Header Ads

Terang Sabda

Sabda Allah : Inspirasi Roh Kudus

Allah Roh Kudus mewahyukan dan mengkomunikasikan sabda Allah pada semua manusia. Bagi orang-orang Kristen, Roh Kudus melaksanakan peran tersebut dengan dua cara, melalui penerusan yang hidup (disebut sebagai Tradisi), dan dalam tulisan (disebut Kitab Suci).

“Gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui kitab suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun Kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama” (Dei Verbum, 9).

Meskipun pendekatan kaum literalis atau fundamentalis dari beberapa gereja Kristen menerima penafsiran pribadi atas teks-teks Kitab Suci, Konsili Vatikan II mengajarkan pada orang Katolik bahwa Roh Kudus telah mempercayakan “tugas untuk menafsirkan secara otentik sabda Allah yang tertulis dan diturunkan itu dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup, yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus” (DV 10).

Hasil pendekatan “hanya Kitab Suci” (sola scriptura) secara historis terlihat dalam perpecahan Tubuh Kristus, dengan ribuan kelompok yang saling terpisah. Masing-masing kelompok mengikuti pengadiran mereka sendiri atas berbagai teks Kitab Suci. Padahal, Yesus sendiri menghendaki persatuan nyata semua muridnya, “supaya dunia percaya” kepadaNya (lih Yoh 17:21). St. Paulus juga mengajarkan, “berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera : satu tubuh, dan satu Roh, … satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, …” (Ef 4:3 dst).

Supaya makin memahami dengan lebih baik hal ini, marikan kita kembali menengok zaman Yesus. Roh Kudus melahirkan Gereja pada hari minggu Pentakosta (sekitar tahun 30 M), dan memampukannya untuk mewartakan Injil sampai ke ujung-ujung bumi. Namun selama 35-40 tahun awal keberadaannya, Gereja yang baru terlahir ini tidak mempunyai satupun Injil yang tertulis. Gereja Perdana hanya mempunyai Warta Gembira Yesus Kristus yang hidup dalam kenangan para rasul dan murid-murid pertama. Roh Kudus menjadi jaminan bahwa orang-orang terpilih ini meneruskannya dengan setia, dari mulut ke mulut, dari satu orang beriman pada orang beriman lainnya dan dari satu komunitas ke komunitas beriman lainnya (“tradisi lisan”). Paulus menegaskan, “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, …” (1 Kor 15:3; lih juga 11:23). [Kata dalam bahasa Yunani yang digunakan oleh Paulus adalah “paredoka,” dalam bahasa Latin : “traditio.”] Ia selalu menyemangati jemaat Kristen perdana : “Berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami (“paradoseis”), baik secara lisan, maupun secara tertulis” (2 Tes2:15).

Dalam masa tahun-tahun-tahun pertama Kristianitas itu, para rasul melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, dan mendirikan jemaat-jemaat baru di tempat tersebut. Di sana, mereka merayakan Ekaristi setiap minggu, dan menggunakan kebijaksanaan yang dianugerahkan Roh Kudus kepada mereka untuk membentuk ritus-ritus dan adat kebiasaan liturgis, kemudian menyelaraskannya dengan kebudayaan dan bahasa setempat, dst. Dengan demikian, liturgi dan adat kebiasaan gereja-gereja perdana tidaklah seragam namun beraneka ragam satu sama lain, tergantung pada tempat di mana mereka berada : Asia Minor, Afrika, atau Eropa. Dengan cara ini, beberapa tradisi disipliner dan liturgis (terkait dengan moralitas perceraian, pengaturan kelahiran, dll, serta berkaitan dengan perayaan sakramen-sakramen) lahir dalam Gereja perdana, sejalan dengan kehendak Kristus sendiri. Tidak semua hal ini tercatatkan dalam Perjanjian Baru, karena tujuan penulisan Injil dan surat-surat bukanlah sebagai sebuah “Ensiklopedi Kristiani” namun untuk mewartakan Kabar Baik (kerygma) secara efektif. Lihat Yoh 20:30dst dan 21:25.

Roh Kudus, yang bisa dianggap sebagai Panglima Trrtinggi Gereja (lihat Kisah Para Rasul), kemudian menggerakkan para Rasul untuk memilih para tua-tua atau uskup yang memimpin gereja-gereja perdana ini, dan itulah tanggung jawab utama para uskup tersebut, yaitu sebagai penerus para Rasul, untuk melindungi kemurnian tradisi apostolis berkaitan dengan hidup dan ajaran Yesus. Maka St. Paulus menulis pada Timotius, seorang uskup baru : “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain” (2 Tim 2:2; lihat juga 1 Tim 1:3-7).

[Katekismus Gereja Katolik art 83 mengingatkan kita bahwa “Tradisi besar harus dibedakan dengan berbagai tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis atau religius yang dalam perjalanan waktu selama beberapa abad kemudian terlahir di Gereja-gereja setempat. Tradisi-tradisi ini merupakan bentuk-bentuk khusus dari Tradisi besar yang disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dalam terang Tradisi besar dan di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja (magisterium), tradisi-tradisi konkret itu dapat dipertahankan, diubah, atau juga dihapus.”]

Roh Kudus akhirnya menginspirasikan para penulis suci (25-70 tahun kemudian) untuk menuliskan surat-surat Perjanjian Baru dan Keempat Injil, dan mengedarkannya di antara jemaat perdana. Allah juga menuntutn para uskup gereja perdana untuk menyatakan tulisan manakah (di antara begitu banyak tulisan) yang menyampaikan dengan setiap ajaran-ajaran para rasul dan tulisan manakah yang tidak setia pada ajaran para rasul. Para uskup secara bertahap mengumpukan kanon (daftar resmi) dari tulisan-tulisan yang diinspirasikan Roh Kudus, yang diterima sebagai sabda Allah tertulis bagi seluruh Gereja. Misalnya, Roh Kudus tidak memperkenankan “Injil menurut St. Thomas” untuk tercantum dalam daftar itu; tulisan-tulisan semacam itu disebut tulisan-tulisan apokrip (baik namun bukan tulisan normatif).

Daftar terakhir dari kitab-kitab seperti yang kita punyai dalam Kitab Suci kita sekarang ini dihasilkan oleh Konsili Ekumenis Kartago pada tahun 397 M. “Kitab Suci orang Kristen” ini diselesaikan secara definitif dan dengan suara bulat digunakan oleh semua orang Kristen selama 1.500 tahun pertama Kristianitas. Hanya pada tahun 1540, para pemimpin reformasi protestan memutuskan untuk meniadakan 7 kitab Perjanjian Lama yang sebenarnya merupakan bagian dari Kitab Suci berbahasa Yunani (Septuaginta).

Lagi pula, ketika timbul perdebatan dalam Gereja tentang makna dan penafsiran yang tepat akan berbagai teks Kitab Suci, Roh Kudus memberi inspirasi pada para Uskup untuk mengadakan pertemuan-pertemuan khusus (sinode, konsili) untuk mendiskusikan dan menyelesaikan permasalahan ini, misalnya saja Konsili Yerusalem yang diadakan oleh jemaat perdana (“Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami, supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban dari pada yang perlu ini” – Kis 15:28). Beberapa ajaran pokok iman Kristiani yang sekarang terkandung dalam Syahadat Iman Nikea dirumuskan dalam ketujuh Konsili Ekumenis pertama (sampai tahun 787 M), 700 tahun sebelum Reformasi Protestan mendeklarasikan prinsip barunya, “Sola Scriptura” (hanya kitab suci).

Yesus sendiri berkata, “Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, … apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran” (Yoh 16:12, 13). Gereja selalu mengimani bahwa kata-kata ini terpenuhi dalam tugas pengajaran dari para uskup. Para uskup, terutama berkumpul bersama dalam suatu Konsili Ekumenis, “tidak dapat mengajarkan kesesatan” karena Yesus menjanjikan bahwa “alam maut (hades) tidak akan menguasainya (gereja)” (Mat 16:18). Contoh terbaru dari berkumpulnya para uskup sedunia adalah Konsili Vatikan II (1962-1965) yang, dengan inspirasi Roh Kudus, telah memainkan peran yang sangat luar biasa dalam menampilkan iman Kristiani sejak gereja perdana hingga di zaman modern sekarang ini.

St. Petrus mengingatkan bahwa dalam tulisan-tulisan Paulus : “ada hal-hal yang yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain. Tetapi kamu, saudara-saudaraku yang kekasih, kamu telah mengetahui hal ini sebelumnya. Karena itu waspadalah, supaya kamu jangan terseret ke dalam kesesatan orang-orang yang tak mengenal hukum, dan jangan kehilangan peganganmu yang teguh” (2Ptr 3:16 dst). Supaya jangan sampai terjadi salah penafsiran semacam itu, Yesus mempercayakan sabdaNya bukannya pada satu orang murid tertentu saja namun pada Gereja yang dibangun di atas dasar Petrus dan para rasul. Kemudian, para rasul ini menunjuk para uskup sebagai penerus mereka, dan memberikan pada mereka, melalui penumpangan tangan (lih 2 Tim 1:6), otoritas yang sama untuk mengajar di bawah bimbingan Roh Kudus. “Wewenang mengajar yang hidup” (magisterium) dari para uskup selama lebih dari 200 tahun ini memampukan 1 Milyar orang Katolik tetap bersatu dalam Gereja yang “satu, kudus, katolik dan apostolik”.

Konsili Vatikan II menjelaskan bahwa magisterium para uskup “Wewenang Mengajar itu tidak berada diatas sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipeliharanya dengan suci dan diterangkannya dengan setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah. Maka jelaslah tradisi suci, Kitab suci dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang mahabijaksana, saling berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak dapat ada tanpa kedua lainnya, dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan caranya sendiri, dibawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi keselamatan jiwa-jiwa” (DV 10).

“Roh Kudus tidak ingin hanya sekedar menjaga integritas sabda Allah. Ia juga ingin membuat sabda Allah itu menjadi sangat berbuah dalam kehidupan orang beriman ! Oleh karena itu, di tahun-tahun belakangan ini, Roh Kudus telah menginspirasikan para Bapa Konsili Vatikan II untuk mendorong setiap orang Kristen Katolik untuk membaca sabda Allah sesering mungkin dan dengan penuh hormat, menyatkan bahwa Kitab Suci merupakan karunia Allah pada setiap murid Yesus Kristus : Adapun demikian besarlah daya dan kekuatan sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-puteri Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani. … Maka semoga dengan demikian melalui pembacaan dan studi Kitab suci “sabda Allah berjalan terus dan dimuliakan” (2Tes 3:1), perbendaharaan wahyu yang dipercayakan kepada Gereja semakin memenuhi hati orang-orang. Seperti hidup Gereja berkembang karena Umat sering dan dengan rajin menghadiri misteri Ekaristi, begitu pula boleh diharapkan dorongan baru dalam hidup rohani karena sabda Allah yang “tinggal selama-lamanya” (Yes 40:8; lih. 1Ptr 1:23-2) semakin dihormati” (DV 21. 26).

Selama 40 tahun terkahir, Roh Kudus membawa kebangkitan cinta akan Kitab Suci yang sungguh luar biasa di tingkat akar rumput dalam Gereja. Hal itu membawa pada penerbitan banyak Kitab Suci dan terbentuknya ribuan kelompok pendalaman Kitab Suci. Melalui hal-hal itu, Roh Kudus membawa kekuatan dan daya hidup yang baru pada Tubuh Kristus. Semoga segera datanglah hari di mana setiap orang Kristen Katolik dengan bersungguh-sungguh bisa mengatakan : “Sabda Allah adalah buku peganganku dalam bacaan rohani dan doaku sehari-hari !”

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.