Header Ads

Terang Sabda

Kepemimpinan Musa : Visi Pembebasan dan Perjanjian

Kepemimpinan Nabi Musa

Ada berbagai gambaran ketokohan Musa dalam Pentateukh. Berbagai gambaran tersebut muncul seiring dengan perkembangan narasi Pentateukh sendiri. Maka, Seri tulisan ini mencoba menelaah ketokohan Musa dalam Pentateukh dengan menyadari jalinan tradisi dan sumber-sumber Pentateukh, jalinan penafsiran atas tokoh Musa, dan bagaimana Musa ditampilkan dalam narasi terakhir. Dari berbagai gambaran ketokohan Musa dalam Pentateukh, ada struktur penggambaran yang tetap dalam keseluruhan kisah. Musa tidak pernah dilepaskan dari relasinya dengan Allah. Keintiman relasi Musa dengan Allah menjadi konkrit dalam relasinya dengan dirinya sendiri, bangsa Israel, dan alam semesta. Hal itulah yang menjadi kekhasan gambaran ketokohan Musa dalam keseluruhan narasi Pentateukh. Ketokohan Musa sebagaimana digambarkan dalam Pentateukh tersebut memberi sumbangan khas bagi tipe kepemimpinan yang dibutuhkan manusia di zaman ini, khususnya dalam konteks bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis multi dimensi.

13.1 Gambaran ketokohan Musa dalam masing-masing unit kisah
Ada 10 unit kisah tentang Musa yang ditelaah dalam Seri tulisan ini. Perjanjian Sinai merupakan titik balik kisah sekaligus juga titik balik pelaksanaan perutusan Musa dan juga sejarah bangsa Israel. Maka, unit-unit kisah tersebut dibagi dalam tiga bagian besar pembahasan : dasar dan awal perutusan Musa, pelaksanaan perutusan dari Mesir sampai Sinai, dan pelaksanaan perutusan dari Sinai sampai Dataran Moab. Dasar dan awal hidup dan perutusan Musa ditampilkan dalam (i) Kisah kelahiran dan pengadopsian Musa; (ii) Kisah pelarian ke Midian; dan (iii) Kisah panggilan dan perutusan Musa. Pelaksanaan perutusan Musa dari Mesir sampai ke Sinai ditampilkan dalam (iv) Kisah tulah-tulah dan pembebasan bangsa Israel dari Mesir; (v) Kisah krisis-krisis bangsa Israel di padang gurun dan pertolongan Allah; (vi) Kisah Perjanjian Sinai; dan (vii) Peristiwa Sinai : lembu emas. Sedangkan pelaksanaan perutusan Musa dari Sinai sampai Dataran Moab ditampilkan dalam (viii) Kisah sungut-sungut bangsa Israel, pemberontakan dan hukuman Tuhan; (ix) Kisah distribusi kepemimpinan; dan (x) Kisah-kisah kematian Musa. Masing-masing unit kisah memberi gambaran yang khas pada ketokohan Musa.

Kisah kelahiran dan pengadopsian Musa oleh Putri Firaun menampilkan identitas Musa sebagai orang Israel. Namanya yang terkait dengan Mesir diubah menjadi pujian bagi Allah yang menyelamatkan dalam pembebasan. Kisah ini juga menekankan bahwa Allahlah yang menentukan jalannya sejarah dan cara memasukinya, termasuk dalam membebaskan umatNya dari penindasan Mesir.

Kisah Pelarian Musa ke Midian menampilkan kualitas pribadi Musa. Ia, sebagai anak angkat Putri Firaun, diasah dalam ketrampilan dan kemampuan berbudaya yang unggul. Pembelaannya pada saudara-saudara sebangsa dan putri-putri Midian menampilkan semangat solidaritas dan belarasanya pada kaum tertindas. Namun, idealisme dan kualitas pribadi tersebut belumlah cukup bagi pembebasan bangsa Israel. Ketika ia berinisiatif untuk mengintervensi permasalahan bangsanya, ia ditolak tidak hanya oleh Firaun namun juga oleh bangsanya sendiri. Runtuhlah semua idealismenya. Ia pun lari ke Midian. Meski lari, Musa tidak melepaskan identitas ke-Israel-annya.

Kisah panggilan dan perutusan Musa menampilkan pilihan Allah dan jaminan Allah atas perutusan Musa. Allah peduli pada penderitaan umatNya, maka Ia bertindak untuk membebaskan. Tindakan Allah dinyatakan dengan mengutus Musa untuk menjadi sarana pembebasan. Allah memanggil dan mengutus Musa dengan menyentuh sejarah pribadinya. Maka, perutusan Musa terkait dengan hubungan intrinsiknya dengan bangsa Israel. Keberatan-keberatan Musa atas panggilan dan perutusannya tersebut menampilkan bahwa pelaksanaan panggilan dan perutusan tersebut sepenuhnya bergantung pada Allah. Kesuksesan perutusan tidak di tangan Musa, tapi Allah. Kepemimpinan Musa atas bangsa Israel melekat pada kehadiran Allah. Karena itu, sumber otoritas tindakan kepemimpinan Musa adalah Allah sendiri. Kehadiran Allah memberi jaminan pada perutusan dan otoritas Musa.

Kisah tulah – tulah dan pembebasan dari Mesir memberi kesaksian bahwa Yahwe sang pencipta menggerakkan semua ciptaanNya demi pembebasan umatNya. Dalam hal ini, tindakan manusiawi Musa cukup menentukan karena pembebasan Yahwe bagi Israel terjadi dengan tindakan manusiawi Musa. Dalam negosiasi dengan Firaun, Musa bertindak sebagai utusan Tuhan yang berbicara dengan otoritas dariNya. Rangkaian tulah-tulah menunjukkan bahwa dari satu tanda ke tanda berikutnya, negosiasi gagal. Kegagalan-kegagalan negosiasi tersebut dijalin untuk menunjukkan bahwa hasil dari usaha tersebut melulu datang dari intervensi Allah.

Kisah krisis bangsa Israel di padang gurun dan pertolongan Tuhan menampilkan Musa sebagai pemimpin bangsa. Sebagai pemimpin, Musa harus membela bangsanya berhadapan dengan bahaya yang menghimpit dan menghadang. Ia mengantarai seruan bangsa Israel pada Allah. Dan Allah pun bertindak untuk menyelamatkan umatNya. Unit kisah ini menampilkan Musa sebagai man of integrity dan sekaligus man of quality. Ia setia membela bangsa Israel di hadapan berbagai krisis yang melanda. Dalam hal ini, tampillah Musa sebagai gembala yang sangat bertanggung jawab atas kawanan yang dipercayakan Allah padanya.

Kisah Perjanjian Sinai dan konsekuensinya bagi bangsa Israel menampilkan keyakinan dan penegasan bangsa Israel bahwa Yahwe adalah Allah mereka dan mereka umat Yahwe. Keyakinan itu digambarkan sebagai suatu perjanjian. Dasar bagi perjanjian itu adalah pembebasan, pertolongan dan janji Allah sendiri. Tujuannya adalah syalom, damai, relasi yang utuh antara bangsa Israel dengan Allah. Perjanjian mengalirkan relasi dan kehidupan baru. Dalam relasi dan kehidupan baru, mengalirlah sikap perilaku hidup yang baru. Maka, perjanjian Yahwe – Israel tersebut diwujudkan dalam tata sosial dan yuridis yang bernafaskan martabat baru dan visi keluaran-perjanjian. Dalam unit kisah ini, Musa ditampilkan sebagai pemimpin bangsa yang ditetapkan oleh Allah dan sekaligus pengantara perjanjian seperti yang diminta oleh bangsa Israel. Dalam peran ini, Musa menjadi pemberi hukum yang mengantarai hukum Allah bagi bangsa Israel.

Kisah pemberontakan pertama bangsa Israel berupa penyembahan lembu emas di Sinai terjadi karena mereka merasa kehilangan figur kepemimpinan. Musa sedang pergi ke gunung untuk berbicara dengan Allah. Maka, Israel mencari pengganti. Kesalahan Israel adalah bahwa mereka menggambarkan Allah yang agung dengan sebuah gambaran yang bisa dikendalikan. Di hadapan murka Allah, tampillah Musa sebagai pengantara. Musa menunjukkan solidaritas dengan bangsa Israel. Ia berani mempertaruhkan diri karena mau berbagi nasib dengan bangsa Israel. Dasar keberanian Musa adalah keintiman relasinya dengan Allah.

Kisah sungut-sungut, pemberontakan dan hukuman Tuhan menampilkan Musa sebagai pengantara yang memohonkan pengampunan bagi bangsanya. Kisah pemberontakan-pemberontakan mau menegaskan validitas otoritas Musa yang berasal dari Allah sendiri. Unit kisah ini juga menonjolkan keutamaan Musa sebagai pemimpin yang setia, taat dan melaksanakan dengan sepenuh hati perutusannya. Maka, tampillah kepemimpinan Musa yang kuat dan bertanggung jawab, terbuka dan peduli pada kebutuhan bangsanya, serta mempertahankan loyalitas pada Allah yang terwujud dalam loyalitas pada bangsanya.

Kepemimpinan Musa mau menyatakan Allah yang sejati : Allah yang peduli pada hidup umatNya sehari-hari. Dasarnya adalah karakter dasar Allah yang peduli soal keadilan. Namun jika hanya dilaksanakan oleh Musa saja, hal itu kurang menyentuh seluruh bangsa. Maka, kepemimpinan Musa perlu didistribusikan dalam kompleksitas tata sosial dan yuridis yang mampu menjamin perwujudan karakter dasar Allah tersebut. Kisah distribusi kepemimpinan Musa tersebut menampilkan perwujudan visi keluaran dan martabat Israel sebagai bangsa perjanjian.

Ada berbagai gambaran tentang tidak masuknya Musa ke tanah Kanaan, penyebabnya dan kematiannya. Pertama, Musa adalah pribadi manusia biasa yang punya kerapuhan-kerapuhan dan dosa. Kematian merupakan bentuk tanggung jawab pribadi atas kesalahannya sendiri. Kedua, seperti manusia lainnya, Musa mempunyai keterbatasan fisik : meski semangatnya masih menyala, namun fisik manusiawinya terbatas. Ketiga, Musa mau solider dan berbagi nasib dengan bangsa Israel yang segenerasi dengannya. Kematiannya mengantar kelahiran bangsa baru. Sebab, bangsa Israel yang memasuki tanah Kanaan adalah generasi selanjutnya dari bangsa Israel yang dibebaskan dari Mesir.

Kematian Musa sebelum memasuki Kanaan bukanlah kegagalan Musa dalam menjalankan perutusannya. Di satu sisi, kematian Musa sebelum memasuki tanah Kanaan menegaskan bahwa Musa taat pada kehendak dan sabda Allah. Maka, kematiannya digambarkan sebagai kematian yang istimewa. Dan di sisi lain, kematian tersebut menampilkan bahwa karya pembebasan adalah karya Allah sendiri. Musa, hamba yang setia, dilibatkan dalam karya tersebut. Maka, ketika Musa tiada, karya Allah tersebut tetap berlanjut dengan Yosua sebagai pengganti Musa.

13.2 Struktur ketokohan Musa dalam Pentateukh
Ketokohan Musa yang ditampilkan dalam narasi Pentateukh sungguhlah beraneka ragam. Namun, bermacam-macam gambaran ketokohan Musa tersebut mempunyai struktur yang tetap. Ketokohan Musa yang digambarkan dalam narasi Pentateukh adalah ketokohan yang bersifat relasional dalam mewujudkan visi pembebasan Allah. Dalam ketokohan semacam itu, di satu sisi ditonjolkan peran Allah dan di sisi lain ditampilkan juga pentingnya peran kualitas pribadi manusia Musa. Kedua sisi tersebut dihubungkan dengan sifat relasionalnya.

13.2.1 Peran Allah
Peran Allah ditonjolkan dalam berbagai peristiwa yang mengiringi perjalanan umatNya. Ia melimpahkan kesuburan bagi keturunan Abraham sebagai pemenuhan janjiNya, mengetahui penderitaan umatNya, mau membebaskannya, menggerakkan alam ciptaan demi pembebasan umatNya, menolong umatNya dalam krisis-krisis yang dihadapi, menghukum ketika umatNya melenceng dari perjanjian, mendengarkan keluhan umatNya. Secara khas, Pentateukh menggambarkannya sebagai : “Allah memelihara umatNya seperti biji mata, melindungi seperti perlindungan sayap rajawali, dll”. Sentuhan-sentuhan Allah itu tidak hanya terjadi secara komunal namun juga personal, seperti dialami oleh Musa yang terutama terlihat dalam peristiwa panggilan dan perutusannya. Semuanya itu mau menyatakan kehadiran Allah dalam sejarah semesta, sejarah dunia dan sejarah tiap pribadi.

13.2.2 Peran kualitas pribadi manusia Musa
Pentingnya kualitas pribadi manusia ditampilkan dalam relasi Musa dengan dirinya sendiri, bangsanya, dan alam semesta. Kualitas relasi horisontal ini mengalir dari mutu relasinya dengan Allah.

13.2.2.1 Relasi Musa dengan dirinya sendiri
Relasi Musa dengan dirinya sendiri ditampilkan dalam pergulatan pribadi Musa. Ia tampil sebagai pribadi yang berkualitas : dididik dengan baik sehingga mempunyai kecakapan tersendiri, punya rasa ingin tahu, solider dengan kaum lemah tertindas dan mau membelanya. Namun, ia juga merasa rapuh, tidak sangat percaya diri akan kemampuannya dan juga beberapa kali mengeluh soal perutusannya. Seolah-olah ia putus asa dan mau mati saja.

13.2.2.2 Relasi Musa dengan bangsanya
Relasi Musa dengan bangsanya mendominasi gambaran ketokohan Musa dalam Pentateukh. Hal ini diungkapkan dengan berbagai gelar yang dilekatkan pada Musa : pemimpin keluaran, gembala, pengantara permohonan, pengantara perjanjian, pemberi hukum, pengajar ketetapan dan aturan Tuhan, dll. Berbagai gelar itu dapat diringkaskan sebagai ‘membela Tuhan di hadapan bangsanya dan membela bangsanya di hadapan Tuhan’. Musa tidak pernah melepaskan identitasnya sebagai orang Israel. Hal ini membuatnya mau berbagi nasib dan solider dengan bangsanya.

12.2.2.3 Relasi Musa dengan alam semesta
Relasi Musa dengan bangsanya diungkapkan dalam berbagai hukum untuk tata sosial - yuridis yang menghormati alam semesta. Secara historis, hukum-hukum ini memang banyak disebut sebagai berasal dari tradisi yang lebih kemudian dari tradisi Musa. Namun bagaimanapun juga, dalam narasi terakhir, berbagai hukum ini dilekatkan pada tokoh Musa.

12.2.2.4 Mutu relasi Musa dengan Allah menjadi sumber mutu relasi horisontalnya
Kualitas relasi Musa dengan Allah dalam Pentateukh ditunjukkan dengan gambaran nama Musa (pujian atas pembebasan), tongkat Allah (ma††Ã‹ hä´Ã©löhîm), berhadapan muka dengan Allah (Pänîm ´el-Pänîm), selubung (mas•wè) Musa, ne´Ã©män Yahwe, dll. Mutu relasi tersebut menunjukkan personalitas relasinya dengan Allah. Penyertaan Allah menjadi kekuatan Musa. Ia melaksanakan segala yang diperintahkan Allah. Dan ia juga selalu menyerahkan semua permasalahan pada keputusan Allah. Maka, meski awalnya ia berkeberatan akan perutusannya, akhirnya ia berkeberatan untuk berhenti dari perutusannya.

Dengan tokoh Musa, Pentateukh menunjukkan bahwa relasi dengan Allah bukanlah sesuatu yang abstrak namun sangat nyata dalam relasi dengan diri pribadi, sesama, dan juga alam semesta. Di sisi lain, kualitas diri pribadi, relasi dengan sesama dan juga dengan alam semesta mendapatkan makna terdalamnya dengan kehadiran dan penyertaan Allah. Allah adalah misteri teragung yang tak terselami sepenuhnya. Namun, Ia tidak tinggal jauh tak tersentuh dan tertutup pada diriNya sendiri. Ia hadir dan menyentuh sejarah semesta, sejarah dunia, dan sejarah tiap pribadi. Musa adalah pribadi yang terbuka dan mau menanggapi sentuhan Allah itu. Ketokohannya dalam Pentateukh menjadi istimewa bukan karena perannya sebagai pemimpin pembebasan, pengantara perjanjian, pemberi hukum, dan peran-peran lainnya. Musa menjadi istimewa karena pergulatan pribadinya serta relasi dengan bangsa dan alam semestanya mengalir dari relasinya dengan Allah. Dalam semua tindakannya, Musa menunjukkan diri sebagai hamba Tuhan yang setia.

12.3 Kesimpulan dan relevansi
Situasi krisis multi dimensi yang melanda Indonesia bagaikan situasi krisis yang dialami bangsa Israel di padang gurun. Mereka baru saja keluar dari negeri penindasan. Namun euforia pembebasan segera menguap di hadapan berbagai krisis : kekurangan air dan makanan, ganasnya padang gurun, serangan musuh, konflik internal, dll. Namun justru dalam situasi inilah Yahwe menunjukkan pertolongan dan tuntunanNya lewat kepemimpinan Musa dan dalam sejarah Israel selanjutnya.

Di tengah situasi krisis multi dimensi yang dihadapi bangsa Indonesia, pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang bisa menyatakan kepemimpinan Allah dan mengantarai seruan bangsa. Maka, visi kepemimpinannya adalah visi pembebasan dan perjanjian. Visi inilah yang perlu dikomunikasikan sang pemimpin. Langkah demi langkah perlu disusun untuk mewujudkan visi tersebut. Karena itu, di satu sisi ia harus sungguh mengenal, melibatkan dan menyemangati orang-orang yang dipimpinnya. Dan di sisi lain, ia juga harus mengenali dirinya sendiri dan relasinya dengan yang lain. Kepemimpinan yang demikian adalah sebuah pelayanan dan bukanlah sekedar pekerjaan. Identifikasi dengan orang-orang yang dipimpin membuat sang pemimpin berani solider dan berbagi nasib dengan mereka. Sang pemimpin membangun basis relasi dengan diri sendiri, sesama dan alam semestanya berdasarkan relasinya dengan Allah. Dari relasi dengan Allah inilah, mengalir kekuatan dan penyertaan Allah dalam praksis kepemimpinannya. Dalam karya pembebasanNya, Allah tidak sekedar menuntun manusia melampaui krisis demi krisis. Ia menuntun manusia menuju tanah terjanji abadi. Hal itu dilaksanakanNya secara penuh melalui Yesus Kristus, sang Musa baru, dalam Roh Kudus.

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.