Header Ads

Terang Sabda

Kisah Pelarian dan Pernikahan Musa (Kel 2:11-22)

Musa di Sumur Midian

Kegiatan Musa di masa muda dikisahkan secara singkat. Musa mulai muncul sebagai tokoh dan Putri Firaun mundur ke belakang. Tugasnya dalam mengangkat anak dan mendidiknya telah usai. Musa telah menjadi seorang pemuda yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Ia fasih berbahasa Mesir serta trampil dalam kebiasaan dan kebudayaannya. Ia diterima dan dikenal, dan ia punya prospek untuk menjadi pejabat tinggi karena bakat dan kualitasnya. Sebagai anak (adopsi) Putri Firaun, ia mendapatkan apa yang terbaik dari kebudayaan Mesir. Tanpa menunjuk pada umur berapa, tiba-tiba dikisahkan : “Suatu hari ketika Musa telah dewasa, ia pergi pada rakyatnya dan melihat beban mereka”. Ia memang telah diadopsi oleh Putri Mesir, namun saudara-saudaranya bukanlah orang-orang Mesir. Saudara-saudaranya adalah orang-orang Ibrani, bangsa tertindas dan budak, sedangkan orang-orang Mesir adalah para penindasnya. Ia menunjukkan solidaritas dengan orang-orang Ibrani yang menderita, yang disadarinya sebagai saudara. Struktur perikop ini terbagi dalam dua sub unit : ay 11-15a dan ay 15b-22. Ayat 11-14 adalah konteks di mana episode aktif Musa pertama kali diperlihatkan.

3.1. Musa yang berbela rasa pada bangsanya
Ayat 11-15a menggambarkan sebuah titik ketegangan. Musa, yang sudah dewasa, melihat bangsanya (´eHäyw) yang bekerja di bawah beban penindasan bangsa Mesir (ay 11a). Secara eksplisit, kisah ini tidak memperkenalkan Musa sebagai seorang Mesir tetapi orang Ibrani. Maka, ay 11b: “Ia melihat seorang Mesir memukul seorang Ibrani, salah seorang dari bangsanya (më´eHäyw)”. Kata ‘memukul’ (maKKè) tidak hanya berarti penindasan fisik, tetapi membunuh. Dengan penggambaran situasi penindasan dan penekanan teks pada identifikasi Musa sebagai orang Ibrani dengan dua kali menyebut bangsa itu sebagai saudaranya, kisah ini menciptakan ketegangan fundamental dalam alur kisah.


Ketegangan itu menghasilkan intervensi Musa atas nama saudara-saudara yang tertindas secara ironi (Ay 12). Musa membunuh orang Mesir yang telah membunuh saudaranya. Kata ‘memukul’ yang digunakan untuk menggambarkan tindakan orang Mesir sekarang menggambarkan tindakan Musa ‘membunuh’. Akibat dari ‘pembunuhan’ ini sangat menonjol dalam tindakan Musa mengubur korbannya. Namun, tindakan kekerasan ini tidak digolongkan sebagai ‘pembunuhan terencana’. Memang, teks memberi kesan bahwa Musa sangat berhati-hati dan menyadari risiko dari tindakannya : “Ia menoleh ke sana-ke sini, dan ketika dilihatnya tidak ada orang, dibunuhnyalah orang Mesir itu.” Namun kehati-hatian itu tidak berarti bahwa ia merencanakan sebuah tindakan ‘pembunuhan’ yang merupakan salah satu dosa di mata Allah Israel. Tindakan itu disebut sebagai sebuah ‘pembunuhan’ hanyalah di mata orang Mesir yang mungkin menjadi saksi atau mendengar peristiwa itu[1]. Bagi orang Ibrani, bangsanya sendiri, teks mempromosikan bahwa tindakan Musa ini seharusnya diterima sebagai sebuah tindakan pembebasan, mengabaikan keselamatannya sendiri demi melindungi saudaranya.


3.2. Pahlawan yang ditolak
Ayat 13 menempatkan lagi Musa di antara orang-orang Ibrani. Mereka tidak lagi disebut sebagai saudaranya. Ketika Musa melihat dua dari antara mereka sedang bertengkar, ia ikut campur tangan melawan pihak yang bersalah. Musa tidak hanya datang pada bangsanya melawan bangsa Mesir, namun juga dalam perkara mereka. Namun, orang yang bersalah menanggapi hal itu dengan sebuah tuduhan: “Siapa yang menjadikanmu seorang pemimpin dan hakim atas kami? Apakah kamu berbicara untuk membunuhku seperti kamu membunuh orang Mesir itu?” Ia tidak menerima pemikiran Musa. Bukannya menyadari kesalahannya, ia bereaksi seolah-olah telah dipermalukan di muka umum. Bukannya menyerah, ia melemparkan tantangan sekaligus ancaman. Seolah-olah ia mau mengatakan : “Aku melihat semuanya, aku tahu apa yang telah kamu lakukan dan aku bisa melaporkanmu pada pihak berwajib. Aku tahu sesuatu yang bisa menghancurkanmu dan membunuhmu”[2].

Musa mungkin bisa menerangkan bahwa ia membunuh orang Mesir itu sebagai pembelaan terhadap bangsanya sendiri. Namun tragisnya, tuduhan itu datangnya dari orang Ibrani, bangsa tertindas yang membuat Musa berani mengambil risiko dengan intervensi penuh kekerasan. Tuduhan itu mengindikasikan penolakan dari pihak yang diakuinya sebagai saudara. Penolakan itu datangnya bukan dari bangsa pada umumnya, namun dari seseorang yang diuntungkan oleh intervensi itu. Selain itu, diketahuinya tindakan Musa tempo hari menimbulkan ketakutan akan datangnya bahaya dari Mesir: “Ketika Firaun mendengar tentang hal ini, ia ingin membunuh Musa.”

3.3. Musa yang berbela rasa pada kaum tertindas
Adegan penolakan terhadap Musa menempatkan adegan baru dalam ay 15b-22. Segala idealisme dan keberaniannya runtuh seketika. Ia merasa ditolak dan takut akan akibat perbuatannya sendiri. Maka, Musa melarikan diri menuju tanah asing, Midian. Di Midian, terjadi peristiwa penindasan lain. Di sebuah sumur, Musa berhenti untuk beristirahat. Tujuh orang putri imam Midian datang menimba air untuk memberi minum domba-domba mereka. Namun, datanglah para gembala dan mengusir mereka. Dengan cara yang sama dalam intervensinya demi kepentingan bangsa yang tertindas, Musa datang untuk membela yang lemah. Ia mengusir para gembala yang baru datang itu dan memberi minum kawanan domba para perempuan itu. Maka, Musa diundang ke rumah ayah mereka. Akhirnya, ia menikahi salah satu putri sang imam. Dengan pernikahan itu, Musa masuk ke dalam suatu klan dan memimpin sebuah keluarga. Kisah perkawinan ini bukan hanya introduksi kisah panggilan dalam Kel 3-4 sebab kisah ini mempunyai kekhasan[3] : (1) intervensi demi kepentingan pihak yang tertindas, yaitu para putri imam Midian, dan (2) perkawinan dengan salah satu perempuan yang dibelanya.

Kisah yang menggambarkan Musa sebagai seorang pahlawan yang memperhatikan kaum tertindas ini paralel dengan kisah intervensi demi kepentingan saudara-saudaranya dalam ay 11-12. Kepahlawanan itu muncul dari identifikasi Musa dengan umatnya; baik saudara-saudaranya sendiri maupun suku Midian yang kemudian menjadi keluarganya. Ketika ia meminta izin dari ayah mertuanya untuk kembali ke Mesir, ia mengatakan mau menghubungi saudara-saudaranya di Mesir. Hal ini mengindikasikan bahwa Musa tidak pernah melepaskan kontak dan relasi dengan bangsanya.

[1] G.W. Coats, Moses : Heroic Man, Man of God, 49
[2] L.A. Sch̦kel РG. Guti̩rrez, Moses : His Mission, Biblical Meditations, 18
[3] G.W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God, 51

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.