Header Ads

Terang Sabda

Refleksi Atas Peran Kitab Suci dalam Penerimaan Sakramen Baptis

KITAB SUCI : ROH YANG MEMBERI HIDUP

(Refleksi Atas Peran Kitab Suci dalam Penerimaan Sakramen Baptis)

Oleh : Marcelinus Tanto

Outline

 

A. PENGANTAR

CAART003Dalam kesempatan Tahun Orientasi Pastoral, saya diberi kesempatan untuk terlibat dalam pendampingan calon baptis dewasa. Ada sekitar 20-an katekumen, saya mendampingi katekumen yang telah berumur 15 tahun ke atas, sedang katekumen lainnya yang baru menginjak usia sekolah dasar dipercayakan kepada katekis paroki. Saya mendampingi  5 orang katekumen. Pendampingan secara intensif dilakukan setiap hari selasa sore setiap minggunya. Karena saya mendampingi katekumen yang telah berumur, maka metode pendampingan yang saya siapkan pun khusus. saya menggunakan 2 buku pegangan yaitu Kitab Suci dan Iman Katolik. Memang, saya tidak menggunakan buku persiapan calon baptis yang biasa digunakan oleh para katekis karena saya ingin menggali bersama-sama pengalaman iman yang telah dirasakan dan dihayati oleh para katekumen sendiri dan saya mencoba menaggapinya dalam terang Kitab Suci atau ajaran iman Gereja sendiri.

Ada fenomena menarik yang saya amati, dalam refleksi saya sekarang ini, kadangkala Kitab Suci tidak begitu tersentuh dalam kerangka pendampingan calon baptis. Kitab Suci hanya diperankan dalam liturgi baptisan saja, sedang dalam masa katekumenat hingga nanti masa mistagogi, para katekis lebih sering menggunakan panduan Persiapan Calon Baptis dengan buku atau modul yang telah tersedia. Saya tidak mempersalahkan fenomena ini namun kalau sejenak kita lihat secara lebih mendalam dalam buku Persiapan Calon Baptis memang isinya lebih menekankan tentang pemahaman ajaran iman Gereja, sedangkan dasar-dasar biblis yang notabene menjadi sumber utama kurang begitu diperankan di dalamnya. Tulisan ini hendak merefleksikan peran Kitab Suci dalam baptisan. Apa yang mau ditawarkan oleh Gereja dengan bacaan-bacaan Kitab Suci tersebut bagi katekumen sendiri, atau kepada orang tua baptisan (konteks baptis bayi), atau kepada seluruh umat yang hadir dalam liturgi baptis maupun kepada umat yang telah dibaptis.

B. TERANG KITAB SUCI DALAM PERAYAAN SAKRAMEN BAPTIS

Saya menduga, bacaan-bacaan yang biasanya akrab dengan umat berkaitan dengan sakramen baptis adalah adalah bacaan-bacaan yang biasa didengar ketika umat merayakan sakramen baptis dewasa. Dalam refleksi ini saya hendak memfokuskan pada bacaan-bacaan yang dipakai dalam liturgi baptis dewasa diluar perayaan Paskah, dengan pertimbangan bahwa bacaan-bacaan yang sering digunakan dalam liturgi baptis pada malam Paskah lebih cenderung menggemakan perayaan kebangkitan Kristus, kendati nanti peran bacaan-bacaan tersebut tetap akan disinggung dalam refleksi ini. Ada beberapa perikop Kitab Suci yang berkaitan dengan sakramen baptis antara lain: Kita telah dikuburkan bersama Kristus oleh pembaptisan, supaya kita hidup dalam hidup yang baru (Rm 6:3-11); Kamu semua,  yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus (Gal 3:26-28); Ajarlah segala bangsa, dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus (Mat 28:18-20); Yesus dibaptis Yohanes di sungai Yordan (Mrk 1:9-11) dll.

Bacaan Kitab Suci dalam konteks ibadat

Bacaan-bacaan yang ditawarkan oleh Gereja untuk direnungkan dalam perayaan sakramen baptis merupakan cara Gereja untuk mengaktualkan Kitab Suci. Ibadat atau perayaan baptis memberikan peluang yang amat baik bagi Gereja untuk mengajak para baptisan baru secara khusus atau umat beriman pada umumnya untuk mengadakan dialog dengan kehidupannya dalam terang Sabda Tuhan[1]. Kalau Kitab Suci dibacakan dalam konteks dialogal maka isi sabda dalam taraf pengalaman akan muncul. Seseorang akan merasa bahwa rohlah yang memberi hidup, apalagi dialog dalam konteks penerimaan sakramen baptis. Dalam tingkat roh dan hidup inilah dialog terjadi. Untuk itulah Gereja masuk dalam pengalaman partner dialog dengan umat beriman, secara khusus pengalaman religius mereka yang mendapat karunia baptisan[2]. Sejauh yang saya lihat paling tidak ada dua hal yang menjadi pokok perhatian bagaimana Kitab Suci diperankan dalam kerangka ibadat: pertama, sabda Allah dihidupkan kembali dengan dibacakan dan diperdengarkan dalam ibadat atau perayaan sakramen. kedua, penjelasan atas sabda Tuhan yang dibacakan melalui homili, dimana sabda Tuhan coba direfleksikan dan diterapkan dalam kehidupan konkret umat.

Simbolisasi air dan pemaknaannya

Disamping bacaan-bacaan kitab suci yang ditawarkan Gereja, ada satu hal lain yang menjadi kekhasan sakramen baptisan adalah pemakaian simbol air. Air merupakan salah satu unsur alam yang secara mutlak dibutuhkan oleh setiap makhluk hidup. Tanpa air maka tidak ada kehidupan. Air juga merupakan sumber kesuburan, dimana ada air maka tanah menjadi subur; dimana ada air maka makhluk hidup dapat tumbuh dan berkembang. Air juga dapat dipahami secara negatif sebagai kekuatan yang menghacurkan seperti bencana banjir dll. Dalam kehidupan sehari-hari air berfungsi untuk membersihkan, untuk mandi, membasuh dan mencuci dari kekotoran. Oleh karena itu, simbolisasi air dalam sakramen baptisan mengungkapkan pembersihan dosa dan penganugerahan keselamatan dan hidup baru. Pemaknaaan akan air dalam konteks tulisan ini juga dapat dimaknai secara biblis. Dalam beberapa perikop kitab suci juga membicarakan tentang air: Yesus adalah gembala yang baik yang menuntun dombanya ke mata air kekal kehidupan (Mzm 23, Yoh 10); air kehidupan dalam percakapan dengan wanita Samaria (Yoh 4: 7-14); janji tentang air kehidupan (Yoh 7: 37-39); domba yang menuntun ke mata air kehidupan (Why 7: 17); Air yang mengalir dari Eden baru menghasilkan kehidupan di mana saja (Why 22:2).

Perikop Kitab Suci mengenai air ini dapat dijadikan jalan masuk bagi Gereja untuk senantiasa memaknai kehidupan keseharian mereka yang tidak pernah terpisahkan dari air. Air dalam pembaptisan yang berarti pembersihan dosa dan kehidupan baru dapat senantiasa dimaknai melalui persitiwa keseharian. Seperti ketika seorang baptisan baru merasakan pembersihan dari dosa dan penganugerahan kehidupan baru maka dalam kehidupan keseharian peristiwa itu senantiasa mengingatkan, menjiwai dan, menggerakkan untuk senantiasa memperbaharui diri.

C. REFLEKSI ATAS PERAN KITAB SUCI DALAM SAKRAMEN BAPTIS

Dalam kesempatan ibadat, perlu dilihat bagaimana pesan itu menjadi aktual bagi masing-masing pihak. Mengambil salah satu teori komunikasi, bahwa ada ketersalingan antara sender, message dan receiver. Saya melihat dalam konteks komunikasi iman alkitabiah pada perayaan sakramen baptis, sender adalah pewarta, message adalah isi Kitab Suci dan receiver adalah pihak-pihak kepada siapa Kitab Suci ditujukan. Masing-masing pihak saling mempengaruhi atau ada unsur timbal balik dalam warta komunikasi ini. Dalam tulisan berikut hendak dipaparkan mengenai peran Kitab Suci dalam sakramen baptis bagi orang yang dibaptis, bagi orang tua bayi yang dibaptis dan bagi seluruh umat beriman.

Bagi orang yang dibaptis

Orang yang membiarkan dirinya dibaptis dan digabungkan dengan jemaat Kristus, dalam upacara itu menyatakan diri bersedia menerima semua implikasinya. Pertama-tama orang menyatakan pertobatan. Unsur ini cukup ditekankan dalam Perjanjian Baru, khususnya Kisah Para Rasul kalau berbicara mengenai terang baptisan (Kis 2:38; 3:19; 5:31; 11:18; 17:30; 22:16; 26:20). Tobat sendiri merupakan suatu anugerah dari Allah melalui Yesus Kristus. Maka orang menyatakan diri bersedia menerima anugerah itu. Barangkali anugerah itu sudah diterima  tetapi belum 0447dinyatakan dalam rangka Jemaat Kristus. Dengan pertobatan orang yang telah dibaptis secara radikal diharapkan senantiasa mengubah haluan, arah kehidupannya setiap hari yang selanjutnya secara positif memusatkan diri pada Allah. Sedangkan rumus negatif pertobatan berarti menjauhkan diri dari secara dasariah memutuskan hubungan dan solidaritas dengan dunia yang berada dalam kegelapan, terasing dari Allah Juruselamat, dikuasai roh jahat. Orang yang menyadari dan mengakui dosa itulah beriman, mempercayakan diri kepada Allah dan Yesus Kristus sebagai Juruselamat orang berdosa. baptisan mengandaikan adanya iman dari seseorang, dimana iman tersebut tumbuh berkat adanya pewartaan Injil. Iman tersebut menggerakkan seseorang untuk bertobat dan dibaptis (Kis 2:37-41, Mrk 16:16, Mat 28:19). Gereja menyampaikan warta Kitab Suci dan mendorong agar baptisan baru yang membaca dan merenungkan sabda Tuhan itu dengan melaksanakan laku tobat dan pembaharuan hidup setiap hari. Gereja mengharapkan kehidupan para baptisan baru senantiasa dijiwai dan digerakkan oleh sabda Tuhan sendiri dan berkat baptisan yang telah mereka peroleh mendorong mereka untuk menjadi pewarta atau bersedia mewartakan sabda Tuhan dan meneruskannya kepada orang lain (Rm 6:1-14).

Pembaptisan berarti seseorang diangkat menjadi anak dalam keluarga Allah: Gereja berseru kepada Tritunggal yang mahakudus supaya turun atas mereka yang akan dibaptis. Dengan dimeteraikan dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, mereka dikuduskan kepada Allah Tritunggal dan masuk ke dalam persekutuan dengan Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Seseorang dimasukkan ke dalam kehidupan Allah dan hidup ini pada dasarnya adalah relasi yang hangat antara Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Dengan menerima sakramen baptis seseorang dipersatukan dalam hubungan dengan Yesus. Seseorang yang menerima baptis dimasukkan ke dalam seluruh peristiwa Yesus Kristus. Rahmat pembaptisan menggerakkan seseorang untuk ikut serta dan dipersatukan dengan nasib Yesus meliputi sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Partisipasi dalam misteri Yesus Kristus ini dalam bahasa Paulus dimaknai bahwa seseorang yang dibaptis mengenakan Kristus. Kontak dengan misteri ini akan menghasilkan keselamatan. Pertobatan merupakan unsur yang begitu ditekankan dalam Perjanjian Baru dalam pembaptisan. Tobat merupakan anugerah dari Allah melalui Yesus Kristus. Seseorang yang menyadari dan mengakui dosa berarti beriman dan mempercayakan diri kepada Allah dan Yesus Kristus sebagai Juru selamat orang yang berdosa. Oleh Pembaptisan, manusia dibebaskan dari dosa dan dilahirkan kembali sebagai putera-puteri Allah. Dengan baptis, manusia menjadi anggota-anggota Kristus, dimasukkan ke dalam Gereja dan ikut serta dalam perutusannya. Oleh karena itu, Gereja meyakini Pembaptisan adalah sakramen kelahiran kembali oleh air dalam Sabda[3].

Mistagogi yang berarti masa untuk memperdalam, memantabkan, dan menghayati iman akan misteri Kristus, serta membiasakan diri pada kebiasaan dan tradisi hidup Gereja. Dalam masa ini juga masih diberikan penjelasan makna dan konsekuensi sakramen-sakramen inisiasi. Masa mistagogi ini menjadi masa yang penting bagi baptisan baru. Dalam arti harafiahnya saya membahasakannya sebagai masa ujian awal bagi para baptisan baru. Dimana mereka menjalani hidup sebagai orang Katolik dengan segala konsekuensi yang perlu dijalani. Masa ini menjadi masa untuk menggemakan isi Kitab Suci yang pernah didengarnya sewaktu menerima sakramen baptis dalam kehidupan konkret sehari-hari. Oleh karena itu terjadilah sebuah dialog antara sabda Tuhan dan kehidupan konkret mereka, maka bacaan kitab suci bukanlagi sebagai sebuah mantra yang hanya diucapkan dalam kata-kata indah namun sunggguh menyentuh dan menggerakkan segi terdalam dari kehidupan manusia. Sabda Tuhan tersebut diharapkan mampu mendorong umat, agar mereka tidak berhenti pada membaca dan memahami pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci, melainkan melihat pengalaman hidupnya dalam terang sabda Tuhan dan tergugah untuk mengadakan pembaharuan hidup. Pembaharuan ini tidak hanya mengenai kehidupan pribadi saja melainkan juga pembaharuan masyarakat sekitar, sehingga secara perlahan-lahan direalisasikan dambaan adanya langit baru dan bumi yang baru (Why 21:11).

Bagi baptisan bayi

Secara khusus dalam baptisan bayi, bacaan-bacaan yang ditawarkan  Gereja sangat efektif ditujukan kepada orang tua bayi. Mengingat b0151ayi belum mengetahui apa-apa dan belum dapat berbuat apa-apa, maka orangtualah yang bertanggung jawab atas baptisan tersebut kepada anaknya. Peran Kitab Suci  ini, saya rasa tidak bisa dilepaskan dari kesediaan yang pernah mereka ucapkan ketika saling menerimakan sakramen perkawinan. Dalam pernyataan kesediaan, sang mempelai dituntut kesediaan untuk menjadi bapak atau ibu kristiani bagi anak-anak mereka. Konsekuensi menjadi bapak atau ibu kristiani bagi anak-anak salah satunya adalah membaptis anak-anak mereka. Hal ini ditegaskan pula dalam Lumen Gentium: Dalam Gereja-keluarga itu hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani[4]. Orangtua mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan iman anak-anak mereka. Salah satu bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh orangtua adalah membaptis anak mereka. Kitab suci dalam penerimaan sakramen baptis bayi lebih ditujukan kepada pihak orangtua. Melalui baptisan bayi, Gereja mengajak para orangtua untuk mempersiapkan anaknya dalam suatu proses pertumbuhan iman yang diharapkan terus berkembang. Disamping itu, kendati orangtua perlu memperhatikan iman anaknya, orangtua sendiri juga perlu memperhatikan hidup iman pribadinya sendiri. Melalui baptisan bayi, Gereja mengajak untuk merenungkan sabda yang dibacakan bukan hanya ditujukan kepada iman anak tetapi juga terutama kepada orantua. Gereja menghendaki para orangtua untuk senantiasa hidup dijiwai sabda Tuhan sehingga mampu untuk menyalurkan dan mewartakan kepada anaknya sendiri.

Bagi seluruh umat beriman

Umat beriman dalam konteks tulisan ini mau mengacu pada umat beriman yang secara khusus turut serta merayakan liturgi baptisan dan seluruh umat beriman yang pada umumnya telah menerima sakramen baptis. Bacaan-bacaan yang ditawarkan oleh Gereja hendak menggemakan kebersatuan sebagai orang-orang dibaptis atau kesatuan sebagai anak-anak Allah. Beberapa perikop Kitab Suci memperlihatkan bahwa pembaptisan menjadikan orang-orang yang dibaptis menjadi satu tubuh (1 Kor 12:13). Hubungan dari orang-orang yang dibaptis ini memasukkan orang ke dalam suatu relasi orang-orang kristiani yang memiliki martabat yang sama dan hidup menurut jiwa solidaritas (Kis 2:41-47). Dengan baptis kaum beriman dimasukkan ke dalam tubuh Gereja; dengan menerima meterai mereka ditugaskan untuk menyelenggarakan ibadat agama kristiani; karena sudah dilahirkan kembali menjadi anak-anak Allah, mereka wajib mengakui dimuka orang-orang, iman yang telah mereka terima dari Allah melalui Gereja[5]. Hal ini berarti bahwa berkat sakramen pembaptisan seseorang diterima sebagai warga baru Gereja dengan segala hak dan kewajibannya. Dan melalui sakramen pembaptisan pula seseorang mengalami internalisasi seluruh hidup Gereja, baik itu menyangkut iman maupun tradisi serta segala bentuk ungkapannya. Gereja mengajak umat beriman melalui bacaan-bacaan yang digunakan untuk perayaan baptisan, menyadari diri sebagai kebersatuan. Bacaan-bacaan yang dipakai diharapkan dapat menggerakkan orang untuk hidup dalam kesatuan Gereja, menerima warga baru yang telah dibaptis dan melalui Gereja seseorang yang telah dibaptis menginternalisasikan seluruh iman Gereja, baik menyangkut iman maupun tradisi serta segala bentuk ungkapannya dalam kehidupan. Dengan kata lain, Kitab Suci menjadi inspirasi dan daya penggerak bagi seluruh umat beriman untuk terlibat aktif dalam hidup Gereja, menghayati iman Gereja baik secara personal maupun komunal.

D. PENUTUP

 Bacaan-bacaan yang ditawarkan oleh Gereja dalam liturgi baptisan mau menampilkan ajakan Gereja bagi orang yang telah dibaptis untuk senantiasa memusatkan kehidupannya kepada Allah. Dengan bacaan-bacaan yang ditawarkan secara khusus dalam perayaan baptisan sebenarnya Gereja mengajak para baptisan baru (begitupula seluruh umat beriman) membiarkan dirinya dipimpin oleh Roh. Dalam bimbingan roh Gereja akan sampai pada pemahaman inti sabda sebagai yang mempunyai daya penyelamatan. Sabda itu menyelamatkan karena memenuhi seluruh harapan dan cita-cita manusia, yang diungkapkan dalan perjuangan manusia dalam bidang-bidang kehidupan yang sangat konkret. Sabda yang menyelamatkan ini dirasakan dalam pembaruan diri, pertobatan dan hidup baru yang dirasakan oleh baptisan baru.

Gereja mengharapkan agar para baptisan senantiasa dijiwai oleh sabda yang hidup dalam hidupnya sehingga terus menerus dapat membarui diri. Oleh karena itu menjadi penting adalah masa mistagogi, dimana sabda senantiasa dibaca, didengarkan dan direnungkan. Masa mistagogi tidak hanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (biasanya dilakukan selama 4 minggu setelah penerimaan baptis) tetapi terus menerus dihayati dalam kehidupan. Gereja menawarkan sabda untuk direnungkan melalui ibadat sakramen dan kesempatan liturgi lainnya, Gereja mengajak umat beriman untuk hidup dengan dijiwai sabda Tuhan sendiri dalam konteks kehidupan keseharian.

  

              3167

    

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Dokumen Gereja

Embuiru, Herman, SVD., P. (Penerjemah),

1995 Katekismus Gereja Katolik, Arnoldus, Ende.

Konferensi Waligereja Indonesia,

1996 Iman Katolik: Buku Referensi dan Informasi, Kanisius, Yogyakarta.

Lembaga Biblika Indonesia,

1978 Kitab Suci dan Umat Katolik, Kanisius, Yogyakarta.

Sumber Buku dan Artikel

Groenen C.,

1992 Teologi Sakramen Inisiasi: Baptisan – Krisma, Kanisius, Yogyakarta.

Brockett, Lorna RSCJ.,

1971 The Theology of Bapism, The Mercier Press, 4 Bridge Street Cork.

D.M. Stanley S.J.,

1966 “Baptism in The New Testament”, dalam T. Worden, Sacraments in Scripture, Geoffrey Chapman, London.

Hadiwiyata A.S.,

1990 “Kerasulan Kitab Suci sebagai Pewartaan”, Rohani edisi Desember.

Leon-Dufour, Xavier.,

1973 Dictionary of Biblical Theology, Geoffrey Chapman, London.

Martasudjita, E., Pr.,

2003 Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta.

1998 Memahami Simbol-Simbol dalam Liturgi, Kanisius, Yogyakarta.

Stevick B., Daniel,

1987 Baptismal Moments; Baptismal Meanings, The Church Hymnal Corporation, New York.

Suharyo I.,

1989 “Kitab Suci dalam Pewartaan Baru”, Rohani edisi Februari.


[1] A.S Hadiwiyata, “Kerasulan Kitab Suci sebagai Pewartaan”, Rohani edisi Desember, 1990, 453-454.

[2] I. Suharyo, “Kitab Suci dalam Pewartaan Baru”, Rohani edisi Februari, 1989, 64.

[3] Katekismus Gereja Katolik, 1995.

[4] Lumen Gentium, 11.

[5] Lumen Gentium, 11.

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.