Header Ads

Terang Sabda

Kisah tulah-tulah (Kel 4:18 – 7: 13)


Tantangan pertama tugas perutusan Musa demi pembebasan bangsa Israel adalah menghadapi kekerasan hati Firaun. Allah lewat Musa, hambaNya itu, menanggapi kekerasan hati Firaun dengan tulah-tulah. Maka, kisah tulah menjadi pertandingan dramatis antara Yahwe, Tuhan pembebasan, melawan Firaun, kuasa penindasan. “Tulah-tulah” merupakan serangkaian “tanda ajaib” di mana kuasa Yahwe yang mempesonakan ditunjukkan pada dunia, dirancang untuk membuat gentar Firaun, dan bertujuan supaya Negeri Mesir melihat bahwa kehendak Allah akan pembebasan dan keadilan tak dapat ditahan lagi[1]. Karena episode-episode dalam kisah tulah-tulah ini sangat sesuai dengan tata cara liturgis, selalu berulang, dan berpuncak pada kekuatan dramatiknya, Johannes Pedersen mengatakan bahwa drama ini paling masuk akal ditempatkan dalam liturgi paskah[2]. Drama yang terus menerus dihidupkan lagi ini membuat peristiwa-peristiwa itu mampu membangkitkan “imajinasi Paskah” : Yahwe adalah Allah yang membebaskan bangsa Israel dan juga banyak bangsa lain (lih Amos 9:7)[3]. Karena itu, tidak terlalu relevanlah mencoba menjelaskan peristiwa-peristiwa ini secara ilmiah dan historis. Penjelasan macam itu tidak mampu menyentuh permasalahan dasar teks tentang tulah-tulah. Kisah ini bukannya mau menekankan bahwa sejumlah peristiwa ajaib telah terjadi, namun justru mau memberi kesaksian bahwa Yahwe sang pencipta menggerakkan semua ciptaanNya demi pembebasan umatNya[4]. Dan di sisi lain, kisah ini juga menunjukkan bahwa tindakan manusiawi Musa sungguh menentukan. Maka dalam pembebasan yang penuh keajaiban itu, peran penting Musa tidak bisa diabaikan[5]. Pembebasan Yahwe bagi bangsa Israel terjadi dengan tindakan manusiawi Musa. Dalam merealisasikan pembebasan Yahwe itu, Musa menghadapi tantangan : meyakinkan bangsa Israel akan perutusannya dan meyakinkan Firaun akan kehendak Yahwe.

5.1 Tantangan I : meyakinkan bangsa Israel akan perutusan Musa
Kisah tentang kembalinya Musa ke Mesir serta pertemuan Musa dan Harun dengan para tua-tua dan bangsa Israel yang menghasilkan kepercayaan bangsa Israel akan kehadiran Yahwe bersama mereka dan ibadah mereka padaNya (Kel 4:18-31) mempersiapkan tindakan hebat pembebasan bangsa itu[6]. Rencana pembebasan Yahwe disampaikan dan serangkaian tanda-tanda mukjizat yang dikuasakan Yahwe pada Musa saat panggilannya didemonstrasikan di hadapan bangsa Israel. Mereka pun percaya. Meskipun bangsa Israel akan ragu-ragu lagi, kepercayaan itu merupakan penegasan akan kuasa yang diberikanYahwe (Kel 4:3-8) melawan kekuatiran Musa (Kel 4:1). Ay 31 dengan demikian merupakan sebuah kesimpulan positif atas kisah dalam bab 3-4 dengan suatu laporan bahwa bangsa itu percaya pada Musa dan Yahwe[7].

5.2 Tantangan II : meyakinkan Firaun akan kehendak Yahwe
Negosiasi dengan Firaun dikisahkan dalam Kel 5:1-6:1. Struktur perikop ini terbangun dari tiga subseksi 5:1-4; 5:5-19 dan 5:20-6:1. Bagian pertama (5:1-4) dan terakhir (5:20-6:1) menggambarkan peran Musa dan Harun dalam proses negosiasi dengan Firaun. Perikop kedua (5:5-19) menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam negosiasi itu terjadi tanpa Musa (dan Harun)[8].

5.2.1 Musa dan Harun
Kel 5:1-4 muncul dalam pola dialog antara Firaun dan lawannya, Musa dan Harun. Kalimat pembukaan mempresentasikan konfrontasi pertama terhadap Firaun dengan tuntutan akan pembebasan Israel. Hal ini didahului dengan rumusan: ”Beginilah firman TUHAN, Allah Israel”. Otoritas atas tuntutan ini tidak berasal dari Musa sendiri. Ia mengantarai kehendak dan otoritas ilahi. Tuntutan itu sendiri dibangun dengan pendekatan imperatif, perintah, bukannya membujuk ataupun meminta[9]. Dengan terus terang dikatakan : ”Biarkanlah umat-Ku pergi untuk mengadakan perayaan bagi-Ku di padang gurun” (Kel 5:1). Dalam kalimat ini ini, Musa hanya berfungsi sebagai utusan Tuhan yang berbicara dengan otoritas dariNya.

Firaun menanggapi tuntutan itu dengan penolakan. Firaun bukanlah seorang ateis ataupun agnostik ataupun monoteis. Ia adalah orang yang sangat religius, dengan bermacam-macam dewa-dewi Mesir yang disembahnya[10]. Sebagai wakil bangsa, Firaun harus mengantarai, menghunjukkan korban, dan berurusan dengan para imam dewa-dewi ini. Maka, bagian pertama dari kalimat dalam ay 2a merupakan sebuah penghinaan : ”Siapakah TUHAN itu yang harus kudengarkan firman-Nya untuk membiarkan orang Israel pergi?” (Kel 5:2). Firaun menganggap Allah Israel sebagai dewa bangsa asing yang tak berhubungan atau bersangkut paut dengan dirinya. Firaun tidak menolak keberadaanNya. Ia menghormatiNya sebagai Allah bangsa asing namun, sebagai penguasa Mesir, ia menolak allah asing ikut campur urusan orang Mesir[11]. Penolakan tersebut kemudian dinyatakan dalam ay 2b. Di sini, narasi tersebut dibangun dalam kontras dengan pernyataan tentang relasi intim Tuhan dengan Israel dalam Kel 3:7. Dalam ay 1, Tuhan mengetahui penderitaan Israel. Sedang dalam ay 2, Firaun tidak mengenal Tuhan. Karena kata ‘mengetahui’ (= mengenal) mengandung arti keintiman relasi antara Allah dan Israel, maka menolaknya berarti menolak keintiman relasi dengan Yahwe[12]. Penolakan terhadap keintiman relasi itu merupakan penolakan untuk mengakui otoritas tuntutan tersebut : baik terhadap Musa yang menyampaikan tuntutan maupun Yahwe yang menjadi sumber tuntutan. Penolakan tersebut membuat Musa, sang negosiator, mengajukan alasan lain dalam ay 3.

Kalimat Musa dalam ay 3 sangat kontras dengan kalimat pertamanya. Meskipun tidak disusun dalam gaya bahasa penuh sopan santun, namun dari cara bicaranya kalimat ini meninggalkan pola imperatif dari kalimat dalam ay 1[13]. Ini bukanlah perintah dari TUHAN. Tidak ada rumus perutusan. Kalimat ini diucapkan Musa, Harun dan bangsa Israel dengan memakai kata ganti orang pertama plural. Kalimat ini dimulai dengan pernyataan tegas tentang syarat permintaan berikutnya. Permintaan itu sendiri sekarang menjadi permohonan yang bernada mendesak : ”Izinkanlah kiranya kami pergi ke padang gurun tiga hari perjalanan jauhnya, untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN, Allah kami” (Kel 5:3). Permintaan itu dibungkus dengan klausa pendukung lainnya untuk memberikan pembenaran bagi permintaan itu dengan menunjukkan motivasi desakan : ”... supaya jangan nanti mendatangkan kepada kami penyakit sampar atau pedang.” Namun, akibat dari permintaan ini lebih hebat dari pada permintaan yang pertama. Ay 4 ditujukan langsung pada Musa dan Harun. Polanya bukan penghinaan dan penolakan seperti dalam ay 2, namun lebih sebagai tuduhan yang menyudutkan Musa dan Harun : ”Musa dan Harun, mengapakah kamu bawa-bawa bangsa ini melalaikan pekerjaannya? Pergilah melakukan pekerjaanmu!” (Kel 5:4).

Permintaan memang ditolak dan negosiasi gagal, namun teks ini membentuk gambaran khas tentang Musa. Karakteristik yang mencolok dari permintaan tersebut adalah indentifikasi antara Musa dan bangsa Israel[14]. Dengan demikian, pola plural dari kata kerja tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa subyek tuntutan itu mencakup baik Musa, Harun, maupun seluruh bangsa Israel. Mereka semua harus pergi ke padang gurun untuk beribadat.

5.2.2 Para mandor Israel
Firaun menjatuhkan kerja paksa baru pada bangsa itu. Musa dan Harun sepenuhnya mundur ke belakang. Sekarang orang-orang Ibrani harus mengumpulkan jerami mereka sendiri untuk memenuhi kuota pembuatan batu bata. Negosiasi diperbaharui, namun negosiasi ini dilakukan di bawah kepemimpinan para mandor dan bukannya Musa dan Harun. Tujuannya pun sudah berubah. Negosiasi ini tidak lagi ditujukan demi kebebasan mempersembahkan korban namun hanya untuk mengembalikan situasi bangsa Israel pada situasi semula. Negosiasi yang dilakukan oleh para mandor tersebut hasilnya sama buruknya dengan negosiasi yang dibuat Musa dan Harun. Mereka juga gagal. Dan akibatnya, beban bangsa itu masih berat.

Waktu para mandor meninggalkan Firaun, berjumpalah mereka dengan Musa dan Harun, yang sedang menantikan mereka. Isi pertemuan itu diungkapkan dengan suatu tuduhan pada Musa (dan Harun): “Kiranya TUHAN memperhatikan perbuatanmu dan menghukumkan kamu, karena kamu telah membusukkan nama kami kepada Firaun dan hamba-hambanya dan dengan demikian kamu telah memberikan pisau kepada mereka untuk membunuh kami” (Kel 5:21). Hanya Musa yang menjawab tuduhan itu. Namun bukannya menjawab para penuduh, ia malah meratap pada Allah : “Tuhan, mengapakah Kauperlakukan umat ini begitu bengis? Mengapa pula aku yang Kauutus? Sebab sejak aku pergi menghadap Firaun untuk berbicara atas nama-Mu, dengan jahat diperlakukannya umat ini, dan Engkau tidak melepaskan umat-Mu sama sekali” (Kel 5:22-23). Yahwe menjawab ratapan Musa : “Sekarang engkau akan melihat, apa yang akan Kulakukan kepada Firaun; sebab dipaksa oleh tangan yang kuat ia akan membiarkan mereka pergi, ya dipaksa oleh tangan yang kuat ia akan mengusir mereka dari negerinya” (Kel 6:1). Jawaban Yahwe itu menunjukkan bahwa hasil dari usaha itu tidak akan datang sebagai hasil dari negosiasi, namun lebih sebagai hasil dari intervensi ilahi[15].

5.2.3 Allah turun Tangan : 10 tulah
Teks tentang Keluaran yang kita terima menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas Musa terbentang melalui serangkaian tanda-tanda dan keajaiban yang berpuncak pada peristiwa Paskah : Firaun mengusir bangsa Israel dengan penuh rasa putus asa karena kematian putra sulungnya[16]. Struktur rangkaian kisah itu mendukung asumsi ini. Pergantian episode memperlawankan Musa (dan Harun) dengan Firaun dalam negosiasi alot demi pembebasan bangsa. Masing-masing adegan selalu dimulai dengan sabda Tuhan, yang ditujukan pada Musa atau Musa dan Harun bersama-sama. Sabda itu berisi perintah untuk mengadakan suatu tanda. Umumnya, namun tidak dalam tiap kesempatan, perintah tersebut mengutus Musa atau Musa dan Harun pada Firaun untuk bernegosiasi supaya diperkenankan pergi dari negeri itu bersama bangsanya. Musa menuntut supaya diizinkan untuk membawa bangsa itu ke padang gurun untuk ‘melayani’ Tuhan (Kel 7:15.25; 8:15; 9:1.13;10:30). Namun, Firaun selalu mengeraskan hatinya atau Tuhan mengeraskan hati Firaun. Muncullah serangkaian konsesi. Pada mulanya, konsesi tersebut sangat terbatas. Firaun setuju untuk membiarkan bangsa itu pergi untuk mempersembahkan korban seperti yang telah mereka minta (8:4). Namun ketika tulah berakhir, Firaun menarik kembali konsesinya (8:11). Ia setuju untuk membiarkan bangsa itu mempersembahkan korban, namun hanya di negeri Mesir (8:25); atau ia setuju untuk membiarkan bangsa itu pergi ke padang gurun, namun tidak boleh terlalu jauh (8:28); atau ia setuju untuk membiarkan para lelaki pergi kemanapun mereka mau (9:11); atau ia setuju untuk membiarkan bangsa itu beserta seluruh keluarganya, namun mereka harus meninggalkan kambing domba dan lembu sapi milik mereka (10:24).

Firaun yang keras hati begitu membatasi konsesinya sehingga Musa tidak mau menerima syarat-syaratnya. Firaun menjadi keras kepala bukan hanya karena ia adalah orang yang keras hati; namun juga karena ia mempunyai praduga bahwa Musa berencana untuk mencuranginya[17]. Maka, dalam 10:10 ia menolak konsesi yang diinginkan Musa : “Lihat, jahatlah maksudmu!” Secara tetap, masing-masing adegan menunjukkan bahwa negosiasi dan tindakan-tindakan hebat gagal. Maka rangkaian itu bergerak dari satu tanda pada tanda berikutnya.

5.3 Peristiwa Keluaran sebagai tindakan Allah dan tindakan Musa
Tradisi tulah mengalami perubahan luas dalam hal kesejarahannya[18]. Perluasan itu menghasilkan ambiguitas struktur  narasinya dalam teks Keluaran. Pada mulanya tradisi ini mempresentasikan negosiasi Musa dengan Firaun yang berakhir dengan kegagalan dan antisipasi bagi pelarian dengan tergesa-gesa tanpa izin dari Firaun. Hal ini mencatat usaha Musa dan Harun untuk memperoleh pembebasan bagi bangsa Israel dengan negosiasi penuh tekanan, yang berakhir dengan tekanan yang paling dahsyat : kematian semua anak sulung Mesir. Dengan peristiwa ini, tujuan negosiasi tercapai. Firaun mengusir orang Israel. Kemudian, muncullah bentuk kedua tradisi keluaran yaitu tradisi paskah. Versi Paskah dari kisah itu memberi fokus utama pada intervensi Allah. Musa dan Harun hanya menjadi fasilitator peristiwa itu. Namun, pelarian dengan penuh ketergesa-gesaan menggabungkan intervensi ilahi dengan gambaran heroik Musa[19]. Musa memanggil bangsanya untuk pergi di bawah kepemimpinannya, tanpa izin atau bahkan sepengetahuan Firaun. Permasalahan ambiguitas itu menjadi jelas dalam pertanyaan manakah puncak peristiwa keluaran dan kapankah terjadi keluaran : peristiwa paskah ataukah peristiwa laut merah ? Dan pertanyaan selanjutnya yang relevan adalah peristiwa keluaran terjadi karena tindakan Allah ataukah tindakan Musa ? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan memperjelas peran dan posisi Musa dalam peristiwa keluaran.

5.3.1 Negosiasi yang gagal dan Paskah sebagai puncak rangkaian tulah
Dalam struktur kisah tulah-tulah, ciri khas yang paling menonjol adalah penggambaran negosiasi yang berakhir dengan kegagalan[20]. Tema kekerasan hati Firaun menekankan kegagalan itu. Pembukaan rangkaian negosiasi dalam Kel 5 menunjukkan bahwa tradisi negosiasi sejak awal sudah meramalkan kegagalan negosiasi Musa dengan Firaun. Hal ini makin jelas dalam 10:28-29. Ayat-ayat itu mengungkapkan pemecahan akhir negosiasi. Tuhan memerintahkan Musa untuk mengadakan satu tulah lagi. Tulah terakhir ini memberi tekanan yang cukup kuat pada Firaun untuk membiarkan bangsa Israel pergi : “Bangunlah, keluarlah dari tengah-tengah bangsaku, baik kamu maupun orang Israel; pergilah, beribadahlah kepada TUHAN, seperti katamu itu. Bawalah juga kambing dombamu dan lembu sapimu, seperti katamu itu, tetapi pergilah! Dan pohonkanlah juga berkat bagiku” (Kel 12:31-32).

Susunan rangkaian tulah dengan kegagalan negosiasi yang sudah diramalkan sejak awal menunjukkan bahwa episode Paskah merupakan bagian dari rangkaian tanda tersebut: TUHAN memerintahkan Musa untuk mengantisipasi satu tulah lagi. Tidak ada perintah pada Musa untuk menghadap Firaun dan memperingatkannya akan tulah dan bernegosiasi demi pembebasan bangsa itu. Adegan tersebut jelas-jelas merupakan semacam peringatan. Dengan demikian, perkataan Musa memaklumkan tulah dalam ay 4 merupakan bagian dari proses peristiwa itu sendiri. Ay 8b menunjukkan dengan jelas bahwa pemakluman tersebut terjadi di hadapan Firaun dan bahwa peristiwa itu kembali membawa rasa frustrasi. Maka, puncak negosiasi berupa meningkatnya tekanan fisik, politis dan religius untuk mendukung tuntutan itu muncul dalam Kel 12. Dalam ay 29-32 Firaun menyetujui tuntutan bangsa Israel. Dan ay 32 menandai puncaknya. Kemudian ay 33-36 mengkisahkan pelaksanaan perintah tersebut.

Dalam susunan tulah yang berpuncak pada peristiwa paskah, peristiwa keluaran bukanlah hasil dari negosiasi Musa, namun lebih sebagai konsekuensi dari perayaan yang tepat ritual Paskah[21]. Ay 28 mengeksplisitkannya : “Pergilah orang Israel, lalu berbuat demikian; seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa dan Harun, demikianlah diperbuat mereka.” Rumusan laporan pelaksanaan perintah yang terkait dengan beberapa perkataan sebelumnya ini menempatkan peristiwa itu sebagai puncak rangkaian tulah. Paralelnya dalam ay 50-51 menunjukkan hubungan tersebut dengan jelas : “Seluruh orang Israel berbuat demikian; seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa dan Harun, demikianlah diperbuat mereka. Dan tepat pada hari itu juga TUHAN membawa orang Israel keluar dari tanah Mesir, menurut pasukan mereka.” Dengan demikian, peristiwa keluaran terjadi ketika Israel melakukan ritual secara tepat. Ini adalah peristiwa kultis. Musa (dan juga Harun) memang memainkan peranan dalam peristiwa itu. Namun yang lebih mau ditegaskan adalah bahwa Allah bertindak untuk menyelamatkan umatNya ketika mereka memelihara iman mereka dalam tindakan ritual.

5.3.2 Peristiwa Laut Merah sebagai puncak tulah dan saat keluaran
Berkebalikan dengan tradisi paskah sebagai puncak tulah dan saat keluaran, Kel 11:10 menunjukkan bahwa tanda-tanda itu merupakan karya Musa dan Harun[22]. Dan Ul 34:10-12 secara khusus memuji-muji Musa atas serangkaian tanda-tanda itu : “... tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel, dalam hal segala tanda dan mujizat, ... dan dalam hal segala perbuatan kekuasaan dan segala kedahsyatan yang besar yang dilakukan Musa di depan seluruh orang Israel.”

Teks Keluaran menggambarkan keberangkatan bangsa Israel sebagai suatu pelarian tanpa sepengetahuan orang Mesir atau Firaun, namun dengan barang rampasan yang didapat dengan tipu muslihat yang tidak disadari oleh para pemilik budak. Mengapa orang Mesir menjadi demikian mudah memberikan barang rampasannya tanpa mencurigai maksud sebenarnya dari bangsa Israel ? Teks tidak memberikan jawaban historis terhadap pertanyaan itu. Teks justru memberikan sebuah jawaban teologis : “TUHAN membuat orang Mesir bermurah hati terhadap bangsa itu” (Kel 11:3). Namun pada saat yang sama, teks mengkombinasikan jawaban teologisnya dengan gambaran : “Lagipula Musa adalah seorang yang sangat terpandang di tanah Mesir, di mata pegawai-pegawai Firaun dan di mata rakyat.” Penjarahan itu bisa terjadi karena Allah campur tangan dan juga karena Musa mempunyai reputasi yang baik di tanah itu. Kedua penyebab itu berjalanan beriringan. Keluaran terjadi ketika, dengan campur tangan Allah dan reputasi Musa, bangsa itu mematuhi Musa dan merampasi orang-orang Mesir (12:34-36). Tradisi kedua ini sesuai dengan narasi tulah yang berpuncak pada peristiwa di Laut Merah.[23]

5.3.3 Tindakan Allah menjadi nyata dalam tindakan Musa
Pokok permasalahan dalam tradisi tentang keluaran sebagai hasil dari campur tangan Allah dan reputasi Musa berbeda dari permasalahan yang meliputi kisah tulah-tulah. Tradisi ini lebih cocok dengan pola narasi yang menggambarkan Musa sebagai sang pahlawan yang pekerjaannya melengkapi tindakan dahsyat Allah. Dalam tradisi itu, tanda-tanda dan keajaiban yang dibuat oleh Allah cenderung dihubungkan dengan tanda-tanda dan keajaiban yang dibuat oleh Musa. Hal ini menegaskan bahwa peristiwa keluaran terjadi sebagian karena ‘Musa’ ditakuti oleh para pelayan Firaun.

Persoalannya bukanlah soal apakah Musa membuat tulah tanpa bantuan Yahweh ataukah Yahweh sendiri melakukan pekerjaan itu tanpa Musa. Permasalahannya adalah bagaimana memahami hubungan berbelit-belit antara Musa sebagai pemimpin bangsa dan wakil Allah pada Firaun dan Yahweh sebagai pengutus Musa pada Firaun[24]. Ketika Musa berbicara pada Firaun, ia melakukannya dalam nama Allah. Hal ini diperjelas dengan rumus perutusan. Firman Yahweh disampaikan Musa pada Firaun. Kemudian ketika Musa bertindak, tindakannya dianggap sebagai tindakan Allah. Hal yang sama juga terjadi pada Hosea. Ketika ia memaklumkan rekonsiliasi dengan perempuan yang ia cintai, tindakan itu diakui seperti tindakan Allah pada umatNya yang Ia cintai (Hos 3,1). Demikian juga dalam Hosea 2, deskripsi perceraian Hosea dan Gomer diterapkan pada Yahweh dan Israel. Perceraian Hosea menunjuk pada perceraian Yahweh dengan Israel[25]. Allah bertindak. Dan tindakan Allah itu menjadi nyata dalam tindakan Musa.

[1] W. Brueggemann, Exodus, I, The New Interpreter’s Bibble, Abingdon Press, Nashville 1994, 722
[2] J. Pedersen, Israel, 728-737 seperti dikutip oleh W. Brueggemann, Exodus, 722
[3] W. Brueggemann, Exodus, 722
[4] W. Brueggemann, Exodus, 722
[5] W. Brueggemann, Exodus, 723
[6] J.I. Durham, Exodus, III, Word Biblical Commentary, Word Books Publisher, Dallas 1987, Logos Library System
[7] J.I. Durham, Exodus, Logos Library System
[8] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, JSOT Supplement Series 57, Sheffield Academic Press, Sheffield 1988, 81
[9] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 81
[10] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations (translated by Dinah Livingstone), St. Paul Publications, Middlegree 1990, 75
[11] L.A. Schökel – G. Gutiérrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 75
[12] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 82
[13] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 82
[14] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 83
[15] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 84
[16] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 89
[17] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 89
[18] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 108
[19] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 108
[20] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 89
[21] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 90
[22] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 91
[23] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 97
[24] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 99
[25] G. von Rad, Old Testament Theology. The Theology of Israel’s Prophetic Traditions, (translated by D.M.G. Stalker), Harper & Row, New York 1965, 95-96

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.