atau tidak, harus dilakukan kepada otoritas yang berwenang memberi jabatan tersebut, dan itu harus dilakukan secara tertulis atau secara lisan di hadapan dua saksi.
§ 2. Otoritas itu janganlah mengabulkan pengunduran diri yang tidak berdasarkan alasan yang wajar dan memadai.
§ 3. Pengunduran diri dari jabatan yang membutuhkan pengabulan, tidak mempunyai kekuatan apapun kecuali dikabulkan dalam waktu tiga bulan; yang tidak membutuhkan pengabulan, mulai efektif sejak pemberitahuan oleh orang yang mengundurkan diri itu menurut norma hukum.
§ 4. Pengunduran diri dari jabatan dapat ditarik kembali oleh yang bersangkutan sebelum mulai efektif; sesudah mulai efektif, tidak dapat ditarik kembali, tetapi yang bersangkutan dapat memperoleh jabatan itu lagi atas dasar lain.


Artikel 2

PEMINDAHAN

Kan. 190 - § 1. Pemindahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhak memberikan jabatan yang telah hilang dan sekaligus jabatan yang akan dipercayakan.
§ 2. Kalau pemindahan tidak dikehendaki oleh pejabat yang bersangkutan, dituntut adanya alasan berat dan harus ditepati prosedur yang ditentukan dalam hukum, dengan selalu ada hak untuk menge-mukakan alasan-alasan keberatannya.
§ 3. Supaya efektif, pemindahan harus diberitahukan secara ter-tulis.
Kan. 191 - § 1. Dalam pemindahan, jabatan sebelumnya lowong dengan penerimaan jabatan lain secara kanonik, kecuali ditentukan lain dalam hukum atau oleh otoritas yang berwenang.
§ 2. Remunerasi yang terkait dengan jabatan sebelumnya masih diterima oleh orang yang dipindahkan, sampai memperoleh pemilikan jabatan lain secara kanonik.

Artikel 3

PEMBERHENTIAN

Kan. 192 - Seseorang diberhentikan dari jabatannya, baik dengan dekret yang dikeluarkan secara legitim oleh otoritas yang berwenang, dengan tetap memperhatikan hak-hak yang barangkali telah diperoleh dari kontrak, maupun oleh hukum sendiri menurut norma kan. 194.
Kan. 193 - § 1. Seseorang tidak dapat diberhentikan dari jabatan yang diberikan kepadanya untuk waktu yang tak terbatas, kecuali karena alasan-alasan yang berat dan telah ditepati prosedur yang ditentukan oleh hukum.
§ 2. Hal yang sama berlaku untuk dapat memberhentikan sese-orang dari jabatan yang diberikan kepadanya untuk waktu tertentu sebelum waktu itu lewat, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 624, § 3.
§ 3. Dari jabatan yang diberikan menurut ketentuan hukum atas pertimbangan arif otoritas yang berwenang, seseorang dapat diberhenti-kan atas alasan yang wajar, menurut penilaian otoritas itu juga.
§ 4. Supaya efektif, dekret pemberhentian harus diberitahukan secara tertulis.
Kan. 194 - § 1. Demi hukum itu sendiri diberhentikan dari jabatan gerejawi:
10 orang yang kehilangan status klerikal;
20 orang yang secara publik meninggalkan iman katolik atau perse-kutuan Gereja;
30 klerikus yang telah mencoba menikah walaupun secara sipil saja.
§ 2. Pemberhentian yang disebut dalam no. 2 dan 3 hanya dapat didesakkan, jika mengenai hal itu pasti dari pernyataan otoritas yang berwenang.
Kan. 195 - Kalau seseorang tidak karena hukum itu sendiri melainkan melalui dekret otoritas yang berwenang, diberhentikan dari jabatan yang memberi nafkah kepadanya, maka otoritas itu hendaknya mengusahakan agar nafkahnya dicukupi untuk jangka waktu yang layak, kecuali telah tercukupi dengan cara lain.

Artikel 4

PEMECATAN

Kan. 196 - § 1. Pemecatan dari jabatan, yaitu hukuman atas suatu kejahatan, hanya dapat dilakukan menurut norma hukum.
§ 2. Pemecatan menjadi efektif sesuai ketentuan-ketentuan kanon tentang hukum pidana.



JUDUL X

DALUWARSA

Kan. 197 - Daluwarsa, sebagai cara untuk memperoleh atau mele-paskan hak subyektif dan juga sebagai cara untuk membebaskan dari kewajiban, diterima oleh Gereja sebagaimana berlaku dalam perundang-undangan sipil negara yang bersangkutan, dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang ditentukan dalam kanon-kanon Kitab Hukum ini.
Kan. 198 - Tiada daluwarsa berlaku, kecuali didasari oleh itikad baik (bona fide), tidak hanya pada awal, melainkan juga selama seluruh jangka waktu yang dituntut untuk daluwarsa, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1362.
Kan. 199 - Tidak terkena daluwarsa:
10 hak dan kewajiban yang berasal dari hukum ilahi, baik kodrati maupun positif;
20  hak yang dapat diperoleh hanya atas dasar privilegi apostolik;
30 hak dan kewajiban yang secara langsung menyangkut hidup spiritual umat beriman;
40 batas-batas wilayah gerejawi yang pasti dan tidak dapat di-sangsikan;
50  derma (stips) dan kewajiban mempersembahkan Misa;
60 pemberian jabatan gerejawi yang menurut norma hukum menuntut pelaksanaan tahbisan suci;
70  hak visitasi dan kewajiban ketaatan, sedemikian sehingga umat beriman tetap dapat dikunjungi oleh otoritas gerejawi manapun dan tetap berada di bawah suatu otoritas.
JUDUL XI

PENGHITUNGAN WAKTU

Kan. 200 - Kecuali dengan jelas ditentukan lain dalam hukum, waktu dihitung menurut norma kanon-kanon berikut.
Kan. 201 - § 1. Waktu disebut terus-menerus bila tidak mengalami jeda.
§ 2. Yang dimaksud dengan waktu-guna ialah waktu yang tersedia bagi orang yang akan melaksanakan atau memperoleh haknya sedemikian, sehingga waktu tersebut tidak diperhitungkan bagi orang yang tidak tahu atau tidak mampu.
Kan. 202 - § 1. Dalam hukum hari dimengerti sebagai jangka waktu yang terdiri dari 24  jam dihitung terus-menerus, mulai dari tengah malam, kecuali dengan jelas ditentukan lain; minggu ialah jangka waktu 7 hari; bulan ialah jangka waktu 30 hari dan tahun ialah jangka waktu 365 hari, kecuali dikatakan bahwa bulan dan tahun harus dihitung menurut penanggalan.
§ 2. Kalau waktu berlangsung terus-menerus, bulan dan tahun harus selalu dihitung menurut penanggalan.
Kan. 203 - § 1. Hari pertama (dies a quo) tidak dihitung dalam jangka waktu, kecuali permulaannya jatuh bersamaan dengan per-mulaan hari atau dengan jelas ditentukan lain dalam hukum.
§ 2. Kecuali ditentukan kebalikannya, hari terakhir (dies ad quem) dihitung dalam jangka waktu; kalau waktu terdiri dari satu atau beberapa bulan atau tahun, dari satu atau beberapa minggu, maka jangka waktu itu berakhir sesudah selesai hari terakhir dari tanggal yang sama; atau, kalau bulan tidak mempunyai hari dengan tanggal yang sama, dihitung dengan selesainya hari terakhir bulan itu.

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.