Header Ads

Terang Sabda

Kisah Panggilan dan Perutusan Musa

Musa dan Semak Duri Yang Menyala

Pola kisah dalam Kel 3:1-4:31 menonjolkan kombinasi (1) perutusan bagi pihak yang dipanggil oleh pihak yang lebih tinggi, (2) keberatan pada perutusan tersebut oleh pihak yang dipanggil, (3) penghiburan dan jaminan keberhasilan dari pihak yang lebih tinggi, dan (4) beberapa petunjuk penerimaan dan keberhasilan perutusan itu[1]. Unsur-unsur ini muncul dengan beberapa variasi. Meski demikian, fokus strukturalnya tetap jelas: seorang tokoh menerima panggilan, dan meskipun ia keberatan, ia menerimanya dengan jaminan dari pihak yang lebih tinggi yang membawa harapan akan keberhasilan perutusan. Pola panggilan macam ini juga muncul dalam Kej 24:1-67; Hak 6:11-24; Yes 6:1-13; Yer 1:1-10.

Hampir semua narasi panggilan bertujuan untuk membuktikan bahwa orang tersebut memang dipanggil sebagai utusan Tuhan. Dalam kisah panggilan Musa sendiri, Musa menjadi seorang pemimpin karena ditunjuk oleh Allah. Dengan demikian, jelas bahwa kisah panggilan Musa bertujuan untuk menegaskan bahwa Musa adalah pilihan Allah yang mengemban suatu tugas besar, yaitu memimpin Israel keluar dari Mesir. Dan, sebagai nabi, ia punya otoritas untuk menafsirkan dan menyampaikan firman Allah pada bangsa Israel. Dalam kisah ini, karakter Musa memang dilukiskan dalam warna-warni yang kabur namun tetap menampakkan kualitas dan integritas pribadi yang cocok bagi tugas besar ini[2].

4.1 Pengecut yang bersembunyi di padang gurun
Musa yang mengasingkan diri di gurun Sinai dipanggil ketika sedang menggembalakan domba. Padang gurun umumnya dilihat sebagai tempat pengujian karena di sanalah seseorang berada dalam kesendirian ditemani oleh binatang-binatang buas. Inilah tempat di mana Allah memanggil orang yang dipilihnya (bdk. Hosea). Musa yang sedang menggembalakan sekawanan domba mencari padang rumput yang lebih hijau dan sampailah ia di Horeb – nama tradisional yang diberikan pada Sinai. Sejauh ini, tidak ada yang istimewa tentang lingkungan ini. Kemudian, Allah menampakkan diri pada Musa dalam wujud api yang menyala-nyala dalam semak belukar (Kej 3:2).

4.2 Allah mewahyukan diri pada Musa : Theophany (Kel 3:1-6)

Musa yang sedang menggembalakan ternak ayah mertuanya menyaksikan sebuah fenomena unik : semak yang menyala namun tidak terbakar. Adegan semak belukar (Ibr: ceneh, “a bush,” LXX: batos, “blackberry bush”) yang menyala yang mewahyukan Allah pada dunia dalam sebuah theophani dengan api disebutkan empat kali dalam Alkitab (Kel 3:2; 13:21; 19:18; juga 2Tes 1:8). Semak belukar yang menyala ini disebutkan juga di lain tempat (Ul 33:16; Mrk 12:26; Luk 20:37; Kis 7:30,31)[3]. Fenomena unik itu menimbulkan rasa ingin tahu yang akhirnya mendorong Musa untuk menyimpang dan memeriksanya. Dalam peristiwa teophani itu, Allah hadir, menyentuh sejarah pribadi Musa sendiri, dan mengutusnya.


4.2.1 Penyelidik yang penuh rasa ingin tahu
Keingintahuan yang diperlihatkan Musa pada fenomena alam berupa semak yang menyala namun tidak terbakar (ay 3)  merupakan salah satu kualitas penting yang dibutuhkan bagi seorang pemimpin. Hal ini memperlihatkan Musa sebagai seorang yang terbuka terhadap hal-hal yang tidak diharapkan. Sikap mau menyelidiki hal yang aneh juga mengindikasikan keterbukaan Musa pada Allah. Inisiatif dan tindakan Allah tergantung reaksi Musa pada pemandangan aneh ini : “Ketika Tuhan melihat bahwa ia menyimpang untuk melihat (semak yang menyala), Tuhan memanggilnya dari dalam semak …” (ay 4). Allah tidak memaksa untuk bertemu dengan Musa. Ia menantikan kerja sama yang bebas sebagai tanda keterbukaan[4]. Maka ketika Musa menunjukkan sikap timbal balik pada rencana ilahi ini, Allah memanggilnya dengan namanya : “Musa, Musa!” Allah yang transenden adalah Allah yang ada di bumi, di gunung, di padang gurun, dan juga ada dalam fenomena yang menimbulkan rasa ingin tahu : semak yang menyala. Ia adalah Allah yang menemui manusia. Allahlah yang mengambil inisiatif dan menemui manusia, termasuk juga Musa. Karena pewahyuan ilahi, apa yang selama ini dianggap ‘normal’ atau ‘biasa’ sekarang menjadi suci dan kudus. Inilah sebabnya mengapa Allah menyuruh Musa untuk melepaskan kasutnya karena “tempat di mana kamu berdiri adalah tempat yang kudus” (ay 5).

4.2.2 Sejarah pribadi yang disentuh oleh Allah
Fokus kisah teophani bukanlah soal fenomena alam itu sendiri. Api hanya berperan untuk menarik perhatian Musa dan audiens pada kisah itu. Fokus kisah ini adalah Allah yang memperkenalkan diri pada Musa : “Akulah Allah Bapamu, Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub” (ay 6) dan berkehendak untuk mengutusnya. Allah hadir dan mewahyukan diriNya sebagai Allah para leluhur (Bapa bangsa). Allah pertama-tama dan terutama adalah Allah leluhur Musa dan bukanlah Allah impersonal, yang tidak berhubungan dengan asal-usul dan identitas Musa sendiri[5]. Perkenalan diri Allah ini berhubungan langsung dengan sejarah pribadi Musa dan juga sejarah bangsa Israel. Hal ini menempatkan Musa dalam keseluruhan kisah hidup bangsa Israel.

4.2.3 Musa diutus dengan jaminan berupa janji Allah (Kel 3:7-10)
Allah yang memperkenalkan diri pada Musa mengutusnya (ay 7-10). Allah menyampaikan rencana “... untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya,...” (ay 8). Rencana itu didasarkan pada penderitaan yang dialami oleh bangsa Ibrani, “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir” (ay 7). Rencana itu juga merupakan tanggapan atas seruan bangsa itu, “Aku telah mendengar seruan mereka ...” Allah mendengarkan seruan itu dan kemudian Ia memaklumkan apa yang hendak dilakukanNya : pembebasan bangsa itu. Mengapa Allah mau membebaskan bangsa Israel? Teks ini tidak memberikan jawaban pasti akan pertanyaan ini. Namun, Kel 3:7 menunjukkan dengan jelas bahwa “..., ya, Aku mengetahui penderitaan mereka”. Teks menghubungkan penderitaan bangsa itu dengan Allah dengan memakai kata ‘mengetahui’. Kata ini tidak hanya berarti sebuah pengertian kognitif, namun juga mengandung makna keintiman relasi, keintiman hubungan perkawinan dengan ikatan seksualnya (lih, Kej 4,1) atau pengetahuan berdasarkan pengalaman (lih, Yos 23,14)[6]. Dalam relasi macam itulah Allah memberikan komitmen personalNya pada bangsa Israel.

Pengetahuan Allah atas penderitaan Israel membawa pemakluman janji Allah untuk membebaskan umatNya dari penderitaan mereka. Keintiman relasi Allah dengan umatNya diungkapkan sebagai janji yang dibangun atas dasar relasi saling percaya. Dengan demikian ay 7 “Karena Aku mengetahui penderitaan mereka” membawa komitmen mendalam. Ay 8 mengumumkan keinginan Allah untuk bertindak, ia berjanji untuk membebaskan mereka dari perbudakan. Janji ini berkembang menjadi tindakan yang dikerjakan sendiri oleh Allah : “Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya,...” Ay 9 mengulangi lagi isi dari ay 7 dan menjadi awal baru dengan dua kata: “Sekarang, seruan ...”. Pengulangan dalam ayat-ayat ini lebih menonjol dengan pengulangan sebuah kata kunci: ‘seruan’ orang Israel. Meskipun kata yang digunakan berbeda, ay 9b mengulangi ay 7a. Namun ayat 10 tidak menggambarkan apa yang mau dibuat Allah pada umatNya sebagai sebuah tindakan penyelamatan. Ayat ini malah merinci perutusan Musa: “Sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.”

Allah benar-benar merasakan dan mengalami penderitaan dan penindasan hebat yang dialami umatnya. Allah terhubungkan, atau terikat, dengan Israel. Allah berjanji untuk membebaskan orang Ibrani dari Mesir. Untuk itu, Musa diutus sebagai sarana pembebasan. Unsur a (ay 7-8) menghadirkan maksud Allah untuk bertindak demi umatNya tanpa menunjuk pada Musa. Kata kerjanya dalam bentuk orang pertama aktif: ‘Aku telah melihat ... Aku telah mendengar ... Aku telah turun untuk membebaskan ... dan untuk menuntun keluar’. Tidak ada unsur orang kedua sama sekali. Pelakunya adalah Allah dan umatNya. Unsur b (ay 9-10) menghaluskan maklumat itu dengan menggantikan pernyataan pertama dengan anak kalimat partisipial: ‘Sekarang, seruan orang Israel telah sampai kepadaKu...’ Kalimat ini tidak lagi berupa maklumat Allah akan tindakan penyelamatanNya pada bangsa itu sebagai sebuah intervensi langsung yang dikerjakanNya sendiri, namun lebih sebagai pemakluman pengutusanNya pada Musa: ‘Aku mengutusmu pada Firaun ...’ Perutusan ini sekarang memperhitungkan kontribusi Musa yang cukup menentukan: ‘Bawalah umatKu Israel pergi dari Mesir’. Kedua unsur itu mempunyai fungsi yang berbeda-beda; saling melengkapi satu sama lain, namun tidak identik. Unsur a menekankan tindakan Allah yang maha kuasa untuk menyelamatkan ‘umatKu’, sedangkan unsur b menjadi dasar identitas panggilan Musa. Maka, panggilan Musa terletak pada hubungan intrinsik dengan bangsanya. Ia harus melakukan segala sesuatu demi bangsanya. Apa yang harus dilakukannya adalah membawa bangsa Israel keluar dari Mesir. Maka, tugas dan perutusan Musa tidak bisa dipahami jika dilepaskan dari bangsanya. Namun juga, kisah keluaran tidak bisa dipahami jika dipisahkan dari Musa[7].

4.3 Musa : pendebat
Musa berkeberatan atas penunjukkannya. Tema protes dari Musa ini akan terus berlanjut. Ketika perutusan Musa makin  menjadi konkret, keberatan Musa makin menjadi lebih picik, sehingga akhirnya Musa dengan terus terang mengatakan pada Allah untuk mengutus orang lain saja (3:13; 4:1.10.13). Jaminan dari Allah mematahkan setiap argumen keberatan Musa.

4.3.1 Keberatan I dan jaminan penyertaan dari Allah (Kel 3:11-12)
Musa mengajukan keberatan atas perutusan itu dengan merendahkan diri (ay 11). Keberatan ini terkait dengan tiadanya otoritasnya (“siapakah aku ini hingga harus pergi pada Firaun …?”). Allah menanggapinya dengan memberikan janji penyertaan-Nya (ay 12a). Jawaban ini menggarisbawahi pesan bahwa kesuksesan perutusan ini bukannya berada di tangan Musa namun Allah. Tanda dalam ay 12b berfungsi untuk mensyahkan tugas Musa. “Aku akan menyertaimu [singular]. Dan ini akan menjadi tanda bagimu [singular] bahwa Aku telah mengutusmu [singular]. Apabila engkau [singular] membawa umatKu keluar dari Mesir ...” Jelaslah bahwa identitas kepemimpinan Musa atas bangsa Israel melekat pada kehadiran Allah itu. “Kalian [plural] akan melayani Allah di gunung ini.” Musa dan bangsa itu bersama-sama akan melakukan ibadat. Musa tidak sembahyang sendirian. Ia juga tidak menjadi pengantara kebaktian itu. Ia memimpin mereka namun ia tidak melakukan hal itu terpisah dari mereka. Dalam kasus ini, kebaktian ini dilakukan baik oleh Musa maupun bangsanya. Musa adalah primus inter pares. Musa melaksanakan apa yang menjadi tugasnya dalam relasinya dengan bangsa itu. Namun secara khusus, Musa bertugas mewakili kehadiran Allah bagi umatnya. Konstruksi kalimat dengan akhiran singular dalam ay 12 menekankan hal ini. Terlebih, ayat itu mengesahan panggilan Musa. ‘Ini akan menjadi tanda bahwa Aku telah mengutus kamu [singular].’ Otoritas kepemimpinan Musa disyahkan dengan adanya tanda tersebut.

Pokok persoalan yang ditegaskan dengan tanda adalah otoritas Musa untuk mengemban perutusan tersebut. Perutusan itu mengemban satu tujuan : “Bawalah pergi umatku Israel dari Mesir.” Dengan demikian, pemenuhan perutusan yang dijamin oleh tanda tersebut adalah pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir. Maka, tanda untuk menjamin janji ini seharusnya terjadi sebelum laporan terpenuhinya perutusan itu. Namun, kata ganti demonstratif ‘ini’ (zeh) membawa permasalahan tersendiri. Peristiwa yang menjadi tanda itu dengan jelas menunjuk pada peristiwa yang akan terjadi di Sinai.

B.S. Childs mengajukan kritik soal bagaimana bisa sebuah peristiwa yang belum terjadi dipakai sebagai tanda yang mengesahkan otoritas kepemimpinan Musa, terutama dalam peristiwa Eksodus, sebab ‘Biasanya, yang disebut tanda adalah jaminan konkrit yang mengikuti janji namun pemenuhannya mendahului’[8]. Maka, ayat 12 ini harus dilihat dalam konstruksinya sebagai narasi. Tanda berfungsi sebagai jaminan tugas perutusan. Janji kehadiran bukanlah tanda. Janji ‘Aku akan menyertaimu’ itu merupakan tanggapan atas krisis yang terjadi karena adanya keberatan dari Musa. Tanda mengikuti janji dan melindungi baik janji kehadiran maupun keseluruhan tugas perutusan. Pemenuhan janji itu akan menjadi bukti bahwa Allah telah dan senantiasa hadir.

Keberatan masih tetap ada. Jika tandanya adalah ibadat di gunung itu, dalam hal apakah hal ini dapat berhubungan dengan janji kehadiran Allah dalam pengutusan Musa, yang akan dipenuhi dalam peristiwa keluaran? Peristiwa Keluaran tidak terpisah dari peristiwa Sinai, bahkan juga dari peristiwa masuk ke Kanaan. ‘Pergi dari Mesir’ bukanlah akhir ‘keluaran’ seperti yang telah dijanjikan Allah. Dan sebagai konsekuensinya pengesahan otoritas Musa tidak hanya berlaku pada saat pembebasan dari penindasan Mesir. Terlebih, otoritas Musa berkelanjutan (sepanjang perjalanan menuju tanah terjanji, demikian dikatakan ay 8). Pengesahan otoritas itu terjadi dalam penglihatan bangsa itu, yaitu ketika Musa dan bangsa itu bersama-sama beribadat menyembah Allah di gunung itu. Fakta bahwa tanda itu muncul setelah keluaran dari Mesir –namun sebelum terselesaikannya pengembaraan di padang gurun– bukanlah halangan karena tanda itu ambil bagian dalam realitas janji. Pemenuhan janji itu menjadi realitas yang telah diramalkan oleh tanda itu. Kesimpulan ini tidak menyangkal tesis bahwa peristiwa keluaran, pengembaraan di padang gurun, Sinai, dan penaklukan adalah tema-tema yang berbeda[9]. Meskipun berbeda, semua tema itu tidak berdiri sendiri-sendiri.

4.3.2 Keberatan II dan pewahyuan nama Yahweh (Kej 3:13-22)
Ay 13-15 merupakan pusat diskusi tentang pewahyuan nama ilahi. Keberatan Musa adalah bahwa ia tidak tahu harus mengatakan apa jika bangsa itu bertanya tentang nama yang ilahi (ay 13). Allah menanggapinya dengan mengatakan: “Aku adalah Aku” (ay 14). Rumusan ini adalah permainan kata pada kata kerja ‘ada’ (hāyāh). Permainan kata itu menekankan janji Allah akan kehadiranNya berhadapan dengan keberatan Musa. Maka dalam konteks ini, permainan kata itu bukannya suatu usaha untuk mengatakan bahwa Tuhan adalah Dia yang ada atau bahkan Dia yang menyebabkan segala ciptaan ada. Bentuk kata kerja ´ehyèh, yang diulangi sehingga menjadi ´ehyèh ´ášer ´ehyèh, digunakan juga pada ay 12, ´ehyèh `immäk yang diartikan sebagai ‘Aku akan menyertaimu’. Ay 14b kemudian membuat ´ehyè sebagai nama ilahi. Konstruksi verbal rumusan macam ini muncul juga dalam Hak 6:16 meski tidak ada usaha untuk bermain soal nama ilahi. Konstruksi tersebut menjadi cara untuk mengungkapkan janji. Dalam Kel 3:14, rumus itu muncul sebagai nama Allah. Dengan demikian, usaha untuk menjelaskan makna nama itu lebih mungkin jika mengacu pada janji kehadiran[10]. Nama YAHWE menjadi jaminan bagi kehadiranNya dalam seluruh peristiwa keluaran.

Ay 15 paralel dengan ay 14b. Hanya saja, kata ´ehyèh diganti dengan menggunakan tetragrammaton (YHWH). Tuhanlah yang akan menyelesaikan peristiwa keluaran, pembebasan bangsa Israel dari perbudakan. Paralelisme di antara ketiga kalimat yang berbeda, 14a,14b, dan 15a, menunjukkan dengan jelas maksud teks. Yahweh adalah ´ehyèh. Dan ´ehyèh adalah rumus idem per idem[11]. Dan rumus dengan tekanannya pada ´ehyèh itu adalah janji kehadiran Allah. Ay 15 juga kembali pada introduksi Allah dari ay 6. Tuhan dalam ayat ini sama dengan Allah para bapa bangsa. Ay 16 dan 17 melanjutkannya dengan mengambil motif dari ay 8. Allah akan membebaskan Israel dan juga memberikan padanya tanah terjanji. Dengan demikian, dalam tradisi yang kompleks ini, tema-tema pentateukh, seperti bapa bangsa, keluaran, padang gurun-Sinai, dan pendudukan dimasukkan semua. Referensi pada pendudukan muncul hanya dalam unsur struktur yang menghadirkan tindakan Allah yang maha besar, bukannya pada Dia yang mengadakan perutusan pada Musa.

Ayat selanjutnya dari sabda ini menubuatkan Kel 4:29-6:1 dan 7:8-10:29. (1) Bangsa Israel akan taat pada Musa dan bersama dengan para tetua bangsa itu Musa akan pergi menghadap Firaun. Negosiasi dengan Firaun akan terjadi di bawah kepemimpinan Musa. Namun dengan adanya kebersamaan bersama para tetua bangsa Israel, persatuan Musa dengan bangsanya tidak ditiadakan. (2) Musa dan para tetua akan memohon kepada Firaun supaya diizinkan pergi ke padang gurun tiga hari perjalanan jauhnya untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan. Kisah ini memberi kesan bahwa permohonan izin itu merupakan tipu muslihat. Sebab, rencana perjalanan ke padang gurun ini tidak disampaikan pada bangsa Israel. Lagi pula, jika Firaun membiarkan para budak pergi selama tiga hari, jelas mereka akan terus pergi dan tak kembali. Dengan demikian, teks itu memprefigurasikan tanggapan Firaun. Tipu muslihat itu akan gagal. Dan bersama dengan kegagalan itu akan datanglah tanda-tanda dan keajaiban. (3) Ay 21-23 kemudian mengantisipasi peristiwa keluaran itu sendiri. Hal ini menegaskan bahwa keluaran dari Mesir ada di bawah kepemimpinan Musa. Kel 11:3 menegaskan gambaran itu: “TUHAN membuat orang Mesir bermurah hati terhadap bangsa itu; lagipula Musa adalah seorang yang sangat terpandang di tanah Mesir, di mata pegawai-pegawai Firaun dan di mata rakyat.” Keterpandangan Musa diakui baik oleh orang Mesir maupun orang Israel. Dan keterpandangan itu memungkinkan terjadinya peristiwa keluaran[12].

4.3.3 Keberatan III dan kemampuan membuat mukjizat (Kej 4:1-9)
Bab 4 melanjutkan pola keberatan dan penentraman hati lagi. Musa khawatir bahwa Orang Israel tidak akan mendengarkan (: mematuhi) perkataannya (ay 1). Di sini, Musa membantah janji Tuhan dalam 3:18. Ketaatan pada Musa menjadi kunci utama dalam kepemimpinannya. Kel 3:18 membawa proyeksi ketaatan, dukungan, relasi dekat dan bangsa itu akan melihat Musa sebagai milik mereka. Namun Musa takut bahwa bangsa itu tidak akan mendengarkannya yang artinya sama dengan tidak akan mematuhinya. Mereka akan memberontak. Maka pertanyaannya, apakah yang membuat bangsa Israel harus taat pada Musa? Dan bagaimana ketaatan itu berhubungan dengan ketaatan iman Israel pada Tuhan?

Musa juga khawatir bahwa bangsa Israel tidak akan percaya padanya (lö´-ya´ámîºnû lî). Istilah itu paralel dengan perkara ketaatan. Percaya pada Musa tidak hanya untuk menegaskan bahwa dalam pendapat bangsa itu Musa sungguh-sungguh bertemu dengan Allah dan menjanjikan pembebasan dari perbudakan di Mesir. Ini terkait dengan penegasan soal ketaatan. Paralel antara iman dan ketaatan dapat didukung dengan referensi pada tema yang sama dalam Kej 15:6. Abraham mengimani Tuhan. Imannya ditunjukkan dengan keutamaannya sebagai kebenaran. Kebenaran dalam ayat ini lebih sebagai jenis hubungan yang secara bersamaan mengikat dua hal : ketaatan dan kepercayaan pada janji Allah. Dalam 2 Taw 20:20, sang raja berseru kepada Yerusalem supaya percaya kepada Allah dan kepada nabiNya. Kepercayaan menegaskan relasi dengan Allah. Namun kata itu juga menegaskan relasi dengan nabiNya. Kepercayaan lebih dari sekedar mengiyakan bahwa nabi adalah sungguh nabi dari Allah, tetapi juga mengandaikan adanya ketaatan. Dalam Kel 14:31, rumus yang sama muncul. Bangsa itu percaya pada Allah dan pada abdi-Nya Musa. Dan kepercayaan itu berati komitmen mendalam untuk mengikuti Allah dan abdiNya, Musa, di padang gurun[13].

Kunci utama tradisi Musa adalah ketaatan. Tanda-tanda dan keajaiban berperan menegaskan perlunya ketaatan itu. Di satu sisi, tanda-tanda menetapkan otoritas Musa. Di sisi lain, tanda-tanda menuntut adanya ketaatan. Dengan demikian, istilah “percaya” muncul kembali dalam 4:5,8,9. dan dengan jelas muncul sebagai sebuah istilah bagi ketaatan. Tanda-tanda itu menetapkan Musa sebagai orang yang mempunyai otoritas untuk memegang komando pergerakan[14]. Dalam hal ini pentinglah dilihat peran dari tongkat (ma††è). Tongkat itu begitu melekat pada Musa sebagai instrumennya untuk membuat tanda-tanda. Tongkat itu menjadi semacam sejenis tongkat sihir, kunci kekuatan untuk membuat tanda-tanda dan keajaiban. Hal ini nampak dalam tanda pertama. Musa melemparkan tongkat itu ke tanah, dan tongkat itu berubah menjadi seekor ular. Dan ketika Musa melakukan trik ini di hadapan Firaun, para ahli sihir istana melakukan trik yang sama dengan tongkat mereka. Namun, tongkat Musa itu lebih dari pada tongkat sihir. Tongkat adalah lambang kekuasaan raja (bdk Mzm 110:2). Sebagai sebuah simbol kekuasaan raja, tongkat itu menampakkan kuasa di hadapan publik. Namun nilai simbolik dan fungsional dari tongkat Musa tidak terbatas pada penggambaran kekuasaan. Tongkat itu menegaskan otoritas Musa dalam memberikan perintah yang patut ditaati.

Tongkat itu disebut juga sebagai tongkat Allah. Kel 4:20 dan 17:9 menggambarkan permasalahan itu. Dalam kedua kasus itu, sandingan kata itu berfungsi untuk menekankan relasi istimewa antara Allah dan Musa. Tongkat itu menyimbolkan kuasa Musa untuk bertindak atas nama bangsanya dan tidak terbatas pada tindakan kekudusan. Sebaliknya, peristiwa-peristiwa politis mendominasi. Tongkat itu membawa nama Allah dan menunjuk pada sumber otoritas dari tindakan Musa, yaitu Allah. Tindakan Musa dengan tongkat itu berdasarkan otoritas Allah yang diungkapkan dalam simbol tongkat itu. Terlebih lagi, istilah ma††è muncul dalam paralelnya dengan tangan Musa. Maka, dalam 9:22 Tuhan memerintahkan Musa untuk mengulurkan tangannya. Namun pelaksanaan perintah ini menggambarkan peristiwa itu sebagai penguluran tongkat (lih 10:12,13). Dan dalam 10:21-22 peristiwa sejenis muncul kembali. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa instrumen itu tidak hanya semacam tongkat sihir, namun terlebih menjadi simbol dari otoritas personal Musa. Simbol ini menyatakan bahwa Musa bertindak demi kepentingan bangsanya dalam fungsinya sebagai wakil Allah. Referensi pada tongkat itu sebagai tongkat Allah bukan berarti bahwa secara tradisi-historis ada dua tongkat. Hal itu lebih menunjuk pada dimensi teologis dari tradisi.

Bangsa itu percaya pada Musa, karenanya “ketika mereka mendengar, bahwa TUHAN telah mengindahkan orang Israel dan telah melihat kesengsaraan mereka, maka berlututlah mereka dan sujud menyembah” (Kel 4:31). Bangsa itu percaya pada Tuhan dan dengan demikian mematuhi Tuhan. Gambaran ini ditegaskan lagi dalam Kel 14:31: “Ketika dilihat oleh orang Israel, betapa besarnya perbuatan yang dilakukan TUHAN terhadap orang Mesir, maka takutlah bangsa itu kepada TUHAN dan mereka percaya kepada TUHAN dan kepada Musa, hamba-Nya itu”. Bangsa itu percaya pada Tuhan dan sekaligus juga pada Musa. Percaya pada Musa adalah percaya pada Tuhan. Dan mematuhi Musa adalah mematuhi Tuhan.

4.3.4 Keberatan IV dan Janji Allah (Kel 4:10-12)
Kel 4:10-17 mempresentasikan keberatan dan jaminan selanjutnya berlawanan dengan penegasan otoritas Musa. Musa mengeluhkan bahwa ia bukanlah orang yang pandai berkata-kata. Ia merasa diri “berat” mulut dan “berat” lidah. Kita harus melihat hal ini dalam terang pola keberatan dan jaminan. Keberatan itu akan memberikan suatu jaminan berkaitan dengan mulut si subjek. Demikian juga halnya dengan keberatan Yesaya bahwa ia adalah orang yang tidak bersih bibir. Jaminannya adalah salah satu seraphim menyentuh bibirnya dengan bara (Yes 6:5-7). Kidung Hamba Yahwe yang kedua menegaskan bahwa Tuhan yang memanggil hambanya dari liang kubur membuat mulutnya seperti pedang yang tajam (Yes 49:2). Yeremia mengeluhkan bahwa ia tidak dapat berbicara karena ia masih terlalu muda. Dan Tuhan memberikan jaminan padanya dengan ‘menyentuh mulutnya’ (Yer 1:9). Dan bagi Yehezkiel, Sabda Allah menjadi manis seperti madu di mulutnya (Yeh 3:3).

Keberatan Musa bahwa ia berat mulut dan tidak mampu berbicara seharusnya tidak dianggap sebagai tanda bahwa ia menderita cacat fisik atau pun adanya unsur non-heroik ataupun anti-heroik dalam kisah ini. Keberatan ini lebih sebagai sebuah penanda untuk menempatkan jaminan. Dengan demikian, dalam 4:12 dikatakan : “Oleh sebab itu, pergilah, Aku akan (´ehyèh) menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan”. Dalam konteks inilah bahwa kita dapat melihat janji akan kehadiran sebagai sebuah janji personal yang secara unik diberikan pada Musa. Karakter personal dari janji ini bukan terletak pada begitu banyaknya janji kehadiran yang disampaikan pada Musa. Namun lebih dalam berakar pada panggilannya, pada apa yang harus dilakukan oleh Musa[15]. Kehadiran Allah memberikan jaminan pada perutusan dan otoritas Musa. Jaminan kehadiran itu memungkinkan kepemimpinannya dalam pembebasan bangsa Israel.

4.3.5 Keberatan V dan Penegasan Allah (Kej 4:13-17)
Keberatan dalam ay 13 berhubungan dengan keluhan tentang berat mulut dan berat lidah. Secara eksplisit, Musa menolak pengutusan Allah : “Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus.” Hal ini memicu kemarahan Allah. Dan dengan kemarahannya Allah memperkenalkan Harun. Harun bisa berbicara dengan baik (daBBër yüdaBBër hû´). Dalam perkara ini, kita juga harus memperhatikan pola kisah. Keberatan Musa itu bukan soal kecacatan yang menghalangi karya Musa ataupun kekurangpahlawanannya. Konstruksi literer kisah ini mau memperkenalkan tradisi Harun dalam kisah Musa. Tradisi itu merupakan tambahan kemudian dalam kompleksitas kisah Musa. Kisah itu, terutama dalam ay 16, dengan jelas mensubordinasikan Harun pada Musa. “Ia harus berbicara bagimu kepada bangsa itu, dengan demikian ia akan menjadi penyambung lidahmu dan engkau akan menjadi seperti allah baginya.” Tradisi Musa tidak menaikkan Musa pada status Allah. Namun lebih mau menetapkan sebuah analogi. Musa tidak menjadi allah bagi semua orang Israel. Ia bahkan tidak menjadi allah bagi Harun kecuali dalam istilah relasi fungsional. Relasi ini ditegaskan dalam paralelnya dalam Kel 7:1. Dalam teks itu, Musa berperan sebagai allah bagi Firaun. Dan Harun akan menjadi nabi. ‘Allah bagi Firaun’ menuntut suatu ketaatan. Namun bagian penting dari gambaran ini bagi diskusi tentang teks Kel 3-4 adalah hubungan Musa dan Harun. Harun, nabinya Musa, akan mengatakan sabda-sabda yang diberikan oleh Musa padanya. Dan hubungan itu menegaskan pola dalam Kel 4.

4.4 Musa berangkat melaksanakan tugas perutusannya (Kel 4:18-20)
Ay 18-20 memecah struktur dialogik dari perutusan itu dengan tanggapannya atas keberatan dan jaminan. Musa kembali pada ayah mertuanya untuk minta izin kembali ke Mesir. Yitro memperbolehkan kepergiannya dan Musa membawa serta keluarganya dalam perjalanan itu. Peran fungsional ayat-ayat ini adalah menjadi laporan pelaksanaan tugas perutusan Musa. Musa mendengarkan Tuhan yang mengirimnya kembali ke Mesir. Sekarang, ia pergi ”mengajak isteri dan anak-anaknya lelaki, lalu menaikkan mereka ke atas keledai dan ia kembali ke tanah Mesir; dan tongkat Allah itu dipegangnya di tangannya.” Hal pertama yang dilakukan Musa adalah konsolidasi bangsa Israel sendiri. Keberhasilan langkah ini digambarkan sebagai : “...maka takutlah bangsa itu kepada TUHAN dan mereka percaya kepada TUHAN dan kepada Musa, hamba-Nya itu” (Kel 14:31). Bangsa itu percaya pada Tuhan dan sekaligus juga pada Musa.

[1] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 57
[2] M. Trainor, “The Call of Moses”, The Bible Today 27 (1989), 47-51
[3] M. G. Kyle, Burning Bush, ISBE Bible Dictionary, dalam BibleWorks 2001
[4] Kardinal C.M. Martini, Menghayati Misteri Paska : Melalui Musa Menuju Yesus, 27
[5] M. Trainor, “The Call of Moses”, 47-51
[6] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 58
[7] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 60
[8] B.S. Childs, Exodus - A Commentary, Old Testament Library, London, SCM Press Ltd, 1974, 57
[9] E.W. Nicholson, Exodus and Sinai in History and Tradition, Growing Points in Theology, Oxford, Blackwell 1973, 82, seperti dikutip oleh G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 64
[10] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 64
[11] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 64
[12] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 65
[13] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 66
[14] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 66
[15] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 69

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.